Agar Asap Hio Terus Berkepul

agar-asap-hio-terus-berkepul

JEMARI tangan A Liang (70), sigap meng­ambil segenggam serbuk kayu dari sebuah karung plastik yang teronggok di ruangan berukuran sekitar 3 x 4 meter itu.  Serbuk kayu itu lalu ia taruh di atas meja berlapis seng. Langkah kakinya terpin­cang saat ia bergerak mendekati sebuah ember plastik hitam. Dengan piring seng, ia menyiduk serbuk warna putih kecoklatan yang ada dalam ember, lalu menuangkan ke atas serbuk kayu itu.

"Ini lem tiga urat," ujarnya menyebut serbuk putih itu. Ia lalu mengaduk lem yang telah bercampur dengan serbuk kayu itu dengan mencampur sedikit air. Lalu jari tangannya meremas-remas hingga menjadi adonan. Setelah dirasa cukup, adonan itu dibentuknya jadi bulatan. Tiba-tiba bulatan itu dilempat ke dinding. Adonan itu lengket dan tak jatuh. Mirip tanah lempung atau tanah merah saat ditiup dari sumpit bambu ke dinding rumah.

Begitulah gambaran sederhana cara membuat adonan hio sebelum digiling-giling ke batang kayu menjadi hio yang digunakan sebagai media perantara umat Tao, Konghucu, dan Buddha saat komunikasi  dengan Thi Kong (Tuhan).

A liang punya 2 ruang kerja. Ruang kerja pertama digunakan A Liang untuk mewarnai, membuat ornamen kepala naga dan melukis terlihat sederhana. juga sekaligus  memajang hio karyanya.  Di lantai ruangan yang terbuat dari semen itu, berserakan batang-batang kayu, baik yang sudah diberi pewarna merah atau belum. Batang-batang kayu juga terletak bersilangan di plafon ruangan yang terbuka.

Puluhan batang hio berwarna dasar merah dan siap dilukis, berjejer menyandar ke dinding ruangan yang terbuat dari tripleks itu. Di samping hio-hio itu, ada dua batang hio berdiameter sekitar 10 inci  dengan ukiran kepala naga yang belum dicat.

"Ini hio cadangan, jika sewaktu-waktu ada yang pesan," katanya saat dijumpai di ruang kerjanya merangkap  rumahnya di Jalan Yos Sudarso, KM 17,5,  Medan Labuhan, Selasa (5/3).  Hio terbesar yang ia buat, saat masih basah, beratnya bisa mencapai 50 kg. Saat sudah kering menurut A Liang menyusut jadi sekitar 30 kg. A Liang menjual hio itu antara Rp 400.000 - Rp 500.000.

Untuk bahan serbuk kayu, A Liong mengaku tak terlalu sulit menda­patkan. Namun untuk lem tiga urat, ia harus mengen­dari becak barangnya ke Medan Sunggal. Tak kurang dari 30 km. Ia membeli lem tiga urat dari sebuah pabrik hio di sana. Lem tiga urat, tak bisa sembarang didapat di Medan.

Untuk kayu batang hio, menurutnya juga mulai susah didapat. Apalagi ada persyaratannya: kayu  harus lurus, tak boleh bengkok. "Hio tak mung­kin bengkok," ujarnya tertawa.

A Liang sudah 40-an tahun menekuni kerajinan membuat hio. Sudah sejak ia berumur 30 tahun. Ayahnya sebenarnya pernah berdagang ikan asin. Tempat untuk menjemur ikan asinnya terletak pada sebidang tanah di belakang rumah­nya yang terletak di pinggir jalan. Tanah warisan orang tuanya itu cukup luas, 45 x 20 meter. Tapi tanah warisan itu telah lama dijual saudaranya, selang tak lama setelah ayah mereka meninggal dunia dan seiring itu usaha ikan asin pun tutup.

Menumpang  

Untuk membuat adonan dan proses penggilingan, ia terpaksa meminjam di atas tanah bekas warisan orang tuanya yang telah jadi milik orang lain itu. Ruang kerja kedua untuk mem­buat adonan dan penggi­ling­an hanya sderupa pondok kayu beratap seng dan berlantai tanah merah. Beberapa karung berisi serbuk kayu teronggok di situ, juga beberapa batang hio yang belum diwarnai, dilukis, dan diberi orna­men. Ada juga sebuah meja panjang untuk menggiling adonan.

"Keadaan saya ya seperti ini, bisa untuk makan sehari-hari saja dari usaha membuat hio ini," katanya. Anaknya ada 7 orang, semuanya sudah berkeluarga. Tiga anaknya yang cukup bagus kerja­nya, sering membantunya memberi uang.

Maklum, kebutuhan orang akan hio besar tak sebanyak hio kecil. Produksi hio A Liang juga dikerjakan secara manual. Itu juga jadi hambatan sendiri. Terkadang karena campuran serbuk dan lem kurang proporsional, atau penjemuran kurang sempurna, hio jadi mudah retak.

Boleh dibilang, ia memang tak seberuntung pengusaha dupa lain. Umumnya mereka telah membuat hio dengan mesin. Baik dalam proses pencampuran bahan, pewarnaan, maupun penggilingan adonan ke stik kayu. Tak hanya  produktivitasnya lebih unggul, waktu produksi juga lebih singkat. Belum lagi kualitas hasil gilingan adonan ke stik  juga lebih kuat dan terlihat lebih rapih penampilannya.

Mesin pembuat hio, jelas bukan murah harga­nya. A Liong pernah mendengar, untuk pengada­an mesin pembuatan hio kecil dibutuhkan modal tidak kurang Rp 500 juta.

Itu sebabnya sekalipun sudah 40 tahun dikenal sebagai perajin hio, bisnisnya seperti 'jalan di tempat'.

Sebagai gambaran, dupa dengan diameter antara 2 - 3 inci ia jual dengan harga Rp 20.000. Dalam sebulan ia mengaku paling banyak menjual 40 batang. Itu pun tak menentu. Sekalipun tak jadi kaya dari membuat hio, namun A Liong sepertinya tak menyesal dengan pilihan hidupnya.

"Selain hanya  untuk hidup sehari-hari saya, saya juga merasa senang bisa membuat orang lain bisa melakukan sembah­yang," katanya. Karena itu, sepanjang fisiknya masih kuat, A Liang bertekad akan terus menggiling adonan serbuk kayu dan lem tiga urat, agar asap hio terus bisa berkepul. (J Anto)

()

Baca Juga

Rekomendasi