Komunitas Paling Kontroversial Tionghoa (Cimed) Medan

komunitas-paling-kontroversial-tionghoa-cimed-medan

Oleh: Ris Pasha. Kalau kita ke Jakarta, kita akan mudah menemukan mana orang Tionghoa Medan yang bia­sa dipanggil Cimed. Cimed ada­lah singkatan China Medan. Wa­lau mereka sudah berganti na­ma (namanya aneh), namun tetap ti­­dak meninggalkan bahasa Hok­k­ien. Bahasa keseharian di Me­­dan, bahkan di berbagai bela­han dunia.

Kenapa kedengaran aneh? Ka­takan Seseorang bermarga Lim. Dia mem­buat nama Agus Ha­­lim. Bukan Agus Salim. Kur­nia Angkasa, jika bermarga Ang. Sunarya Khodiat, jika dia ber­mar­ga Kho. Ridwan Tjongarian, kalau dia bermarga Tjong, dan se­ba­gainya. Artinya, mereka te­tap menghormati leluhur dengan memakai marga. Sama seperti Batak. Bagi Batak apalah arti se­buah nama, is ok. Jangan co­ba-coba, apalah arti sebuah marga, bisa marah besar.

Di Prancis, Amerika, Be­lan­da, bahkan di Thailand juga di be­berapa kota di Malaysia, orang Tionghoa-nya pandai ber­bahasa Hokkien. Effendi Setiawan, pernah men­­jadi wartawan selama 11 ta­hun di Harian Analisa Medan. Orangnya kecil, namun energik. Kemudian dia beralih menjadi orang yang bergerak di bidang pro­­perti. Sampai akhirnya de­ngan kerja uletnya dia berhasil membangun “kerajaan” bisnis­nya, baik properti maupun bisnis lainnya.

Buku berjudul; Tionghoa Me­dan, Komunitas Paling Kontro­versial di Indonesia, diterbitkan PT Buku Pintar Indonesia, Jakarta, 2018. Memiliki dua No­mor ISBN, 233 halaman. Buku ini terdiri dari XVIII bab.

Masalah sebutan Tionghoa atau China, dibahas dengan manis pada halaman 33 sampai 37. Me­mang kaum tua, tak suka disebut China, karena dinasti Qin yang membuat mereka ter­usir dari da­ratan Tiong­kok. Mereka pun sam­pai ke Sumatera Utara secara ber­­angsur. Diaspora terjadi ber­tahap, dimulai dari kuli di per­ke­bunan.

Lantas kenapa ada Cimed? Sebenarnya yang memberikan sebutan itu adalah orang-orang China (Tionghoa) yang ada di Pulau Jawa, khusus­nya Jakarta. Selain rasa salut atas kegigihan orang-orang yang me­reka sebut Cimed, mereka juga iri bahkan takut. Apa yang dita­kutkan? Tentu saja ungkapan ne­gatif. Ungkap­an negatif itu, tidak segan-segan dituliskan oleh Effendi Setiawan.

Hal menarik lainnya, menurut saya dalam buku ini, kata China dan Huan Na. Apa yang ditulis me­nurut saya adalah sangat be­nar. Kalau ada yang tak mau di­­sebut China, kenapa justru me­nyebut orang lain Huan Na? Se­benarnya kata Huan Na itu bukan pribumi. Kata Huan Na itu adalah primitif.

Lantas kata Huan Na harus diganti dengan sebutan In Ni Lang. In Ni adalah Indonesia dan Lang adalah orang. In Ni Lang adalah orang Indonesia. Manis bukan? Jika jalan damai ini bisa secepatnya dijalani, maka dua perasaan etnis akan menya­tu. Satu menyebut rekannya Tiong­hoa dan temannya menye­but yang lain In Ni Lang. Sebenarnya apa susahnya?

Hal lain yang menurut penulis cukup berani dituliskan Effendi Setiawan, soal gaji. Jika di perusahaan orang Tionghoa, gaji orang Ti­onghoa pasti lebih besar da­ri ka­um In Ni Lang. Bahkan berkali li­pat. Alasannya karena orang Tionghoa, biaya hidupnya lebih besar.

Dalam Novel Acek Botak, hal ini juga menjadi perbincang­an para tokoh dalam novel ter­sebut. Padahal pada zaman pen­jajahan Belanda bahkan masa orde la­ma, tidak ada pemerasan seperti zaman orde baru. Gaji orang Ti­onghoa tetap lebih besar. Wa­lau posisi pekerjaannya sa­ma. Bahkan selalu terjadi, peker­jaan dan jabatan orang pribumi lebih tinggi/besar, namun gaji­nya le­bih rendah dari hanya se­orang kerani biasa.

Efendi Setiawan, ternyata sa­ngat jeli melihat fenomena ini. Sayangnya Effendi Setiawan ti­dak menuliskan, bagiamana ter­hadap orang pribumi selalu ter­jadi pembunuhan karakter.

Banyak hal menarik dalam bu­ku ini. Seperti orang Tionghoa di Siantar. Ada tiga daerah yang memiliki logat (intonasi kata) seperti orang Siantar. Mereka berasal dari satu daerah di dara­tan Tiongkok, hingga logat Man­darinnya tidak terlepas dari logat daerahnya. Seperti Kuala Simpang, Siantar dan Mataram di NTB. Logat mereka mirip se­kali.

