Raja Mswati II Himbau

Masyarakat Swaziland Kembali Gunakan Nama Asli

masyarakat-swaziland-kembali-gunakan-nama-asli

PADA April lalu, Raja Swaziland, Raja Msawti III, mengumumkan sebuah kejutan: negara Afrika tersebut akan menggunakan kembali nama pribumi mereka, eSwatini.

Dalam rangka ulang tahun ke­merdekaan Swaziland yang ke-50 dari kekuasaan Inggris April lalu, sang raja, Raja Mswati III, mem­berikan pengumuman me­nge­jut­kan: negara di benua Afrika ter­sebut akan berhenti menggunakan na­ma kolonial mereka. Sebagai gan­tinya, negeri itu akan kembali dik­enal dengan nama asli mereka, eSwatini, yang bermakna 'tanah para orang Swazi'.

Pengumuman tersebut pada awalnya menimbulkan kebingu­ngan.

"Dalam bahasa siSwati, diter­je­mahkan secara harfiah, sang raja ber­kata 'mulai sekarang, ke­rajaan eS­watini akan (kembali) disebut sebagai kerajaan eSwatini'," ujar Jessica Elliott, penulis blog travelling How Dare She asal Amerika, yang hadir pada peri­ngatan ulang tahun emas kemerdekaan tersebut.

"Kebingungan masih berlang­sung hingga akhirnya terjema­han dalam bahasa Inggris di­sampaikan melalui pengeras suara dan semua orang pun paham dan bereaksi. Mereka terkejut, namun menyam­butnya dengan antusias."

Jiggs Thorne, yang lahir di eS­watini dan menciptakan festival tahunan Bushfire Music Festival di sana, juga terkejut, namun baha­gia dengan keputusan negaranya kembali menggunakan nama asli mereka.

"Perubahan nama negara itu bukan sesuatu yang biasa terjadi," tu­turnya. "Perubahan tersebut be­lum berdampak pada festival kami tapi mungkin akan terjadi ketika kami mendatangi pameran musik se­bagai sebuah festival dari eSwa­tini dan banyak peserta yang tak tahu siapa kami dan dari negara ma­na kami berasal."

Meski memasarkan sebuah na­ma baru selalu menantang, war­ga di sana sangat senang de­ngan per­ubahaan tersebut. Kami berbin­cang dengan beberapa di antara me­reka untuk memahami kebang­gaan yang dirasakan di negeri de­ngan nama terbaru di dunia.

Negara tak berpesisir di teng­gara benua Afrika ini memang ti­dak luas, namun pemandangan alam­­nya sangat beragam, baik ka­wa­­san pegunungan yang sejuk, mau­p­un area dataran rendah yang panas dan kering.

Peraturan yang progresif terkait pelestarian lingkungan di sana berhasil melindungi lansekap alam eSwatini, yang te­rus menjadi daya tarik bagi wisatawan maupun pen­duduk baru.

Terpukau

"Orang pasti akan terpukau dengan keindahan alam negeri ini, de­ngan pegunungan dan peman­dangannya yang cantik. Betapa hijaunya negeri ini dan lingkungan alamnya," ujar Lindokuhle Mthup­ha yang tinggal di ibukota eS­wa­tini, Mbabane.

"Wisata alam liar kami selalu menjadi perhentian pertama ke­ba­nyakan turis.

"Saya mengunjungi Swaziland selama dua minggu untuk suatu pekerjaan lepas dan (akhirnya) tak pernah meninggalkan negeri ini," ungkap Ruth Buck, pemilik Hotel Foresters Arms, yang dibangun sekitar 30 kilometer di barat-daya kota Mbabane, yang asli Afrika Selatan.

"Saya suka menyetir di sini, me­nikmati pemandangan yang beragam, mendatangi pasar Swazi yang hidup suasananya. Sungguh ini adalah negeri yang indah de­ngan suasana yang ha­ngat, sangat mudah bagi saya untuk tinggal di sini." Buck juga merasa disambut dengan hangat oleh warga, yang ia anggap sa­ngat ramah, humoris, dan dermawan.

