
Medan, (Analisa). Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga masih mendominasi kekerasan terhadap perempuan di Sumatera Utara, terutama Kota Medan. Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan inspirasi dan materi bagi LBH APIK Medan dalam melakukan advokasi kebijakan. Tujuannya adalah untuk menciptakan perubahan iklim pada hukum Indonesia yang masih bias gender. Hal ini diungkapkan Pengurus LBH APIK Medan, Rasina Padeni Nasution.
"Dari tahun ke tahun permasalahan kekerasan terhadap perempuan masih saja terus berlangsung. Berbagai faktor menjadi penyebab dan salah satunya dalah hukum yang tidak berpihak kepada perempuan pun penegak hukum lainnya yang menangani permasalahan kekerasan terhadap perempuan," katanya kepada Analisa, belum lama ini.
Dijelaskan perempuan yang juga dosen di UIN ini, pada 2015, terhitung sejak bulan Februari hingga Desember 2015, jumlah pengaduan yang diterima oleh LBH APIK Medan berjumlah 75 kasus. Kasus yang mendominasi adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Pada 2016 masih dijumpai keadaan yang sama, LBH APIK Medan menerima pengaduan sejak Januari sampai Desember 2016 sebanyak 78 kasus.
"Khusus pada 2016, jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami peningkatan. Setidaknya sebanyak 43 kasus KDRT berakhir pada perceraian. Pada 2017 jumlah ini menurun, meskipun tak siknifikan yakni sebanyak 77 kasus, dan menurun lagi pada 2018, yakni berjumlah 68 kasus," jelasnya.
Begitupun data itu membuktikan, kasus kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi permasalahan bagi perempuan di Sumut. Sampai saat ini ditegaskan Rasina, kasus KDRT masih mendominasi kasus-kasus lain yang masuk ke LBH APIK Medan. Sebutlah seperti kasus perceraian, pencabulan, penganiayaan, hak asuh, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), Penipuan dan lainnya.
Dijelaskan Rasina, KDRT menurut UU No. 23/ 2004 tentang Penghapusan KDRT membagi empat jenis kekerasan, yaitu (1) Kekerasan fisik, (2) kekerasan psikis, (3) kekerasan seksual dan (4) kekerasan ekonomi (penelantaran dalam lingkup rumah tangga). Khusus pada kasus penelantaran dalam rumah tangga disebutkan Rasina masih mendominasi dalam kasus KDRT yang ditangani LBH APIK Medan.
"Selama empat tahun terakhit perjuangan LBH APIK Medan dalam melakukan advokasi memiliki berbagai hambatan dan tantangan. Beberapa kasus penelantaran yang ditangani tidak mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya," bilangnya.
Terhambat
Persis kasus yang ditangani LBH APIK Medan yakni Kasus LN (18). Dikisahkan Rasina, pada 2016, pelaku mulai mendekati korban yang merupakan adik dari teman pelaku. Korban saat itu masih berumur 17 tahun. Mereka akhirnya berpacaran. Pada 2017, Pelaku mulai mengingimingi dan menjajikan pernikahan kepada korban, akhirnya berhasil meniduri korban dan hamil.
Setelah mengetahui korban hamil. Pelaku mulai tidak dapat dihubungi. Kemudian korban mendatangi pelaku ke rumahnya, mengatakan bahwa apabila pelaku tidak mau menikahi korban maka pelaku akan dilaporkan ke polisi atas perbuatan pencabulan pada anak di bawah umur. Pada Maret 2017, Pelaku dan korban akhirnya menikah. Malam harinya pelaku langsung meninggalkan rumah setelah akad dengan alasan inign merantau mencari uang untuk biaya persalinan korban.
Tepat pada Mei 2017, korban kemudian melahirkan, namun pelaku tidak kunjung pulang. Seluruh biaya bersalin dan kebutuhan korban ditanggung oleh keluarga korban. Korban merasa terpukul dan kecewa. Hingga pada Agustus 2017, Pelaku diketahui sudah kembali, namun bukannya mencari anak dan istrinya, pelaku justru diketahui sudah memiliki wanita lain yang saat ini juga sedang hamil dan meminta pertanggungjawaban pelaku untuk dinikahi. Pelaku dan korban tidak pernah hidup bersama dari awal pernikahan hingga saat ini. Korban berusaha mencari dan mengajak pelaku komunikasi namun tidak ada itikad baik apalagi berusaha bertanggung jawab.
Adapun bentuk penanganan penanganan yang dilakukan LBH APIK Medan adalah pendampingan hukum, konsultasi, investigasi dan pendampingan di pengadilan (litigasi). (del)