Teori dan Konsep “Uang Haram”

teori-dan-konsep-uang-haram

Oleh: Dr. Salman Nasution SE.I., MA

Jika ditanya, siapakah yang mencipta­kan langit dan bumi?, maka semua men­jawab bahwa yang menciptakan langit dan bumi adalah Sang Maha Pencipta. Hal ini juga menjadi ideologi bangsa Indonesia yang menempatkan keyakinan kepada Tuhan berada di puncak teratas (dalam sila pertama) dalam Pancasila yaitu “Ketuha­nan Yang Maha Esa”. Dan dalam pengem­ba­ngannya, Indonesia mengakui akan ke­bera­gaman keagamaan dan keyakinan se­ba­gaimana termaktub dalam UUD 1945 ayat 1 dan 2.

Keyakinan kepada Tuhan, tidak serta mer­ta yakin di dalam hati, namun yang ter­penting yaitu menjalankan perintah-pe­rin­tah Tuhan yang tertera pada kitab yang di­imani, termasuk diantaranya “jangan men­curi”, atau dalam bahasa Indonesia dikenal uang haram. Entah apa maksud dan siapa pula yang membuat istilah ini, sehingga istilah Uang Haram masih ter­dengar dan dibahasakan oleh beberapa ka­langan?. Namun begitu pun, penulis akan menyampaikan istilah tersebut dari segi kebahasaan, agama dan sosial dan dihubungkan pada fenomena kekinian. Sehingga, pengungkapan istilah uang haram, dapat dimaksud dapat menjaga ke­har­monisan per­saudaraan dan menjaga nilai-nilai agama yang dianut oleh rakyat In­donesia.

Uang adalah ciptaan yang dibuat oleh manusia dengan tujuan untuk memperlan­car alur transaksi keuangan. Banyak cip­taan uang yang dibuat oleh manusia, di­antaranya adalah uang emas dan perak, uang kertas dan uang teknologi atau dikenal dengan fintech. Keberlakuan uang merupa­kan peng­akuan dari penguasa dan atau pemerintah yang diedarkan ke­pada seluruh rakyatnya. Namun, ada juga kepemilikan uang yang memiliki nilai seperti berbahan dasar emas. Selanjutnya adalah Haram, yai­tu suatu sifat hukum atau hukuman yang divonis (secara hukum agama) di saat seseorang atau masya­rakat berbuat ke­salahan atau kejahatan secara sengaja. Dalam pengembangan kebahasaan bahwa Uang Haram yaitu uang yang diperoleh dari hasil kejahatan manusia seperti ko­rupsi, mencuri, menipu, berjudi dan lain­nya.

Arti dan Makna

Jika merujuk pada literasi bahasa Arab, bahwa haram ber­akar kata dari huruf ha-ra-ma. Dan dalam kamus besar bahasa Indonesia, Haram yaitu terlarang, tidak halal, suci, terpelihara, Banyak istilah-istilah haram yang digabungkan dengan kata-kata benda lainnya seperti anak-haram, Masjidil-Haram atau tanah-haram, makanan-haram dan lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa kata benda yang dibumbuhi dengan kata haram, maka akan berkonotasi negatif.

Ada makna lainnya dari kata “haram” ter­sebut, yaitu harus dimaknai secara jelas, se­hingga jika kata tersebut digabungkan dengan kata lainnya tidak hanya berkono­tasi negatif dalam hubungannya pada aga­ma dan sosial. Apalagi, jika disam­paikan ke­pada orang yang belum paham, sehingga dapat memperkeruh pola pikir bagi si penerima bahasa. Hal ini disebabkan ka­rena pemahaman kata tersebut terjadi ter­ba­tasnya bahasa secara agama dan sosial.

Agama

Tidak ada dalam catatan sejarah, kapan is­tilah Uang Haram ini hadir, namun ung­kapan ini akan dikumandangkan di saat se­seorang melakukan kejahatan dalam hu­bungan pada uang. Uang yang didapat dari hasil kejahatan maka masyarakat akan menyebutnya “Uang Haram”. Memakan makanan dari hasil uang haram, dilarang oleh agama karena adanya larangan untuk melakukan kejahatan bahkan mengganggu hak orang lain. Dalam ajaran Islam me­me­rintahkan “makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah re­ze­ki­kan kepadamu” (QS. Al Maidah : 88). Bah­kan, perintah Islam sangat tegas ter­hadap orang yang memperoleh dari hasil uang haram yaitu hukuman potong tangan.

