
Oleh: Arfanda Siregar.
We make people fly” bunyi slogan sebuah maskapai penerbangan terbesar di tanah air. Orang pasti paham bahwa slogan tersebut terasa manis bagi mereka yang ingin menggunakan pesawat terbang menuju kota tujuan.
Pastilah slogan itu menjamin harga tiket pesawat murah dan terjangkau. Dan fakta pun bertutur bahwa harga tiket pesawat bisa lebih murah ketimbang tiket bus penumpang. Coba bayangkan tiket pesawat Medan ke Jakarta pernah dijual hanya Rp. 550.000. Bandingkan dengan tiket bus jurusan yang sama mencapai Rp. 500.000. Jauh lebih murah, mengingat waktu yang dibutuhkan hanya 2 jam lebih, sementara menggunakan bus penumpang bisa mencapai 3 hari 2 malam dari Medan ke Jakarta.
Namun, beberapa bulan belakangan slogan di atas semakin buram seiring dengan kebijakan pemerintah menaikkan tarif pesawat udara plus kewajiban membayar bagasi. Slogan yang berjanji membawa siapapun menggunakan pesawat hanya sekadar kata tak bermakna.
Memang Tak Boleh Murah
Kadang saya berfikir bahwa pemerintah memang tak mengizinkan harga pesawat di Indonesia murah. Harga tiket pesawat memang harus mahal sebab sendari dulu memang harganya didesain mahal. Garuda Indonesia yang notabene dikelola negara (BUMN) sejak pertama berdiri sampai sekarang selalu membanderol harga tiket jauh lebih mahal dibandingkan harga tiket maskapai swasta.
Padahal, di peralatan bandara sudah banyak maskapai penerbangan milik swasta yang menerapkan konsep LCC (Low Cost Carrier). Bahkan, empat tahun lalu maskapai penerbangan Air Asia dari Malaysia sempat membombardir harga tiket pesawat menjadi benar-benar murah. Maskapai yang berslogan “Now Everyone Can Fly” membuat Garuda Indonesia kembang kempis karena penumpang pesawat beralih menggunakan Air Asia.
Lama Air Asia bertahan di angkasa Indonesia dengan konsep LCC yang membuat penumpang pesawat dimanjakan karena tiket murah. Sampai akhirnya, terjadi kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501 di selat Karimata tahun 2014, Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan pun menaikkan tarif batas bawah tiket penerbangan hingga 40%. Menhub berargumen bahwa tarif murah atau biasa diistilahkan dengan low cost carrier (LCC) berpotensi mengabaikan faktor keselamatan penerbangan. Banyak biaya yang dikurangi sehingga kondisi pesawat tidak layak terbang, namun tetap dipaksakan demi memenuhi kebutuhan transportasi udara konsumen.
Meskipun saat itu tiket pesawat beranjak naik, namun harga masih terjangkau masyarakat. Apalagi sepanjang tahun terjadi peningkatan kebutuhan transportasi udara di tengah masyarakat. Berdasarkan data BPS hasil Susenas 2017 menunjukan bahwa setidaknya sekitar 28,5 juta jiwa penduduk Indonesia berstatus migran. Para migran atau perantau inilah yang biasanya menggunakan jasa pesawat terbang untuk sekedar menjenguk orang tua atau bahkan menjaga silaturahmi dengan keluarga di tanah kelahiran
Tidak ada Lagi LCC
Praktis pasca dinaikkannya harga tiket dan diberlakukannya bagasi berbayar tidak ada lagi pesawat bertarif murah di negeri ini. Harga tiket pesawat membubung, naik drastis dibandingkan sebelum berlakunya peraturan dari pemerintah. Harga tiket Medan ke Jakarta misalnya, sekarang dibanderol mulai Rp. 1.200.000 hingga Rp.1.900.000. Jauh dari harga dulu yang hanya Rp.550.000 hingga Rp.850.000.
Pemerintah berargumen bahwa maskapai menjual harga tiket disesuaikan besaran peningkatan biaya pendukung seperti biaya navigasi, biaya bandara, avtur, dan kurs dolar yang fluktuatif. Selain itu, kenaikan harga juga bertujuan agar persaingan di industri penerbangan menjadi lebih sehat. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, dengan tarif batas bawah yang berlaku sekarang, banyak maskapai yang berperang harga. Akibatnya, maskapai yang tidak mampu bersaing akan mati.
