
Oleh: Elsa Hafis Azhari
Karya sastra yang baik akan muncul dari pikiran-pikiran yang baik. Apa yang dihasilkan dari goresan pena sastrawan, bermula dari mindset dan paradigma berpikirnya. Tulisan yang baik dan benar tentu berawal dari pikiran yang baik dan benar pula. Kebenaran apapun yang dihasilkan oleh penulis, mesti akan menghasilkan pikiran-pikiran yang benar.
Di tengah peradaban maju, kehendak berpikir rasional seakan sudah menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Di dunia, di mana berpikir belum menjadi kebutuhan, maka ukuran kebenaran biasanya dicari melalui pola dan tingkah laku manusianya.
Ucapan, perbuatan, peristiwa, dan pengalaman hidup masyarakat, baik secara pribadi maupun kolektif, di situlah suatu kebenaran bisa ditemukan. Di balik perkataan dan perbuatan itu menunjukkan mereka berhaluan liberalis, religius, sosialis, dan pancasilais, masyarakat awam tidak ada urusan dengan term-term itu. Mereka hanya berbuat apa yang menjadi kesepakatan kolektif dan kesepakatan yang dianut banyak orang seringkali dianggap sebagai yang paling mendekati kebenaran.
Mereka banyak bergelut dengan ilmu dan pikiran manusia dari zaman ke zaman. Menyadari betul, setiap perbuatan manusia tak lepas dari hasil berpikirnya. Keputusan dan tindakan yang benar, baik, adil, mesti bermula dari pikiran sebelum terwujud dalam amal perbuatan.
Sikap Haris, tokoh dalam novel Pikiran Orang Indonesia (POI), menolak aksi-aksi militerisme disusupkan ke dalam otaknya. Bermula dari pikiran melalui akal sehatnya dalam membedakan baik dan jahat atau benar dan salah.
Dalam doktrin militerisme, tak ada yang namanya pertimbangan pikiran. Abstraksi-abstraksi atau penilaian yang diletakkan pada persoalan baik dan buruk. Melainkan harus patuh dan taat tanpa syarat pada keputusan atasan. Prajurit yang konsisten menjaga akal sehatnya, akan peka dan tanggap pada perintah-perintah yang sesuai dengan nalarnya. Apakah layak ditindaklanjuti atas dasar kepatuhan, ataukah menolaknya karena suatu alasan yang bisa dibenarkan.
Sastrawan Albert Camus (Prancis) pernah menyatakan, jika pikiran manusia terlampau fokus pada perkara uang, maka segala sesuatu di luar itu menjadi tidak ada artinya. Konsep pemikiran itulah yang menjadi anutan seorang tokoh semisal Arif. Ketaatan mutlak pada atasan, seakan menjelma sebagai perintah Tuhan yang kudus dan tak boleh diganggu-gugat.
Dia menolak pikiran manusia yang plural dan beragam. Dia tak peduli, sejarah peradaban manusia telah digenangi darah-darah akibat penafsiran yang berbeda dalam pikiran-pikiran mereka. Manusia saling bersengketa dalam teori-teori politik, saling menyalahkan, membenci, memfitnah (hoaks). Bahkan bertempur karena didasari perbedaan pikiran.
Sebaliknya, adanya cinta dan kasih sayang juga muncul atas dasar pikiran. Jenis pikiran mana lebih mendekati kebenaran, disepakati manusia secara universal? Adakah bentuk pikiran yang melahirkan kebenaran tunggal, hingga pada akhirnya disepakati manusia secara keseluruhan?
YB Mangunwijaya, dalam bukunya Sastra dan Religiositas (Penerbit Kanisius, 1988) pernah mengutip ucapan seorang pemikir Islam modern, Harun Nasution, bahwa kemampuan manusia berbahasa, memang ada batasnya.
Pergelutan pikiran seperti itulah yang berupaya saya tampilkan melalui tokoh-tokoh novel POI, guna memperjuangkan kesepakatan kolektif manusia Indonesia. Tentu saja akan menghadapi perbenturan-perbenturan penafsiran, antara kepentingan pribadi dalam hubungannya dengan kolektivitas manusia. Ketika seorang individu berproses untuk mencari kebenaran, niscaya dia akan mengalami peningkatan pikiran. Bisa jadi yang kemarin dia anggap benar, saat ini dianggap sebagai kesalahan. Yang dikira hari ini benar, boleh jadi besok dianggap kekeliruan.