Dalam agama Kristen dalam Imamat 6:2, 4-5, seorang pencuri akan menda­pat­kan dosa dan harus memulangkan barang yang dirampasnya, bahkan si pencuri mem­bayar gantinya sepenuhnya dengan me­nambah seperlima. Hal ini juga ada dalam salah satu dari “Sepuluh Perintah Allah” yang ada dalam kitab Taurat atau Perjanjian Lama. Sama halnya dengan agama Budha dan Hindu yang menolak terhadap pen­curian atau mengambil uang yang bukan hak­nya.

Adanya larangan dalam agama, tentu sangat berhubungan dengan Sang Maha Pemberi Rezeki di langit dan di bumi yaitu Tuhan Yang Maha Esa yang telah mem­berikan dan meng­hamparkan rezeki­nya, sehingga semua makhluk hidup (ma­nusia, hewan dan tumbuhan) pasti mampu memperolehnya. Selain itu juga, Tuhan tidak pernah mengajarkan manusia untuk menjadi pengemis atau meminta-minta apalagi mencuri. Karena manusia dicipta­kan, memiliki potensi hati yang bersih dan akal untuk berfikir dan berinovasi. Ada hal yang paling penting dari penggunaan uang haram yaitu tidak layak bagi seorang manusia mengambil hak orang lain di saat Tuhan sudah menyediakan fasilitas untuk manusia, maka dari itu, semua agama se­pakat bahwa untuk memperoleh uang harus di­awali dengan suatu pekerjaan yang baik ka­rena akan berhubungan pada pendapatan yang akan digunakan membeli untuk dikonsumsi.

Sosial

Dimanapun masyarakatnya, bahwa uang haram yang diperoleh, sangat meng­ganggu ditengah-tengah masyarakat. Ke­jenuhan dan kesal pada pencurian, mem­buat masyarakat akan menghabisi para pelaku kejahatan. Sampai pada akhirnya, tuduhan dan kecurigaan pada pelaku pencurian, perampokan disaat tertangkap tangan akan dihukum massa sampai babak belur yang membuat pelakunya mati di tempat bahkan pembakaran bagi pelaku yang tidak segan-segan dilakukan oleh masyarakat.

Pria bernama Muhammad Al Zahra di­bakar karena dituduh mencuri di Bekasi tahun 2017, dan baru-baru ini pada Selasa 19 Februari 2019, 2 (dua) orang pria dituduh mencuri sepeda motor di kampus negeri di Sumatera Utara. Kedua pria tersebut tewas dihakimi massa (mahasiswa dan pengaman kampus). Namun perlu dipahami bahwa pencurian tersebut sering kali terjadi sehingga harga barang yang di­curi lebih berharga daripada nyawa se­orang manusia (dalam istilah psikolog di­sebut abuse of power atau penyalah­gu­naan kekuasaan)

Kesimpulan

Tidak ada alasan bagi manusia melegal­kan pencurian karena kesulitan ekonomi. Ba­nyak orang bekerja dengan ikhlas tanpa melihat jenis pekerjaannya, tetap memberi makan keluarganya tanpa keluhan. Ada juga beberapa difabel atau keterbatasan fisik mampu bekerja tanpa meminta. Tidak adanya ilmu yang diperoleh tanpa belajar dan minim ilmu agama di tempat ibadah membuat para calon dan pelaku kejahatan tetap mengambil jalan instan (cepat) untuk memperkaya diri. Alasan lainnya adalah ma­las belajar sehingga tidak mampu be­kerja di saat perkembangan dan kemajuan glo­balisasi menuntut orang untuk bekerja secara profesional.

Benar, haram dimaknai dengan sesuatu yang tidak di­bolehkan atau dilarang, namun lebih dari itu, pemaknaan haram harus menghadirkan rasa hormat kepada Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi dengan kasih sayang. Perintah yang sudah ada dalam kitab yang diimani oleh orang yang beriman harus dijalankan. Begitu juga rasa menghormati diri sendiri secara naluri atau hati, tidak pantas untuk me­ngerjakannya. Adanya uang haram disebabkan adanya ketidak­cocokan jika dilakukan oleh manusia di saat Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pencipta ma­nu­sia dari sumber yang suci. Semoga kita terhindar dari perolehan uang haram apalagi untuk keluarga kita. Amiin. ***

Penulis adalah Dosen UMSU

()

Baca Juga

Rekomendasi