Kesenjangan Sosial

Effendi Setiawan mengata­kan, dalam bukunya ini kesenja­ngan sosial adalah pemicu utama tidak kompaknya Huanna de­ngan In Ni Lang. Orang Huanna tinggal di rumah eksklusif. Orang In Ni Lang ting­gal rumah sederhana. Makan enak di restoran dan In Ni Lang masih banting tulang demi se­suap nasi.

Karena itu Effendi Se­tia­wan selalu berkata pada re­kan-rekannya, jangan berlaku dis­­kriminatif. Kesenjangan so­sial, melahirkan kecemburuan sosial. Terkadang kesenjangan sosial melahir­kan kebencian tak beralasan.

Pendidikan juga mengalami kesenjangan. Pendidikan anak-anak Tionghoa dari luar negeri dan kembali langsung memprak­tikkan ilmunya. Remaja di luar Ti­onghoa masih ramai-ramai merokok di mal. Bahkan iku­tan menyaksikan balap liar. Membuang waktu untuk hal yang tidak berman­faat.

Sedang anak orang Tionghoa dalam kurun waktu 20 tahun lagi akan menjadi kekuatan dahsyat dalam kemaju­an ekonomi Indonesia. Perlu di­pertanyakan, adalah transfer il­mu dari mereka kepada rekannya yang non-Tionghoa? Hal yang tak mungkin. Sebaliknya mereka berupaya keras mendapatkan il­mu apa saja dari rekannya yang non-Tionghoa.

Satu hal lagi yang mungkin dilupa­kan Effendi Setiawan dalam bukunya ini. Soal rasa nasionalisme terhadap bangsa dan negara. Begitu tidak pentingnya bagi mereka untuk ti­dak memelajari sejarah Bang­sa Indoneisa. Tidak penting me­nyanyikan lagu-lagu nasional mulai dari Bagimu Negeri, Satu Nusa Satu Bangsa, Maju Tak Gen­tar, dan sebagainya, sebagai awal pendidikan rasa nasiona­lis­me. Bahkan banyak di antara mereka, mulai dari SMP sampai mahasiswa tidak perlu meghafal urutan Pancasila.

Diskriminasi karena orang Tiong­hoa tidak mendapat ke­sem­patan menjadi TNI, Polri, dan PNS. Perlu dipertanyakan, ada­kah yang mau menjadi TNI, Polri, dan PNS, kalau sejak kecil me­reka ditanamkan menjadi peng­usaha/pedagang? Rasanya tidak. Sebab mereka tahu, gaji TNI, Pol­­ri, dan PNS sangat kecil. Sela­in itu, adakah kaum Tionghoa ter­utama yang masih muda per­duli pada seni dan budaya tradisi kaum Ini Ni Lang?

Kalau Tionghoa di Tapanuli, mereka begitu membaur dan tidak ada masalah. Mereka men­dapat anugerah marga dan diper­oleh dengan upacara adat. Ikut dalam pesta-pesta adat dan me­makai bahasa daerah. Di Ta­ru­tung, Balige, Porsea, Sibo­rong-bo­rong, Dairi, dan Sibolga. Ba­gaimana dengan daerah Lain? Hal ini mungkin juga kelupaan Effendi Setiawan menulis­kan­nya dalam bukunya ini.

Ini juga terlihat jelas dari 50 orang Tionghoa yang sukses da­lam gambar­an Effendi setiawan di bukunya ini. Ke-50 tokoh itu semuanya adalah pengusaha sukses dan hanya ada beberapa orang sebagai politisi. Ini pertan­da, kalau belum terlihat orang Tionghoa Medan yang sukses sebagai seniman dan budayawan yang meng­geluti budaya tradisi di Sumut.

Dari beberapa banyak pendapat dalam buku ini, semuanya bagus. Hanya ada satu pendapat yang penulis sangat setuju. Pendapat Rajamin Sirait. Katanya orang Tionghoa Medan, tidak terbuka karena enggan dan merasa tidak aman. Rasa ti­dak aman itu, membuat rumah orang Tionghoa dipagari terali besi yang tinggi. Akibatnya ter­kesan eksklusif, enggan bergaul dan menarik diri dari lingkungan.

Seharusnya ini tidak terjadi. Jika terjadi kedekatan dengan lingku­ngan, maka lingkungan juga akan meng­amankan saudaranya. Pada 1998, kata Rajamin Siratit, banyaknya orang Tionghoa ek­sodus ke luar negeri, karean merasa tidak aman. Perasaan tidak aman ini menurutnya karena tidak adanya ke­terbukaan. Dengan eksodusnya ke luar negeri, membuat orang ber­tanya-tanya, di mana rasa na­sionalisme itu?

Buku ini, menurut penulis, sebuah trobosan baru dari kaum Huanna terhadap kondisi objektif yang ada. Effendi Setiawan me­nurut penulis cukup berani me­nu­liskannya sebagai kririk oto­kritik terhadap kaumnya. Penulis justru mengatakan, wajib dibaca oleh siapa saja. Apakah oleh ka­um Huanna atau kaum Ni In Lang. Selamat membaca.

()

Baca Juga

Rekomendasi