Perjalanan Sebatang Hio

perjalanan-sebatang-hio

Oleh: J Anto

HIO ata dupa bukan sekadar sebatang kayu yang dibakar dan mengeluarkan aroma harum atau tidak mengeluarkan aroma. Bagi umat Tao, Konghucu dan Buddha, hio adalah sebuah medium saat doa, harapan dan rasa syukur diantar umat kepada Thi Kong (Tuhan) atau Buddha yang mereka sembah.

Berhari-hari, bahkan berbulan hidup di atas kapal tongkang yang diombang-ambingkan ombak lautan  saat  menuju ke tanah harapan, apa saja  yang mung­­ kin dilakukan para  imigran Tionghoa saat melakukan emigrasi dari kampung halaman  mereka di Tiong­kok?

Selain aktivitas makan, minum, tidur, mereka tentu juga melakukan ritual religi sesuai kepercayaan mereka. Ombak laut yang ganas, tanah baru yang tak dikenal, bayangan akan nasib yang belum jelas, semua saling berkelindan  menimbulkan tekanan psikis.

Wajar jika sebagian imigran Tiong­hoa itu jadi mabuk, sakit, dan cemas bahkan stres. Di tengah rasa ketidak­pasti­an itulah, orang umumnya lalu berpaling atau berharap pertolongan dari kekuatan yang ada di luar diri mereka. Bagi  penganut agama Tao, mereka memer­cayai, di mana ada udara, mereka bisa berkomunikasi dengan para dewa langit lewat asap yang harum membumbung ke angkasa.

"Penuturan ayah saya dulu saat berangkat dari Tiongkok, ayah saya membawa beberapa patung dewa. Sepanjang perjalanan di kapal sam­bung-menyambung ia membakar hsiang mu yang mengeluarkan aroma harum." Hsiang mu dipercaya sebagai media perantara saat ayahnya membaca doa-doa, mantra dan permohonan agar sampai ke para dewa.

Petikan kisah itu dituturkan Ketua Vihara Setia Buddha, Medan Tembung, Berry Chandra Watan atau lebih dikenal sebagai Berry CWT, yang dihubungi via telpon, Rabu (6/3). Saat para imigran Tionghoa itu sampai di tanah tempat mereka terdampar,  mereka tetap membakar  hsiang mu untuk media berkomunikasi dengan para dewa, termasuk para leluhur. Namun saat persediaan hsiang mu habis, mereka lalu mencari bahan sejenis sebagai pengganti untuk kegiatan sembahyang di tanah air yang baru, agar tak terputus.

Hsiang mu adalah kayu di Tiongkok yang mengeluarkan aroma harum. Hsiang artinya harum. Di Indonesia kayu yang dikenal memiliki aroma harum saat dibakar adalah gaharu dan cendana.  Namun popularitas gaharu tak tertandingi. Sejak itu di kalangan masyarakat Tionghoa,  kayu gaharu digunakan sebagai alat perantara saat berkomunikasi dengan Tuhan. Namun dalam perjalanan waktu, gaharu sering dibilang garu.

"Jadi dulu sebelum ada hio, kita bakar kayu gaharu yang telah dibelah," kata Berry. Kayu gaharu juga dulu bahan untuk membuat ciam si yang digunakan untuk meramal peruntungan seseorang di kelenteng.

Saat teknologi untuk membuat serbuk kayu gaharu mulai dikenal dan serbuk itu bisa ditempel pada potongan bambu yang telah diberi lem, mulailah dikenal sebutan hio atau dupa. Dalam bahasa Hokkian, hio artinya sama artinya  dengan hsiang dalam bahasa Mandarin, yaitu harum. Menurutnya, hio sudah ada 5000 tahun sebelum masehi seiring berkembangnya ajaran Taoisme.

Hio menjadi lambang alat untuk berkomunikasi dengan leluhur, dewa-dewi dalam agama Tao karena wewa­ngi­an yang menyebar dalam udara adalah salah satu bentuk penghormatan kepada yang dipuja. Asap dari dupa yang bergerak ke atas juga sebagai perlambang bahwa niat untuk meng­hor­mati atau memuja akan sampai kepada mereka  yang derajatnya lebih tinggi.

Bukti bahwa hio sudah ada sejak lama antara lain terdapat dalam Kitab Zhou Li (tata krama dinasti Zhou). Dalam kitab itu ditulis, untuk menghor­mati Huang Tian adalah dengan yin atau asap yang membumbung karena kayu-kayu harum yang dibakar. Yin itulah hio yang asli. 

 Agar  Tak Mengantuk

Namun ada juga versi lain, yang menyebutkan bahwa hio datang seiring masuknya agama Buddha ke Tiongkok. Awalnya hio bukan untuk penyem­bahan kepada Buddha Sakyamuni saat umat bersembahyang. Tapi saat itu Buddha Sakyamuni tengah mengajar kepada para muridnya. Namun cuaca saat itu panas, banyak murid tak konsentrasi, bahkan mengantuk saat mendengar wejangani Buddha Sakya­muni.

Untuk mengatasi hal ini, orang-orang  kemudian membakar kayu-kayu harum  untuk mengharumkan udara dan meningkatkan konsentrasi. Tradisi ini lalu menjadi kebiasaan dalam agama Buddha dan terbawa ke Tiongkok dalam penyebarannya.

Ada berragam ukuran hio yang digunakan umat saat mereka bersem­bah­yang. Namun begitu, menurut Berry, hal itu tergantung keikhlasan orang saat mengucapkan rasa syukur mereka.  "Namun di mata para dewa, besar kecil hio itu sama saja, ke­ikhlasan yang penting," tegasnya.

