
Oleh: J Anto. DI balik setiap perayaan Imlek, masyarakat Tionghoa selalu diingatkan cerita-cerita folklor, baik berbentuk dongeng maupun legenda. Pertanyaannya bagaimana anak muda Tionghoa milenial memandang folklor yang diwariskan orangtua dari generasi bergenerasi itu?
Ini kisah Maitri Nanda Lim saat masih kecil. Ia masih kelas IV SD kala itu, masih suka bermain-main seperti anak kecil umumnya. Siang jelang malam sacapme, malam hari jelang Imlek hari pertama yang biasa diisi keluarga dengan makan malam bersama, ia bermain sapu sembari menyapu-nyapu lantai rumah. Saat ayahnya melintas dan melihat apa yang dibuat anaknya, spontan ayahnya menegur dan mengambil sapu itu.
“Ehhh…, Nanda, nggak boleh sapu-sapu saat Imlek nanti rezeki kita hilang semua,” ujar ayahnya. Nanda terkejut, sekaligus tak mengerti. Apa hubungan menyapu dengan rezeki? Maklum ia masih kecil. Lalu polos ia bertanya kepada ayahnya.
“Pah, kenapa saya tidak boleh menyapu saat Imlek?”
“Pokoknya itu dulu yang dibilang sama dan akong-mu. Kamu harus menurut.”
Berbagai tabu selama perayaan Imlek, tak hanya dialami Nanda, kini mahasiswa semester V di Unversitas Cendana, Medan, tapi juga Helen Limelvia, Andre, Irine, Cynthia, dan puluhan anak-anak muda lain. Mereka adalah anak-anak yang lahir awal 2000-an. Mereka mengungkapkan perkisahan tersebut dalam kegiatan “Bincang Santai Imlek di Mata Generasi Milenial”, di Kompleks Vihara Maitreya, Cemara Asri, Kamis (31/1) sore.
Kegiatan yang dihadiri 20 anak muda itu difasilitasi konsultan manajemen, penulis dan pembicara kondang, Rudy Rachman dan Marwin Tan. Ia lulusan Business & Management University of Sydney, Australia. Sedangkan Marwin Tan adalah Koordinator Even Perayaan Umum Maha Vihara Maitreya, Medan.
Anak-anak muda itu adalah mahasiswa dari beberapa PTS dan dari perwakilan organisasi masyarakat Tionghoa, seperti pengurus GEMA INTI Medan, Scholles Tan, juga Sekretaris PINTI Sumut Herlina Fu, Ketua Polonia Toastmasters Club, Sylvia Wong, serta Ketua dan Sekretaris Young Entrepreneurs Council, Hasustan Kosim dan Hendry Ong.
Nilai Filosofi
Jika Nanda bertutur tentang tabu menyapu, Helen berkisah tentang larangan menggunting kuku. Peserta lain bercerita tentang pantangan mencuci baju dan mandi. Ada juga yang bilang larangan tidak boleh pangkas, rambut tidak boleh gondrong, tidak boleh keramas, pintu rumah harus selalu terbuka, tidak boleh memakai baju lama, dan tabu-tabu lain.
Begitulah perayaan Imlek, seperti juga perayaan hari besar lain dalam masyarakat Tionghoa seperti Cap Go Meh, Ceng Beng atau Peh Chun, tak pernah lepas dari folklor. Legenda barongsai, liong, kue bakul sampai tabu-tabu tadi akan selalu aktual.
Persoalannya, bagaimana anak-anak muda generasi milenial seperti Nanda dan Helen cs, memaknai semua tabu selama perayaan Imlek itu? “Dulu saat kecil ya percaya saja, tapi sekarang banyak baca referensi, termasuk yang ada di dunia maya, ya tidak lagi percaya,” katanya.
Pendapat Nanda diamini semua peserta kegiatan. Namun begitu, saat ditanya lebih jauh tentang tabu menyapu saat Imlek, Nanda punya argumen rasional. “Kalau kita masih kerja saat Imlek, waktu kita kumpul dan berbakti kepada orang tua jadi berkurang,” katanya.
Senada dengan Nanda, Helen juga punya argumen sebangun ihwal gunting kuku ditabukan. “Bikin lantai rumah kotor dan harus disapu, jadi kerjaan lagi,” katanya.
Rudy Rachman mengapresiasi sikap kritis tersebut. Sebagai generasi yang lebih tua, ia tentu saja tak ingin anak muda milenial kehilangan jati diri budaya yang diwariskan para leluhur. Ia sadar, setiap produk budaya yang bersumber dari tradisi, memiliki konteks waktu yang harus dinilai kritis. Namun ia percaya budaya yang bersumber dari tradisi itu selalu punya nilai-nilai kearifan atau filosofis, yang tetap kontekstusl dengan kehidupan kekinian.