Di sisi lain, banyak orang berpandangan, pikiran sumber kekacauan, absurditas, angkara murka. Sumber ketidakadilan dan kesewenangan aparat militer yang mengorbankan rakyatnya sendiri. Perspektif lain mengatakan, pikiranlah yang sanggup mempersatukan tokoh Haris dan Ida dengan penuh cinta kasih. Atas dasar cinta itulah pengertian tentang kebenaran menjadi paralel dengan tenggang rasa, solidaritas, dan kesetiakawanan sosial.
Dalam novel POI, pikiran manusia Indonesia tidak mandek dan statis. Tidak kaku dan baku, melainkan terus bertransformasi dan bermetamorfosis. Melalui pertemuan Haris dan Ida, pada akhirnya proses pikiran berkembang, dapat berlaku sebagai sumber ketertiban dan keteraturan hidup bersama.
Apapun bentuk pikiran manusia, kebenarannya atau kesalahannya dapat ternilai manakala dia menjelma sebagai perilaku dalam perbuatan. Sebab perbuatan itu kasat mata, bisa dilihat, dan karenanya bersifat universal. Perbuatan itu, baik dan benar dapat disaksikan dan dialami manusia mana saja dan kapan saja sebagai baik dan benar.
Secara inderawi, seorang anak kecil dapat merasakan kebenaran dan kebaikan dari prilaku manusia. Meskipun mereka belum berkembang pikirannya. Setiap anak-anak telah dibekali karunia perasaan yang dapat menilai tingkah laku umat manusia.
Konsep kekuasaan Disraelli menyatakan, benar maupun salah, negaraku selalu benar (wright or wrong is my country). Sehaluan dengan konsep militerisme Dai Nippon Jepang di era 1940-an. Ketika sekuasa-kuasanya pemerintahan orde baru, prinsip militerisme itu diadopsi sedemikian rupa. Pada waktunya mengalami pertentangan hebat dengan nalar dan akal sehat manusia, khususnya generasi muda Indonesia.
Pergerakan mereka saat menjatuhkan pemerintah orde baru (1998) bersandar pada kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Wright or wrong is wright or wrong (benar dan salah, adalah benar dan salah). Hukum dan pengadilan harus berlaku dan ditegakkan bagi siapa pun yang melakukan kesalahan. Tak terkecuali seorang militer atau anak seorang kepala negara sekalipun.
Pada zaman dahulu, manusia berperang dan bersengketa karena perbuatan dan pengalaman. Misalnya perebutan lahan perburuan atau pertanian atau karena perempuan yang dibawa lari orang lain. Saat ini, manusia berperang karena perbedaan penafsiran akan kebenaran dan kesalahan.
Sehebat apapun karya sastra dipublikasikan, apabila memperuncing masalah perbedaan benar dan salah antara anak dan orang tuanya. Apalagi memprovokasi pembaca untuk sampai pada keyakinan, membunuh orang tua adalah sah-sah saja. Hal itu tak bisa dibenarkan oleh akal sehat manusia di dunia mana pun. Baik oleh mereka yang berpandangan post-modern hingga yang paling primitif sekalipun.
Bertanggung jawab menjaga keutuhan keluarga besar NKRI, kepekaan memahami keragaman dan pluralitas, segalanya bersumber dari pikiran. Salama manusia sanggup menjaga harmoni dan keteraturan, maka laku perbuatannya adalah baik dan benar. Karena dia diolah dari pikiran yang benar. Kesepakatan umum ini meniscayakan manusia menyarungkan kepentingan ego pribadi dan kelompoknya. Selama kepentingan itu tidak sejalan dengan kesepakatan atau kebenaran yang bersifat umum.
Segala tindakan semena-mena yang tergambar dalam novel POI, seperti mencaci-maki, menebar hoaks, memfitnah sesama manusia, hingga melakukan penganiayaan, penculikan, dan pembunuhan. Semuanya itu mengejawantah dalam perilaku dan perbuatan. Itu semua bisa dilihat, didengar, diindera, dan dirasakan banyak orang, termasuk anak kecil dan orang primitif sekalipun.