Kalau alasannya menyesuaikan kenaikan harga avtur dan nilai tukar rupiah atas dollar US, tokh saat ini, harga Avtur Pertamina menurun dan kurs mata uang dalam negeri yang sedang membaik. Seharusnya, harga tiket akan mengalami penurunan beberapa minggu sesudah Avtur turun. Pengecualian terjadi ketika kurs mata uang mengalami pelemahan. Harga Avtur Pertamina sendiri memang sudah menurun sejak November tahun lalu hingga Januari 2019. Total penurunan bahkan mencapai 16%. Jadi, alasan kenaikan tiket harga pesawat seperti yang disebutkan Kemenhub berlawanan dengan fakta yang terjadi.
Jadi, inti dari kenaikan harga tiket pesawat karena kekhawatiran kematian maskapai penerbangan negara yang tak mampu memberi harga yang dapat diterima konsumen. Fakta pun bertutur bahwa maskapai milik negara Garuda Indonesia terus mengalami kerugian karena kalah bersaing dengan maskapai swasta yang berani membanderol harga murah bagi penumpang pesawat. Menurut catatan penulis Garuda Indonesia merugi sebesar USD 127,97 juta atau setara Rp 1,86 triliun (kurs USD 1 = Rp 14.565) dalam kurun waktu Januari-September 2018.
Pemerintah seyogyanya membuka dengan transparan mengapa tiket pesawat dinaikkan dan konsep LCC tidak boleh di Indonesia. Di luar negeri, LCC menangguk kesuksesan. Sampai sekarang, belum pernah terdengar maskapai yang memberi tarif murah kepada pelanggannya gulung tikar. Mereka malah sukses meraup keuntungan karena dukungan manajemen yang bagus dan profesional. Bahkan, saat ini 35 persen bagian dari lalu lintas terjadwal antar-negara-negara Eropa dikuasai maskapai penerbangan berkonsep LCC dan Air Asia pun telah membuktikan betapa harga murah yang ditawarkannya kepada konsumen tak membuat maskapai itu bangkrut.
Tiket murah sebenarnya bukan berarti mengurangi standart of procedur (SOP) penerbangan yang wajib dilaksanakan seluruh maskapai penerbangan. Konsep LCC adalah hasil dari strategi bisnis dan efisiensi pelayanan yang biasanya menguras kantong penumpang. Seperti, penghilangan makan gratis bagi penumpang, penghilangan ruang tunggu, penghapusan kelas bisnis, penyederhanaan bentuk tiket, pengurangan waktu parkir di Bandara, dan maksimasi jadwal terbang pesawat cukup signifikan mengurangi tarifnya.
Pemerintah juga perlu belajar kepada negara-negara yang mampu menjual murah tiket pesawat kepada rakyatnya. Banyak negara yang membanderol murah harga tiket pesawat. Bukan hanya negara kaya, negara berkembang yang setaraf dengan Indonesia sangat memerhatikan kemampuan rakyatnya memenuhi kebutuhan transportasi udara. Hal itu dilakukan agar rakyatnya mendapat pelayanan transportasi terbaik dengan harga terjangkau.
Situs perjalanan Kiwi.com menganalisa harga tiket pesawat di 75 tujuan wisata populer. Situs tersebut menghimpun data dari penerbangan domestik juga internasional, baik maskapai low cost maupun full service. Perbandingan harga tersebut juga dihitung baik pada peak season dan off peak season. Hasilnya adalah harga tiket rata-rata untuk perjalanan per 100 kilometer termurah di dunia sebesar Rp30.500 per 100 km. Negara kedua dengan harga tiket pesawat termurah adalah Malaysia, yaitu Rp50.886 per 100 kilometer. Rusia juga punya harga tiket pesawat cukup murah yakni Rp80.000 per 100 kilometer. Sementara Indonesia, sejak kenaikan harga tiket pesawat telah mencapai Rp. 102,200 per 100 kilometer.
Begitu banyaknya negara yang menjamin harga tiket pesawat murah kepada rakyatnya seharusnya menyadarkan pemerintah untuk membuka peluang kepada maskapai swasta yang ingin mengepakkan sayapnya di udara Indonesia. Tidak perlu maskapai tersebut diatur-atur dalam menentukan harga tiket kepada pelanggannya. Atau memang pemerintah sengaja memberangus pesawat murah karena melindungi Garuda Indonesia yang terus merugi sepanjang tahun. Yang pasti slogan “we make people fly” sudah menjadi sosok mati yang terkubur di bawah batu nisan yang bisu.***
Penulis adalah Dosen Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan/Program Doktor UNP.