Bersama Marwin Tan, dengan menggunakan metode dialogis, mereka berhasil menumbuhkan fajar pengetahuan baru di kalangan anak muda milenial. Pantangan menyapu saat merayakan Imlek harus dipahami bahwa saat Imlek, waktu setiap anggota keluarga sangat berharga. Waktu yang ada sudah semestinya digunakan untuk berkumpul, berbagi cerita, bersendau gurau, saling menguatkan di antara anggota keluarga.
Tak terkecuali waktu untuk menjamu keluarga pihak luar yang sudah lama tak berjumpa. Bisa dibayangkan jika saat Imlek, waktu setiap anggota keluarga habis untuk mengurusi pekerjaan rumah, seperti menyapu atau mencuci baju. Anak muda karena itu harus pandai memilih dan memilah waktu dengan bijak.
Menurut Scholles Tan, anak muda segenerasinya saat Imlek hari pertama harus berkumpul bersama keluarga. Tidak lantas pergi ke tempat lain dengan teman dekat atau teman sepergaulan.
Menurut Rudy Rachman, pantangan menyapu sebenarnya lebih berkelindan dengan kebersihan dan kesehatan. Saat Imlek, setiap keluarga umumnya memiliki persediaan makanan khusus dan kue. Kegiatan menyapu bisa menimbulkan debu yang membuat kotor makanan. Ujung-ujungnya bahkan dapat menimbulkan ancaman kesehatan.
Dari sisi etika sosial, menyapu rumah saat sebuah keluarga kedatangan tamu atau saudara dari jauh, juga bisa menimbulkan masalah etis. Tamu seolah merasa disindir agar segera mengakhiri kunjungannya. Sementara pantangan mencuci baju juga mengandung ajaran moral etika dan faktor estetika.
“Bagaimana saat famili atau tamu datang, mata mereka langsung disuguhi pemandangan jemuran pakaian dalam yang menggantung dan berkibar-kibar tertiup angin?” ujar Marwin Tan membuat retorika.
Dewa Dapur dan Angpau
Diskusi selama kurang lebih 2 jam juga membincang tentang sembahyang Tjiao Kun Kong atau Dewa Dapur. Mengutip legenda yang ada, Rudy Rachman mengatakan Dewa Dapur selama setahun dikisahkan memerhatikan seluruh tingkah laku pemilik rumah. Hasil itulah yang dilaporkan kepada Tuhan.
Alkisah, agar laporan Dewa Dapur hanya berisi yang baik-baik saja, yang manis-manis, maka saat sembahyang Dewa Dapur disajikan kue bakul. Kue bakul tak hanya manis rasanya, tapi juga mudah lengket di mulut. Konon ini juga membuat Dewa Dapur tak bisa berbicara saat ditanya hasil laporannya.
“Tapi jangan artikan kisah ini sebagai bentuk suap kepada Dewa Dapur,” ujarnya. Rasa kue bakul yang manis adalah ajaran moral untuk berbakti kepada orang tua yang telah melahirkan, membesarkan, dan mendidik anaknya. Karena itu, Imlek adalah momen tepat bagi anak untuk berbuat bakti. Baik lewat kata-kata maupun perbuatan yang menyenangkan orang tua.
Sementara saat membincang angpau, semua peserta diskusi sepakat bahwa salah satu momen paling dinanti saat Imlek. Namun pengurus Himpunan Pengusaha Kecil/Mikro dan Menengah itu meminta agar pemberian angpau jangan dilihat dari besaran isinya. Ada yang lebih mulai di balik itu.
“Angpau itu simbol untuk mau berbagi. Berbagi kepada anak atau sesama yang membutuhkan,” katanya. Itu artinya pemberian angpau mengandung pesan agar anak juga berbagi angpau untuk orang lain, wujudnya tak mesti berupa uang.
Menurut Sylvia Wong, anak muda juga bisa berbagi kebahagiaan dengan mengunjungi lansia di panti jompo, mengunjungi keluarga, dan terutama selalu menunjukan kasih sayang terhadap orang tua. “Itu nilai-nilai budaya Imlek yang harus tetap dilestarikan.”
Sylvia Wong yang dikenal sebagai toast master itu, menyebut itulah beragam bentuk foklor di sekitar perayaan Imlek memang harus dimaknai secara kritis. Dengan begitu dapat dipetik hikmahnya secara hakiki, tanpa mengabaikan cerita-cerita lisan yang bersumber dari tradisi.