Membangun Kehidupan Politik Berhati Nurani

membangun-kehidupan-politik-berhati-nurani
Oleh: Hidayat Banjar. Jhon F Kennedy salah seorang mantan Presiden Amerika Serikat secara terbuka pernah berujar: politik itu kotor, puisilah yang membersihkannya. Apa yang diungkapkan Kennedy itu mestinya jadi perhatian kita semua, betapa politik memerlukan hati nurani yang dilambangkan dengan puisi.

Asas politik yang kotor - menurut perspektif Kennedy - karena targetnya hanyalah menang atau mempertahankan. Sementara asas kesusastraan adalah menyuarakan humanisme universal. Dua kutub yang berbeda ini harus duduk berdampingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga terbangun cakrawala politik yang berhati nurani.

Jika politikus dan sastrawan saling isi mengisi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka target menang atau mempertahankan kekuasaan akan dijalankan dengan proses yang baik dan benar. Sehingga bukan kemenangan atau mempertahankan kekuasaan akan dijalankan dengan proses yang baik dan benar. Sehingga bukan kemenangan atau mempertahankan kekuasaan itu yang terpenting, melainkan membangun iklim berdemokrasi.

Menang dan kalah dalam perspektif politik berhati nurani adalah sama, jika prosesnya dijalankan dengan sistem yang baik dan benar. Ketika seseorang, sekelompok orang, atau partai kalah dalam pemilihan, itu adalah keniscayaan demokrasi: ada yang kalah ada yang menang. Begitu pula sebaliknya, jika seseorang, sekelompok orang, atau partai menang, itu adalah kemenangan demokrasi.

Suara-suara demikian akan sangat dengan mudah diperankan oleh para sastrawan. Sebab, bagi seorang sastrawan yang baik, menyuarakan humanisme universal adalah tugas utama. Maka jika politikus dan sastrawan bergandengan tangan, akan terbangunlah cakrawala politik berhati nurani.

Politik Tanpa

Jika politik meninggalkan sastra dan sastrawannya, atau sebaliknya sastrawan meninggalkan dunia politik atau politikusnya, maka salah satu jalan bagi tumbuh kembangnya demokrasi, tersumbat sudah. Padahal, berpolitik tanpa hati nurani sesungguhnya hanyalah akan membangun kekuasaan yang menindas, bukan mencerahkan. Sebab, makna kepemimpinan dan kekuasaan sungguh jauh berbeda. Meski di dalam makna kepemimpinan terselip kekuasaan, tetapi yang lebih dikedepankan adalah keteladanan. 

Kepemimpinan dan kekuasaan bagai dua sisi mata uang yang tak boleh serta tak dapat dipisahkan. Kepemimpinan tanpa kekuasaan, tak lebih umpama singa ompong, berkuasa tetapi tak dapat berbuat apa-apa. Kekuasaan tanpa jiwa (roh) kepemimpinan niscaya akan menindas.

Di dalam makna kepemimpinan yang akar katanya 'pimpin', melekat sifat-sifat mengayomi, welas asih, keteladanan, pencerahan, dan lainnya. Yang pasti, kita tidak akan dapat menahan lahirnya orang-orang (pemimpin-pemimpin) zalim dan bejat, karena dorongan untuk berkuasa itu bagai laut tak bertepi. Makanya dunia perpolitikan harus bergandengan tangan dengan hati nurani. Politik yang berhati nurani akan berpegang teguh pada hukum. Jika hukuman sudah tegak, penguasa-penguasa zalim dan bejat tak akan bertindak sewenang-sewenang karena ada yang membentengi.

Agar 'lahir' pemimpin yang sebenar pemimpin diperlukan peran serta masyarakat - termasuk sastrawan - yang terus -menerus berjuang - mengkritisi setiap langkah dari penguasa (pemerintah) yang berkecendrungan otoriter, menindas, zalim, dan tiran. Bila kekuasaan dibiarkan, lambat atau cepat ia akan menggiring rakyat kedalam otoriterisme, penindasan, kezaliman, dan tiranisme. Sebab, naluri (nafsu) untuk lebih berkuasa tak ubahnya seperti nafsu hendak kaya, dapat berkembang seperti tanpa batas sama sekali.

Untuk melanggengkan kekuasaan, maka dilakukanlah hegemoni. Sehingga peraturan yang dibuat cendrung memihak kepada orang-orang berkuasa, bukan kepada rakyat. 

Lewat karya-karyanya, sastrawan dapat dengan sangat persuasif, agitatif, bahkan provokatif mengajak masyarakat untuk melawan penindasan serta kezaliman penguasa. Bahkan sastrawan pun dapat mengetuk hati nurani penguasa itu sendiri untuk tidak berlaku zalim serta menindas.

Pilihan Rakyat

Kini, kita sudah memiliki lembaga legislatif (DPD, DPR, DPRD Kabupaten/kota) dan Presiden pilihan rakyat. Bahkan kita pun telah memiliki presiden yang langsung dipilih oleh rakyat. Kita akan kembali melakukan pemilihan pemimpin, yaitu kepala daerah yang kerap disingkat pilkadasung (pemilihan kepala daerah secara langsung). Akankah lewat pilkadasung ini didapat pemimpin yang sebenar pemimpin, atau kepala daerah yang benar-benar pilihan rakyat. Semua terpulang kepada kita: partai dan rakyat. Sistemnya sudah ada, tinggal bagaimana menjalankan sehingga hasilnya jadi baik dan benar.

