Oleh: Januari Sihotang, S.H.,LL.M.
Pemilu sudah tinggal hitungan bulan. Untuk pertama kalinya, masyarakat Indonesia akan menggunakan haknya untuk memilih anggota legislatif bersama dengan kepala eksekutif (Presiden/Wakil Presiden). Sayangnya, Pemberitaan dan kehebohan Pemilu seakan-akan terporos kepada kontestasi Presiden/Wapres saja. Memang harus diakui, kontestasi Pilpres kali ini lebih hangat dari 2014 lalu karena terjadi rematch antara petahana Joko Widodo menghadapi penantangnya Prabowo Subianto. Pertarungan tersebut bahkan sesungguhnya sudah dimulai sejak Pilpres 2014 usai.
Tarung visi-misi hingga tontonan dagelan politik hampir setiap hari terjadi. Munculnya hoaks terkait Pemilu semakin memanaskan dan mendramatisir suasana. Hiruk-pikuk Pilpres itu membuat perhatian kita terhadap kontestasi caleg-caleg seakan terlupakan. Padahal, Presiden/Wapres yang mumpuni harus diimbangi dengan kepiawaian anggota legislatif. Dalam sistem checks and balances sesuai amanat UUD NRI Tahun 1945, pemerintahan yang baik hanya akan tercapai jika masing-masing cabang kekuasaan memiliki kualitas dan integritas yang baik.
Menurut data KPU, dari 16 partai yang bertarung di tingkat nasional, terdapat 7.968 orang caleg DPR untuk memperebutkan 575 kursi DPR RI. Masing-masing terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3194 caleg perempuan. Selain itu, puluhan ribu caleg akan berjuang memperebutkan 2.207 kursi DPRD Provinsi dan 17.610 kursi DPRD kabupaten/kota. Selain fantastis dari segi kuantitas, latar belakang para caleg tersebut juga sangat beragam. Mulai dari para artis, pengusaha, mantan birokrat, pensiunan Polri dan TNI, politisi tulen dan berbagai profesi lainnya.
Berbagai upaya sudah dilakukan para caleg. Selain menyebarkan alat peraga kampanye (APK) yang dibiayai oleh negara, para caleg dan tim suksesnya sudah mulai menjalankan strategi masing-masing demi memenangkan kontestasi. Pendekatannya beragam, sesuai dengan karakter pemilih. Dalam sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak saat ini, persaingan memperebutkan kursi DPR dan DPRD bukan perkara mudah. Seorang caleg tidak hanya bersaing dengan caleg partai lain, namun juga harus ‘perang saudara’ dengan caleg dari partai sendiri.
Popularitas, Kualitas dan Integritas
Sebagai putera-puteri terbaik bangsa yang akan menyuarakan aspirasi rakyat lima tahun ke depan, setidaknya ada tiga faktor yang sangat memengaruhi elektabilitas caleg, yakni popularitas, kualitas dan integritas. Popularitas menjadi modal pertama yang sangat penting untuk dimiliki caleg. Tanpa popularitas, mustahil rasanya seseorang akan dipilih oleh masyarakat. Oleh karena itulah banyak para pesohor banting setir ke jalur politisi. Modal popularitas di media cetak dan elektronik akan memudahkan tim sukses untuk memoles sang artis dan menjadi bahan pertimbangan untuk dipilih di kotak suara.
Lalu bagaimana dengan caleg yang berasal dari profesi berbeda seperti pengusaha, akademisi, pensiunan sipil dan militer? Caleg dari profesi lain pun tidak tertutup kemungkinan memiliki popularitas seperti artis. Hanya saja, popularitas bukan perkara mudah yang dapat diperoleh secara instan. Popularitas hanya didapatkan orang-orang yang sudah lama terjun ke masyarakat. Berkarya dengan profesi masing-masing.
Dengan tingkat pengetahuan masyarakat yang sudah semakin baik, mencari popularitas instan tidak terlalu bagus untuk kepentingan elektoral. Masyarakat akan mudah curiga, bahwa popularitas itu hanya semata-mata untuk kepentingan politik. Dalam era teknologi 4.0, tentu bukan hal sulit untuk menelusuri rekam jejak setiap orang, termasuk apa yang sudah dilakukannya selama ini untuk masyarakat. Ingat, konstituen bukan periuk nasi sekadar tempat mengeruk suara dan keuntungan elektoral. Hubungan emosional caleg dan konstituen harus merupakan hubungan emosional yang sudah terbangun dan dirawat dalam jangka waktu yang lama.
Oleh karena itu, popularitas tidak dapat berdiri sendiri. Popularitas yang baik harus ditopang kualitas dan integritas. Kualitas menjadi penting karena menjadi anggota legislatif adalah posisi dengan sejumlah amanah yang sangat menentukan bagi publik. Jika seseorang tidak memiliki kualitas yang baik, tidak mungkin ia akan mampu melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai anggota parlemen di bidang legislasi, pengawasan dan keuangan.
Menjadi anggota legislatif juga harus dimaknai sebagai pengabdian, bukan mencari pekerjaan (job seeker). Oleh karena itu, dalam kampanye, akan sangat menarik, jika apa yang sudah dilakukan para caleg untuk rakyat selama ini lebih mendominasi daripada apa yang akan dilakukannya ketika sudah terpilih. Dengan demikian, latar belakang dan prestasi-prestasi mereka akan menjadi insipirasi bagi masyarakat. Mungkin terlalu naïf, jika penulis menyimpulkan bahwa jabatan politik itu seharusnya dipegang oleh mereka yang sudah selesai dengan dirinya masing-masing. Dengan demikian, anggota legislatif bukan lagi sekadar politikus, tetapi juga mampu menjadi negarawan.
Kualitas dan integritas yang baik akan menjadikan caleg panutan di masyarakat. Ia akan menjadi inspirasi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kondisi begini, publik akan lebih yakin menitipkan amanah dan aspirasinya sebagai ‘perpanjangan lidah’ kepada penguasa. Keberadaan partai politik dalam melaksanakan fungsi utamanya dalam rekrutmen politik sangat menentukan lahirnya caleg-caleg berkualitas dan berintegritas. Hegemoni dinasti kekuasaan dan uang harus diakhiri.
Rekrutmen politik yang baik berkorelasi positif dengan kualitas demokrasi. Semakin baik pola rekrutmen yang dihasilkan tentunya semakin berkualitas pula kehidupan demokrasi. Apalagi ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia belum memberikan peluang kepada publik atau konstituen untuk melakukan recall kepada anggota legislatif yang dianggap melempem atau tidak memperjuangkan aspirasinya.
Selain itu, rekrutmen harus sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan gender, dan nondiskriminasi. Sekali lagi, caleg peserta pemilu harusnya diisi orang-orang yang punya dedikasi, loyalitas, dan kinerja baik dalam profesi sebelumnya maupun di dalam partai. Hanya kepada orang-orang seperti inilah publik dapat berharap banyak bahwa aspirasinya akan diperjuangkan di atas kuasa jabatan dan uang.
Rekrutmen yang baik juga baiknya didukung sistem kompetisi yang sehat (sistem pemilu dan regulasi pemilu). Dengan sistem pemilu suara terbanyak, hasil rekrutmen partai politik tidak boleh larut dengan logika ‘ada uang, Anda menang’. Budaya politik masyarakat harus dibangun. Jangan gadaikan masa depan kita selama 5 tahun hanya dengan uang Rp 50.000 yang menentukan pilihan 5 menit di kotak suara. ***
Penulis adalah dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UGM Yogyakarta.