
Oleh: Hari Murti, S. Sos.
Sudah waktunya kita mendiskusikan apakah kata tsunami dalam tulisan berbahasa Indonesia memerlukan konsonan t atau langsung saja diawali dengan huruf s. Kalau kita membaca buku Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing terbitan Pusat Bahasa, di sana dijelaskan kaidah-kaidah dalam menyerap kata dan ungkapan asing ke dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, kata asing yang berkonsonan rangkap t yang diikuti s, sepanjang yang penulis ingat, tidak dibahas. Namun begitu, jika konsisten dengan kaidah r - t pada kata import menjadi impor, report menjadi rapor, dan national menjadi nasional, maka, menurut penulis yang sebenarnya juga awam dalam bahasa Indonesia, huruf t pada tsunami harus luluh menjadi sunami.
Penulis juga harus mengakui bahwa Kamus Bahasa Indonesia yang penulis miliki bukan yang terbaru, tetapi kamus luring edisi III yang terbit pada 2003. Di kamus tersebut, masih tertulis kata tsunami, yang artinya adalah 'gelombang laut dahsyat (gelombang pasang) yang terjadi karena gempa atau letusan gunung api yang terjadi di dasar laut (biasanya terjadi di Jepang dan sekitarnya)'. Dari kamus tersebutlah penulis berkontemplasi, mungkin kata tsunami itu berasal dari bahasa Jepang, karena ada keterangan, "Biasanya terjadi di Jepang dan sekitarnya" dalam kamus tersebut. Secara bunyi kata, memang kata ini agak berbau Jepang, tetapi tentu penulis tidak dapat memastikan.
Oleh karena itu, dua paragraf di atas lebih sebagai pertanyaan dari penulis daripada sebuah klarifikasi atau solusi. Akan sangat baik bila kita melihat kamus bahasa Indonesia terbitan terakhir, apakah masih memakai t atau sudah langsung ke huruf s. Apapun yang tertulis di sana, hal itu harus dipatuhi karena memang soal penulisan kata dan arti kata dalam bahasa Indonesia tidak diserahkan kepada masing-masing orang untuk membuat dan menafsirkannya sendiri-sendiri. Ada lembaga negara yang berwenang untuk menentukan huruf-huruf yang digunakan dalam sebuah kata dan arti kata tersebut dalam bahasa Indonesia. Jika masih pakai t¸ ya, kita tetap harus pakai t. Jika sudah langsung s¸ maka sudah seharusnya kita tidak lagi menulis t di depan sunami.
Informasi Kamus
Ketika tsunami di Selat Sunda menghantam banyak pesisir sekitarnya, orang terkejut. Orang bertanya mana gempanya, kok tiba-tiba tsunami nyelonong ke pantai begitu saja membuyarkan suasana wisata di pantai-pantai wisata itu? Bahkan, BMKG sendiri pun menyatakan tsunami itu di luar perkiraan. Belakangan, barulah beruntun informasi di berbagai media massa dan lainnya tentang faktor-faktor alam yang bisa menyebabkan tsunami.
Namun, yang membuat penulis agak takjub adalah ketika mencari arti kata tsunami dalam kamus bahasa Indonesia yang usianya sudah "uzur" itu untuk keperluan penulisan tentang pengindonesiaan kata tersebut, apakah masih pakai t atau sudah langsung pakai s seperti yang penulis uraikan pada paragraf pertama dan kedua. Usaha mencari arti kata tsunami memberi penulis hasil yang lebih dari sekadar arti katanya saja, juga jawaban mengapa tsunami nyelonong begitu saja di pesisir di sekitar Selat Sunda tanpa didahului gempa.
Ada dua ketakjuban penulis pada saat itu. Pertama, ternyata kata tsunami sudah ada dalam kamus bahasa Indonesia edisi ketiga cetakan ketiga yang merupakan terbitan tahun 2003, satu tahun sebelum peristiwa gempa yang memicu tsunami di Aceh pada 2004. Hingga sebelum tahun 2004, kata tsunami masih sangat asing bagi bangsa Indonesia. Namun, kata tersebut sudah terdapat dalam kamus bahasa Indonesia, lengkap dengan penjelasan faktor penyebabnya, yang salahsatunya adalah letusan gunung api di dasar laut dan negara yang sering dilanda bencana alam tersebut, yaitu Jepang.
