Budaya “Kepo” dan “Julid”

budaya-kepo-dan-julid

Oleh: Sam Edy Yuswanto

BUDAYA “kepo” dan “julid” se­pertinya makin marak be­berapa tahun terakhir ini. Dua kosakata ini sangat kerap kita dengar, baik di dunia nyata, lebih-lebih di dunia maya (dumay). Bila merujuk pada catatan Kitabgaul.com banyak sekali yang berusaha mengartikan kata ini. Mi­salnya, menurut Ivan Lanin, kepo termasuk kata sifat, yang artinya suka mencampuri urusan orang lain. Sementara menurut Jimmy Atisa, kepo berasal dari bahasa hokkian. Ke: bertanya, po (Apo): nenek-nenek. Arti­nya, nenek-nenek yang suka berta­nya-tanya, atau ingin tahu banget.

Sementara kata “julid” bila kita merujuk pada tulisan Agista Rully (Kapanlagi.com, 07/07/2017) konon dipopuler­kan oleh Syahrini, salah satu selebriti tanah air. Konon, julid berasal dari kata binjulid (bahasa Sunda). Berdasarkan KBBI, julid artinya iri hati atau dengki. Ada juga yang mengatakan bahwa julid berasal dari kata julita, artinya anak-anak. Biasanya, kata “julid” disematkan kepada orang-orang yang gemar mengomentari orang lain de­ngan komentar yang terlalu pedas atau nyinyir.

Jika melihat pemaparan tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa kepo dimaknai sebagai sebuah keinginan yang begitu kuat dalam diri seseorang untuk mengetahui urusan pribadi orang lain. Sampai-sampai beragam cara pun dilakukan, misalnya stalking akun media sosialnya. Stal­king, bila merujuk pada catatan Arti Kata (artikata.simomot.com) adalah orang yang suka kepo (ingin tahu) kehidupan seseorang dengan cara membuka sosial network-nya, misalnya melihat segala aktivitas dan foto-foto di akun facebook-nya. 

Sementara julid dapat dimaknai sebuah keinginan yang kuat untuk mengomentari secara lebih terperinci setiap ke­giatan yang dilakukan oleh orang lain. Apa pun yang dilakukan oleh orang lain, baik itu yang positif, lebih-lebih bila aktivitas tersebut bersifat negatif, maka akan dikomentarinya secara membabi buta. Berdasarkan pengamatan saya, biasanya sifat julid satu paket dengan sifat kepo. Awalnya, mungkin seseorang hanya sekadar ingin tahu (kepo) urusan atau kehidupan orang lain, tapi kemudian setelah mengetahuinya, lama-lama mulut dan jarinya merasa gatal ingin mengomentarinya de­ngan ko­­mentar yang beragam. Bahkan, terkadang sesama komen­tator saling berdebat dengan sengit. Mereka, para komentator (atau kerap disebut para netizen)  saling adu komentar ketika mengomentari kehidupan orang lain. Tak jarang, cacian, ucapan pedas dan kotor pun terlontar begitu saja dari mereka.

Bukan Budaya yang Baik

Budaya kepo dan julid mestinya bukanlah budaya yang baik. Budaya yang dapat menyebabkan hati kita mudah dirasuki prasangka atau pikiran buruk terhadap orang lain. Budaya yang bisa menjadikan hati mu­dah teracuni penyakit iri hati dan dengki, yang pada muaranya nanti membuat kita menjadi sosok yang gemar bergunjing, mencaci maki, menghakimi, dan menyudutkan orang lain.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa bergunjing adalah hal yang dilarang dalam ajaran agama. Dalam syariat Islam, mem­­­bicarakan keburukan (aib) orang lain, diumpamakan se­perti sedang memakan bangkai saudaranya sendiri. Namun, meskipun banyak orang yang telah mengetahui perumpamaan (dalil) ini, entah me­ngapa sulit bagi mereka untuk terlepas dari kebiasaan membuka aib se­sama.

Ingin tahu urusan orang lain tentu bukan sikap yang baik dan harus dijauhi. Kecuali bila ada orang, misalnya sahabat atau saudara dekat kita melibatkan kita dalam sebuah persoalan pribadinya. Misalnya, ada saudara yang sedang tersandung kasus hukum, lalu dia curhat sama kita dan meminta saran atau jalan keluar kepada kita. Maka hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah membantu kesulitannya semampu kita. Ini pun bukan berarti kita lantas membeberkan masalah yang te­ngah dihadapinya kepada orang lain apalagi sampai me­nyebarkannya kepada khalayak atau masyarakat luas. Karena, sebagai­mana ajaran dalam Islam, menutupi aib orang lain adalah sebuah keniscayaan bagi kita. Barang siapa yang mau menutupi aib orang lain, maka kelak Allah akan menutupi aibnya. Bukankah setiap orang itu memiliki aib yang tidak ingin diketahui oleh orang lain?

Berprasangka Baik

Bagaimana caranya agar kita tak mudah terjerumus arus budaya kepo dan julid? Menurut saya, salah satunya adalah dengan cara selalu me­ngutamakan prasangka baik terhadap orang lain. Jangan sampai kita menjadi orang yang mudah menilai orang lain hanya dari tampilan luarnya saja. Karena terkadang apa yang tampak itu justru menjadi semacam ti­puan bagi kita. Apa yang tampak oleh ke­dua mata telanjang kita, terkadang bukanlah kenyataan yang sebenar­nya.

Hamza Yusuf, dalam bukunya Purification of The Heart: Tanda Gejala, dan Obat Penyakit Hati (2017) menguraikan panjang lebar tentang bahaya yang ditimbulkan dari pikiran negatif atau mudah berburuk sangka terhadap sesama. Bahkan terhadap orang yang berpenampilan buruk pun kita harus berupaya berpikiran baik. Karena bisa jadi Allah sedang menu­tupi kebaikan mereka dari orang lain. Prasangka buruk, termasuk ke dalam jenis penyakit hati yang mestinya selalu berusaha dihindari. Prasangka buruk sering dikaitkan dengan penyakit hati sejenisnya, yakni ghibah (bergunjing) atau ber­bicara buruk tentang orang lain di belakangnya. Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran, Surat Al-Hujurat ayat 12 yang artinya: “Hai orang yang beriman, hindarilah prasangka, karena sebagian prasangka itu adalah dosa”

Menurut Hamza Yusuf, bergunjing bisa saja dalam bentuk tak terucapkan. Misalnya ketika seseorang memiliki pikiran negatif yang tak berdasar pada sesama. Curiga dalam hati yang memengaruhi pikiran dan pendapat seseorang terhadap orang lain dipandang sebagai ghibat al-qalb (bergunjing hati) dan hal ini dilarang dalam Islam. Terkait hal ini, kita bisa merenungi sabda Rasulullah Saw. “Waspadalah terhadap prasangka buruk, karena itu adalah ucapan yang paling salah”.

Akhirnya, lewat tulisan sederhana ini, mudah-mudahan dapat menjadi semacam renungan bagi kita semua, agar selalu berhati-hati dalam bersikap terhadap sesama. Mudah-mudahan kita semua bisa terselamatkan dari sifat kepo dan julid yang dapat menghancurkan kerukunan hidup umat manusia.

***

Penulis adalah pemerhati sosial, alumnus STAINU Kebumen.

()

Baca Juga

Rekomendasi