Robert Jupp, direktur pelaksana Mantenga Lodge, yang lahir di eSwatini, kembali ke negaranya setelah mengenyam pendidikan di Afrika Selatan.

"Saya suka ketenteramannya, keindahan alamnya, kebebasan di sana, betapa ramahnya warga dan ik­­lim di sana," paparnya, sambil mengungkapkan bahwa ukuran ne­gara yang kecil justru mem­buat­nya mudah bepergian, dan orang-orang pun bersedia dengan ramah mem­bantu pendatang baru men­jelaskan arah.

"Sungguh, ini adalah negeri yang indah dengan suasana yang hangat"

Dua kota yang menjadi pusat ak­tivitas penduduk, Mbabane se­ba­gai ibukota) dan Manzini, kota ter­besar, tetap tergolong kecil jika dibandingkan dengan kota di n­e­gara lain yang hanya ber­pen­du­duk 76 ribu dan 110 ribu , de­ngan ritme kehidupan yang santai dan jarang sekali orang tampak terburu-buru.

"Kami tak pernah tergesa-gesa dalam segala sesuatu… sega­la­nya," ungkap Mthupha. "Kami sa­ngat santai dan rileks."

Bahasa

Kebanyakan orang berbahasa Inggris dan siSwati, namun warga kerap menggunakan bahasa siS­wati saat menyapa maupun ber­pisah, istlah sapaan dan salam yang hangat selalu menjadi bagian pen­ting dalam budaya di sana.

"Kami suka menyapa siapa saja, ter­masuk orang asing," papar Mthupha. "Kami adalah bangsa yang suka kedamaian, baik hati, rendah hati, dan optimistis. Siapa pun yang berkunjung ke negara ka­mi selalu membuktikan hal itu, bah­wa kami bangsa yang rendah hati dan penuh kasih sayang."

Perayaan warisan budaya juga menjadi bagian penting kehidupan di eSwatini. "Kami pu­nya banyak upcara adat yang menarik banyak orang, dan di sanalah kami benar-benar merayakan kebanggaan sebagai LiSwati (se­butan bagi orang Swazi)!" tambah Mthupha.

Tarian Alang-alang, yang dige­lar setiap bulan September, dimu­lai dengan para perempuan muda memotong banyak alang-alang untuk dipersembahkan kepada Ibun­da Ratu eSwatini, lalu menge­nakan pakaian adat untuk pertun­ju­kan tari dan musik.

Festival Incwala, yang dise­leng­garakan di antara bulan Desember dan Januari, menjadi penanda di­gelarnya perayaan kerajaan yang me­libatkan ritual pensucian yang me­makan waktu berhari-hari, pawai megah di mana raja dan per­sonel militer me­ngenakan pa­kaian khas kerajaan, serta upacara pembakaran di mana sejumlah benda sengaja dibakar untuk melambangkan berlalunya tahun yang lama.

Sebagai salah satu negara de­ngan sistem monarki absolut yang tersisa di dunia, beberapa tahun terakhir, eSwatini bergelut dengan masalah kesenjangan sosial antara pejabat pemerintahan (termasuk Raja Mswati III) de­ngan pendu­duknya.

Perayaan ulang tahun emas ke­merdekaan eSwatini juga me­ma­kan biaya yang sangat mahal, dan mempertontonkan ironi an­tara pe­rayaan kebudayaan dan rasa frus­trasi terhadap pemerintahan.

"Ada kebanggaan terhadap budaya Swazi yang sangat terasa dan masyarakat pun tampak tak ragu menunjukkannya (pada pe­rayaan kemerdekaan)," ujar Elliot.

"Tetapi mereka juga tak se­gan me­nunjukkan amarah terhadap pemerintah yang memprioritaskan pengeluaran dan kekayaan pribadi di atas kemakmukaran bangsa." Pe­merintah eSwatini melarang ada­nya partai politik oposisi, dan war­ga pun bisa dihukum bila mengk­ritik peme­rintahan ataupun raja. (bbcc/ar)

()

Baca Juga

Rekomendasi