Faktor letusan gunung api seperti yang diterangkan dalam kamus itulah sumber ketakjuban yang kedua bagi saya, betapa kamus bahasa telah "mendahului" lembaga seperti BMKG dan lainnya dalam memberikan informasi kepada masyarakat tentang faktor-faktor penyebab tsunami. Seandainya saya mencari arti kata tersebut sejak tsunami "pertama" di Aceh tahun 2004, tentu saya tak perlu bingung-bingung lagi mengapa tsunami Selat Sunda tanpa "permisi" gempa dahulu sebelum menabrak pesisir sekitarnya.
Saking bersemangatnya saya dengan arti dan faktor penyebab dalam kamus yang terbit sebelum peristiwa tsunami di Aceh tahun 2004 itu, struktur dan tulisan yang awalnya diniatkan untuk membahas bahasa saja, malah meluas ke soal geologi juga. Ini memang tidak lazim, sebab satu tulisan biasanya hanya mengandung satu topik saja. Namun, begitulah, sepanjang alur ceritanya bisa disampaikan secara kronologis dan tertata rapi, pembaca tentu tak keberatan.
Maka, kembali kita merasakan betapa mengikuti anjuran membaca kamus bahasa begitu penting. Informasinya bukan hanya soal kata dan arti, juga memberi hasil sampingan yang tak terduga, misalnya mengetahui penyebab sesuatu dan kekayaan ilmu pengetahuan. Saya dan mungkin sebagian besar dari kita telah tahu bahwa anak Gunung Krakatau itu sangat aktif, terus menyemburkan energinya. Yang tidak saya tahu adalah ada gunung di dasar laut yang aktivitas puncaknya bisa membangkitkan tsunami. Seandainya saya telah membaca arti kata itu, tentu satu tulisan saya tentang kemungkinan tsunami akibat letusan gunung telah terbit di surat kabar ini. Bukan soal honor atau publisitas saja, juga soal mengingatkan masyarakat melalui kekuatan media massa yang tugasnya adalah pengawasan lingkungan fisik dan sosial.
Memperkaya Informasi Kamus
Kini, kita telah tahu bahwa ada setidaknya 18 gunung api di Indonesia yang berpotensi membangkitkan tsunami. Dan, sepertinya masih banyak yang belum kita tahu mekanisme gunung-gunung tersebut dalam membangkitkan tsunami, kecuali informasi awal bahwa mekanismenya adalah letusan yang menggejolakkan air laut. Kamus bahasa, karena soal spesifikasi bidangnya yang hanya di bidang kata dan artinya, tak mungkin memuat lebih banyak informasi soal mekanisme tsunami vulkanik yang belum kita tahu tersebut. Dengan kata lain, tak mungkin kamus menjadi mirip dengan buku misalnya ilmu geologi.
Maka, situasinya harus dibalik, yaitu kini giliran pengetahuan kita tentang mekanisme-mekanisme lain penyebab tsunami yang harus kita perkaya untuk dimasukkan dalam kamus. Misalnya, sebagaimana informasi yang saya kumpulkan dari berbagai media, tsunami juga bisa dibangkitkan oleh benda langit (meteor) yang jatuh ke laut dan membuat ombak raksasa. Juga, bisa disebabkan longsoran tebing-tebing di dasar laut. Bisa juga disebabkan anomali cuaca di atas laut yang menyebabkan tekanan besar sehingga menimbulkan ombak sangat tinggi. Ini semua bisa dimasukkan dalam kamus bahasa, sehingga informasi dalam kamus tentang penyebab tsunami semakin kaya, bukan sebatas akibat letusan gunung api saja.
Mengapa penulis meminta pembaca untuk membuka kamus terbitan terbaru oleh Badan Bahasa? Ya, karena kamus memang harus dibaca. Selain itu, di zaman digital ini, tidak sulit dan tidak mahal untuk mengakses kamus bahasa Indonesia. Oleh karena itu, mari kita membaca kamus agar semakin kaya kita akan informasi dan semakin siap kita menghadapi situasi. ***