Hingga kini, hio menjadi salah satu warisan budaya Tionghoa yang tetap eksis keberadaannya. Praktik religi di kelenteng, vihara, dan di rumah, tak bisa dipisahkan dari hio. Bahkan umat Hindu di kuil-kuil mereka  juga menggunakan hio, termasuk umat Hindu di Bali. Para pemulia  hio tumbuh dan bermunculan di sejumlah kota besar. Medan salah satunya.

Sentra penghasil hio di Medan terdapat di Medan Labuhan dan Medan Sunggal. Tansri William  (31) dari perusahaan Naga Mas salah satunya. William mewarisi usaha hio dari orangtuanya yang telah  merintis sejak 1985. Awal-awal  usahanya masih tergolong kecil. Namun kini telah berubah jadi salah satu pabrik hio besar dan terkenal di Medan.

Distribusinya tak hanya  di Kota Medan dan sekitarnya, tapi juga merambah ke Bagan Siapi-api, Palem­bang, dan Pulau Jawa, terutama Jakarta. Hio beragam ukurannya, yang paling kecil batangnya sebesar tusuk sate. Diameternya sekitar 1-2 mm dan tingginya 40 cm. Di Jawa hio seperti ini populer disebut hio halus. Lalu ada yang diameternya 2,88 mm, 3,2 mm , 2 inci, 3 inci, 4 inci, 8 inci,10 inci, dan 12 inci.

Serbuk dan Lem

Hio terbuat dari serbuk kayu dicampur lem yang terbuat dari kulit pohon urat tiga. Untuk membuat harum lalu dicampur pewangi. Sekarang ini jarang lagi hio yang tarbuat dari serbuk kayu gaharu atau cendana. Harga kayunya mahal. "Pernah ada yang pesan, tapi kita tak sanggup cari kayu gaharu,” ujar William.

Serbuk kayu dan bubuk lem lalu dicampur dan diaduk menjadi sebuah adonan. Setelah itu adonan digulung ke batang kayu atau stik dengan cara digiling dan disiram air. Untuk hio ukuran besar, harus dua orang yang menggiling. Keduanya saling meme­gang ujung stik. Setelah adonan lekat ke stik, tahap selanjutnya adalah menganginkan hio.

Gulungan tidak boleh dijemur di bawah sinar matahari karena membuat adonan di atas kering, namun  lem di lapisan paling baswah tidak menempel kuat ke stik. Akibatnya hio mudah retak atau lepas. Dibutuhkan waktu sekitar 3 hari agar adonan dan lem benar-benar lekat ke batang kayu. Setelah kering baru ditambah lagi adonan, digiling lagi, dianginkan lagi.

Penambahan adonan sesuai diameter hio yang dipesan. Menurut William, hio dengan diameter 2 – 3 inci butuh proses penggilingan, pengecatan, dan pembuatan ornamen sekitar  2 - 3 minggu. Sementara untuk hio  diameter 8 - 12 inci butuh waktu lebih lama, berkisar 6 bulan.

Membuat hio berdiameter 2 inci ke atas, tak sesederhana membuat hio halus. Hio harus dilukis atau diberi ornamen liong (naga). Ada juga kata khusus dalam aksara Mandarin. Semacam doa. Misalnyal he jia phing an, yang artinya kurang lebih semoga satu keluarga selamat dan sehat. Ornamen naga dan kata-kata khusus, bisa dibuat dalam bentuk lukisan, bisa juga ukiran timbul yang dicat warna-warni.

"Untuk ukuran 2 sampai 3 inci kita sudah ada cetakan liong-nya, namun untuk ukuran 4 inci ke atas harus diukir sendiri hingga butuh waktu dan ketrampilan tersendiri," ujarnya. Untuk hio  halus dan ukuran 2 - 4 inci pembuatannya sudah dikerjakan lewat mesin. Namun untuk hio ukuran 4 inci ke atas  masih dikerjakan secara manual.

Kadang ada juga pemesan yang minta ditambah gambar lain.  "Misal­nya ada yang minta ditambah ornamen buah nenas, lambang kemakmuran" ujarnya. Khusus untuk hio berdiameter 8 - 12 inci dengan tinggi 2,2 meter, harus dipesan 6 - 7 bulan sebelum hio itu digunakan untuk sembahyang. Selain faktor besarnya diameter, bahan dasar hio yang berasal dari alam, juga sangat tergantung cuaca.

Pesanan hio besar paling ramai jelang perayaan Imlek ce it, dan capgo,  termasuk mendekati perayaan ulang tahun para dewa kelenteng. Sedang hio yang hampir tiap hari dibutuhkan umat adalah hio halus, baik yang harum maupun yang tidak, atau original.

Menurut William, hio original digunakan untuk sembahyang arwah.  "Biasanya untuk arwah yang belum sampai 30 tahun belum bisa memakai hio yang harum," katanya.

Bagi William, menjalankan usaha membuat hio bukan semata soal untung rugi, tapi juga beririsan dengan usaha melestarikan adat dan budaya Tiong­hoa. Jika saat ayahnya masih hidup ia masih ogah-ogahan membantu mengu­rus pabrik, kini sebagai anak sulung dari dua bersaudara, ia punya tang­gung­jawab penuh atas hidup mati pabrik.

Tak heran, sekalipun usianya masih muda, ia fasih bercerita tentang cara membuat hio sampai sejarah dan maknanya.  

Begitulah hio atau dupa memang bukan sekadar sebilah kayu yang dibakar dan asapnya menimbulkan aroma harum. Di sana ada komunikasi, doa, juga harapan yang dipanjatkan umat kepada Thi Kong atau Buddha. Karenanya, sekalipun telah mengalami perjalanan panjang dengan mengarungi ribuan mil lautan, hio itu sampai kini masih terus menyala dan menebarkan aroma harum.

()

Baca Juga

Rekomendasi