Coba tanyakan persoalan itu kepada para pendukung dan tim sukses kedua kandidat kita. Apakah semua perbuatan di atas baik atau jahat, benar atau salah? Kalau ada yang membenarkan semua perilaku buruk itu, lalu sampaikan pertanyaan berikutnya. Mengapa Anda membenarkan perbuatan itu? Inilah pertanyaan pikiran, hingga sampai pada kesimpulan kolektif. Sang pemberi jawaban tadi tidak memiliki nalar dan akal sehat.
Pluralisme adanya dalam pikiran. Dia harus dihargai dan dihormati, karena memang Tuhan menganugerahkan hidup manusia serba beraneka ragam. Bersuku-suku, berbangsa-bangsa, berbeda pandangan, kepercayaan agama, dan seterusnya. Di sisi lain, pluralisme dalam cara berpikir juga harus dihargai. Sejelek apapun bentuk pikiran manusia. Kecuali jika pikiran yang jelek itu sudah mengejawantah dalam perbuatan buruk. Karena itu, pikiran manusia tidak boleh dihakimi. Dia harus dianggap sebagai wujud manusia yang sedang berproses mencari kebenaran. Apakah dia akan berhasil mencapai kebenaran ataukah tidak, itu bukan hak prerogatif kita.
Jadi, proses berpikir untuk mencari kebenaran adalah tugas manusia sepanjang hayat. Suatu proses panjang untuk mendekati kebenaran yang hakiki. Meskipun hanya Tuhan memiliki kebenaran sejati, manusia beradab memiliki akal sehat, terus berupaya mendekati kebenaran universal yang bersifat ilahiyah.
Orang-orang yang mau berbuat, tanpa berpikir kritis apakah suatu perbuatan itu layak dilakukan atau tidak? Tak lain merupakan jasad-jasad bergerak yang hidup tetapi tidak memiliki hati nurani. Jiwa-jiwa mati seperti itu tergambar jelas pada banyak tokoh dalam POI. Kecuali Haris yang berupaya keras menghidupkan pikiran dan akal sehatnya. Sampai pada pertimbangan baik dan buruk, benar dan salah.
Tokoh-tokoh lain menerima mentah-mentah petuah para elit militer, bahwa benar dan salah negaraku harus dibela (wright or wrong is my country). Melalui perjalanan waktu, menjadi suatu kebenaran yang layak gugat.
Kebenaran itu perlu dipertimbangkan kembali oleh kesepakatan kolektif yang menghargai peradaban humanisme universal. Sebagaimana anak-anak kecil mendahulukan laku dan perbuatan, tanpa menghidupkan pikiran untuk mempersoalkan “kenapa” atau “mengapa”.
Beberapa pendukung kandidat presiden yang berurusan dengan kepolisian akhir-akhir ini, pada umumnya telah mengejawantahkan pikirannya dalam perbuatan nyata. Baik dalam bentuk tindakan, ucapan, maupun tulisan yang bersifat memfitnah dan menebar hoaks.
Sebagai perbandingan, saya akan sampaikan kisah yang berhubungan dengan tindakan dan perbuatan yang bersumber dari pikiran – sebagaimana tokoh-tokoh POI – pelakunya bersikukuh. Perbuatannya adalah benar, meskipun tak bisa dibenarkan dalam pandangan masyarakat universal.
Dahulu, di masa kolonial, beberapa suku di Kalimantan (Dayak) membenarkan hukum pemenggalan kepala bagi rakyat jelata yang melanggar aturan adat. Kepala suku memutuskan dan masyarakat adat mengamininya sebagai tindakan yang dianggap wajar. Jika kita menjadi bagian dari kelompok masyarakat tersebut, bisa jadi kita juga turut membenarkannya. Lewat perjalanan waktu, pemberlakuan hukum pemenggalan kepala akhirnya dilarang pemerintah kolonial Belanda. Dianggap melanggar hukum dan kesepakatan universal.
Sebagaimana pikiran radikal dari penganut sekte atau kepercayaan agama tertentu. Selama masih dalam bentuk pikiran, tapi tidak mengejawantah dalam perbuatan yang melanggar undang-undang negara atau kesepakatan umum, hal itu masih bisa dimaklumi. Ketika sudah mengemuka dalam bentuk tindakan mengganggu tatanan keseimbangan, merusak kebersamaan. Memprovokasi massa agar melakukan tindakan anarki yang menggoncangkan stabilitas publik, maka hukum negara harus tegak. Negara harus melakukan intervensi agar diadakan penindakan. Jadi, yang dilarang dan ditindak tegas adalah perbuatan mereka, bukan cara berpikir mereka.