Seiring dengan itu, agar pemimpin terpilih peduli dengan dunia kesusastraan dan sastrawannya, yang pada gilirannya akan membangun dunia politik yang berhati nurani, sang sastrawan perlu berperan aktif. Dunia politik yang kotor akan dapat dibersihkan oleh karya sastra bila masyarakat - terutama pemimpinnya - peduli pada sastra dan sastrawannya.

Agar sastra dan sastrawannya mendapat tempat yang layak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tentunya para sastrawan perlu mengambil peran dalam pilkadasung ini. Jika para sastrawan (penyair, cerpenis, penulis novel, penulis naskah drama, penulis essai, dan lainnya) memilih pasif, niscaya dunia kesusastraan di Republik ini umumnya, dan di Sumut serta Medan khususnya, akan tetap terpinggirkan.

Peran serta sastrawan untuk membangun opini publik tentang perlunya dipilih kepala daerah (pemimpin) yang peduli sastra, akan dapat memberi andil untuk tumbuh kembangnya masyarakat peminat sastra. Tanpa kepedulian sastrawan terhadap siapa kepala daerahnya, hasilnya berdampak pada kehidupan sastra dan sastrawan secara langsung, juga masyarakat umum secara tidak langsung. Padahal, kesustraaan adalah sebuah dunia yang tak dapat diabaikan dalam membangun manusia yang seutuhnya.

Karya sastra (puisi, cerpen, novel, naskah drama, dan lainnya) adalah cabang dari kesenian, yang merupakan pengungkapan (medium) personal. Artinya karya sastra - meskipun tak mungkin dapat lepas dari kondisi sosial sang pengarangnya - namun karya sastra merupakan pandangan yang sangat subjektif tentang sesuatu hal. Lewat karya-karyanya, sastrawan mengungkapkan pikiran dan perasaannya tentang sesuatu hal.

Beribu sastrawan boleh menulis tentang cinta manusia pada Tuhannya, misalnya. Maka, akan lahir pula beribu pandangan pikiran, dan perasaan tentang cinta terhadap Tuhan tersebut. Justru itu, mengapresiasi karya sastra, sama artinya mengapresiasi pikiran, perasaan, pandangan seseorang terhadap suatu kondisi.

Karena itu, mengapresiasi karya sastra, sesungguhnya lagi adalah mengapresiasi tentang manusia dengan pikiran, perasaan dan pandangannya. Mengabaikan karya sastra khususnya dan kesenian umumnya, sama halnya mengabaikan sisi humaniora manusia. Padahal kedua otak manusia yang terdiri dari otak kiri dan otak kanan, memerlukan ransum yang seimbang antara kebutuhan pemenuhan kecerdasan kognisi dan kecerdasan humaniora. Pada titik ini, eksistensi karya sastra sebagai bagian dari hasil cipta rasa dan karsa manusia akan terasa urgensinya.

Perlu Disahuti 

Bertitik tolak dari hal itulah, perlu kita sahuti secara proaktif. Artinya, sebagai sastrawan, kita harus terus-menerus meningkatkan kualitas diri. Sementara, masyarakat harus terus-menerus ditumbuhsuburkan minatnya pada dunia kesusastraan (kesenian) tersebut.

Untuk membangun iklim yang kondusif, dimana antara masyarakat dan sastrawan saling membutuhkan, diperlukan seorang kepala daerah (pemimpin) yang peduli terhadap dunia kesusastraan. Agar kepala daerah terpilih peduli terhadap sastra, maka sang sastrawan perlu mengambil peran menyuarakan tentang peran serta sastra dalam membangun manusia yang seutuhnya, sehat lahir dan batin.

Apabila seorang kepala daerah (pemimpin) yang terpilih peduli kepada dunia kesusastraan tentu akan mudah membangun iklim yang kondusif terhadap dunia kesusastraan seperti menyelenggarakan event-event: pembacaan puisi, cerpen, pementasan drama dan lain sebagainya. Atau event-event perlombaan penulisan: puisi, cerpen, pementasan drama dan lainnya. Atau lagi menyelenggarakan penerbitan-penerbitan buku sastra, bedah buku sastra, diskusi sastra dan lain sebagainya.

Lewat event-event tersebut masyarakat dapat melihat, merasakan, dan menghayati apa-apa yang disuarakan para sastrawan. Tak menutup kemungkinan, apa-apa yang disajikan dalam event-event tersebut dapat jadi cermin bagi kehidupan selanjutnya agar lebih baik.

Dengan event-event tersebut, para sastrawan akan semakin bergairah berkarya, dan masyarakat dapat mengambil manfaat dari karya-karya tersebut. Bukankah kita semua tahu, karya sastra yang monumental akan mampu mengajak pembaca/penontonnya kepada proses katarsis (penyucian jiwa) serta pencerahan. Ayo apalagi?***

* Penulis adalah sastrawan, tinggal di Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi