Main Hakim Sendiri dan Wibawa Hukum

main-hakim-sendiri-dan-wibawa-hukum

Oleh: Januari Sihotang, S.H.,LL.M. Steven Sihombing (21) dan Joni Per­nan­do Silalahi (30) harus meregang nyawa aki­bat tindakan main hakim sendiri oleh se­kelompok massa. Ironisnya, tragedi me­milukan ini justru terjadi di kawasan salah satu kampus PTN dan sudah terlebih da­hulu ditangani oleh pihak satuan pe­nga­manan (satpam) kampus tersebut.

Dalam penalaran yang wajar, penulis tidak mampu memahami mengapa pihak satpam kampus harus menyerahkan kedua orang tersebut kepada massa. Apakah satpam sudah tidak mampu menangani sendiri permasalahan tersebut?

Bukankah seharusnya kampus sudah memiliki Standar Operasi­onal  Prosedur (SOP) jika terjadi dugaan tindak pidana di lingkungan kampus? Penulis meyakini sepenuh­nya bahwa SOP keamanan kam­pus pasti mengedepankan penegakan hu­kum daripada menyerahkan kepada pe­ngadilan massa.

Berdasarkan video yang viral di media sosial, penulis melihat kedua orang yang diduga mencuri helm tersebut tidak mampu melawan amukan massa yang tak mampu dikendalikan. Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan pencurian tersebut, perlu diketahui bahwa tindakan main hakim sendiri bukanlah tindakan tepat dan terpuji dalam menyelesaikan masalah. Apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain.

Dalam konteks psikologi kri­minal, ada berbagai macam latar belakang mengapa emosi massa begitu liar tidak terkendalikan dalam persitiwa ini. Sangat jamak kita ketahui, bahwa tindakan pencurian begitu se­ring terjadi di kota Medan, khususnya di kam­pus dan di wilayah kos-kosan maha­siswa. Orang-orang yang pernah kehila­ngan sepeda motor atau barang lainnya mung­kin saja pernah melapor ke pihak ber­wajib dan laporan tersebut tidak men­da­pat tanggapan serius. Akhirnya, ia me­luapkan emosinya ketika ada seseorang yang diduga tertangkap tangan melakukan pencurian.

   Dengan kata lain, main hakim sendiri terjadi karena masyarakat menganggap hukum tidak berjalan dengan baik sehingga diperlukan alternatif lain untuk menegak­kan hukum. Psikologi massa seperti ini menyebabkan tindakan main hakim sendiri semakin sering terjadi di masyarakat.

Padahal, masyarakat seharusnya mengetahui bahwa tindakan main hakim sendiri memiliki akibat hukum yang fatal. Tidak hanya kepada korban amukan massa, tetapi juga kepada pelaku main hakim itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat harus hati-hati melakukan tindakan seperti ini.

Dalam ilmu hukum, tindakan main hakim sendiri sering disebut dengan eigen­richting. Sederhana­nya dapat diarti­kan sebagai tindakan melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan sehingga berujung kepada kerugian (Sudikno; 2010). Dengan kata lain, main hakim sendiri merupakan upaya mene­gakkan hukum dengan melawan hukum itu sendiri.

Setidaknya ada 2 (dua) pasal dalam KU­HP yang mengatur sanksi bagi para pihak yang melakukan main hakim sendiri. Pasal 170 KUHP misalnya mengatur bahwa “Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terha­dap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.

Selanjutnya, tersalah dihukum dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau kekera­san yang dilakukannya itu menye­babkan sesuatu luka dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menye­babkan luka berat pada tubuh; dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang.

Hukuman berat kepada pelaku main hakim sendiri semakin ditegaskan dalam Pasal 351 KUHP yang mengatakan bahwa: “(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan; (2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun; dan (3) Jika perbuatan itu menjadi­kan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.

Lalu apakah emosi massa dan ketidak­h­adiran negara dalam memberikan per­lin­dungan kepada masyarakat dapat dijadikan ala­san untuk tidak dipidana atas tindakan main hakim sendiri? Hingga saat ini KUHP kita tidak mengatur hal tersebut secara rigid. Lepasnya pertanggungjawaban pi­dana dalam KUHP hanya karena beberapa hal, misalnya Pasal 44 KUHP yang me­nentukan sebab-sebab seseo­rang tidak dapat dipertang­gungjawabkan atas perbua­tan­nya yakni; (1)Jiwanya cacat dalam tu­buhnya.

Keadaan ini menunjuk pada suatu k­ea­da­an dimana jiwa seseorang itu tidak tum­buh dengan sempurna. Termasuk dalam kon­disi ini adalah idiot, imbisil, bisu tuli sejak lahir dan lain-lain; (2) Jiwanya terganggu karena suatu penyakit. Dalam hal ini jiwa seseorang itu pada mulanya berada dalam keadaan sehat, tetapi kemudian dihinggapi oleh suatu penyakit. Termasuk dalam kondisi ini misalnya maniak, hysteria, melankolia, gila dan lain-lain.

Menegakkan Wibawa Hukum

Lalu apa yang harus dilakukan negara agar tindakan main hakim sendiri ini tidak berubah menjadi kebiasaan dalam masya­ra­kat? Dalam beberapa penelitian, ketidak­puasan terhadap kinerja lembaga penegak hukum merupakan faktor utama terjadinya tin­dakan main hakim sendiri. Jika di­pe­rinci, ketidakpuasan tersebut dapat terjadi karena lamban dan tidak profesionalnya penegak hukum dalam menangani suatu perkara, khususnya perkara pidana. Efek jera yang tidak maksimal terhadap para pelaku tindak pidana juga menyebabkan public distrust terhadap institusi hukum semakin menguat.

Mengutip Lawrence Friedman, hukum akan tegak dan beribawa di mata masyara­kat jika ketiga unsur penegakan hukum sama-sama berjalan dengan baik. Subs­tansi hukum (legal substance), aparat pene­gak hukum (legal structure) dan budaya hu­kum (legal culture) harus berjalan ber­iringan. Namun, di atas semua itu, kualitas dan integritas penegak hukum menjadi fak­tor paling dominan.

Mengutip kata-kata Bernardus Maria Taverne (1874-1944): “Geef me goede rechter, goede rechter commissarisen, goede officieren van justitien, goede politie am­btenaren, en ik zal met een slecht wetboeken van strafprocessrecht het geode beruken”. Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun..

Hal ini seiring dengan ungkapan Satjipto Rahardjo (alm), sang begawan hukum progresif Indonesia, bahwa carut-ma­rutnya dunia hukum Indonesia tak lain aki­bat dari pemahaman hukum yang hanya ber­kutat pada teks dan peraturan per­un­dang-undangan.

Hukum tidak dibicarakan secara utuh ka­­rena dilepaskan dari konteks dan di­mensi ma­nusia. Hukum itu bukan seka­dar  per­aturan, tetapi lebih pada perilaku ma­­nusia itu sendiri. Apalah artinya per­aturan yang bagus dan sempurna jika moral para pelaku dan penegak hukum ma­sih buruk?  Oleh ka­rena itu, untuk me­ngenal betul hukum suatu negara, maka kita harus mengenal ke­pribadian bangsa itu sendiri. ***

Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UGM Yogyakarta.

()

Baca Juga

Rekomendasi