Oleh: Fransisca Ayu K.
Yang cukup menarik dari Pilpres 2019 kali ini adalah eksistensi kaum emak- emak yang menjadi lahan empuk perebutan dukungan lawan politik dua kubu pasangan Capres-Cawapres yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kaum emak-emak telah menjadi simbol representasi dari obyek kebijakan dan pembangunan yang terjadi selama ini. Mereka dianggap memiliki suara yang cukup siginifikan untuk mewakili keresahan masyarakat terhadap berbagai problema keseharian di bangsa ini.
Namun sayangnya, upaya menjadikan kaum emak-emak sebagai magnet meraih suara politik terjebak dalam cara-cara yang jauh dari etika dan peradaban.
Seperti yang ditunjukkan emak-emak yang melakukan kampanye hitam terhadap Capres-Cawapres nomor urut 1, Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin. Sebagaimana yang viral di media sosial, mereka datang ke rumah warga lalu mengatakan bahwa 2019 kalau Jokowi dua periode, tidak akan ada suara azan, tidak ada anak-anak yang mengaji lagi, tidak ada lagi yang memakai kerudung, perempuan dengan perempuan bisa menikah, laki-laki dengan laki-laki bisa menikah.
Belum selesai efek kampanye yang menghebohkan tersebut, muncul lagi kampanye hitam serupa. Kali ini seorang ibu di Makasar melakukan kampanye hitam dengan menyebut Capres Jokowi akan menghapus pelajaran agama jika ia terpilih kembali. Kampanye tersebut sempat viral di grup WhatsApp, Facebook, Twitter dan YouTube.
Ada kesamaan pesan dalam dua peristiwa kampanye tersebut, yakni hendak memprovokasi masyarakat untuk tidak memilih Capres-Cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin karena dianggap “melawan” prinsip dan nilai keyakinan. Kampanye seperti ini memang dianggap cukup ampuh untuk memengaruhi iman dan keyakinan politik orang atau kelompok masyarakat. Ini karena isu agama adalah isu penting di wilayah privat yang sangat sensitif, yang mewakili identitas seseorang atau kelompok masyarakat. Hal-hal yang bertentangan dengan nilai ajaran agama bisa dianggap sebagai ancaman bagi eksistensinya.
Para politisi sudah paham benar akan hal ini sehingga isu-isu “seksi” tersebut menjadi alat untuk menggoreng kesadaran politik masyarakat. Mereka tahu, masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat yang memiliki kekuatan dan akar kebudayaan religius, meskipun di sisi lain, kerelegiusan tersebut tetap masih bisa diperdebatkan secara pemaknaan sehari-hari.
Lahan Empuk
Di tengah suhu persaingan politik yang kian hari kian memanas, di mana upaya memenangkan suara politik kian terjebak dalam cara-cara yang pragmatis, para politisi tentu akan memanfaatkan isu-isu agama seperti itu untuk membangun persepsi yang dianggap bisa merugikan lawan politik, termasuk dengan menghembuskan kabar-kabar bohong seperti itu. Ironisnya penggunaan kabar-kabar hoaks tersebut meng-gunakan media kaum emak-emak.
Nampaknya simbol emak-emak menjadi lahan empuk bagi para politisi untuk menggaet simpatik. Mereka memahami bahwa kaum emak-emaklah yang selama ini yang secara langsung merasakan kesu-sahan ekonomi dalam rumah tangga. Harga sembako, termasuk bumbu-bumbu dapur yang mahal, daya beli yang rendah adalah persoalan yang tiap hari dirasakan oleh emak-emak.
Mereka harus “memutar otak” –kadang seorang diri, karena kerap suami lebih banyak mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya di tempat kerja—untuk mencukup-cukupkan diri guna menyiasati pengeluaran sehari-hari yang kian meningkat.
Namun upaya memberikan pesan kesulitan emak-emak tersebut akan menjadi salah jika dilakukan dengan merujuk pada informasi yang penuh kebohongan. Apalagi menyitir kaum emak-emak untuk bersuara dan masuk dalam pusaran politik yang disutradarai oleh para politisi yang memiliki agenda politik, sekadar ingin meraih kemenangan. Bukan untuk membangun kesadaran dan pendidikan politik kepada publik.
Sebenarnya tak mengapa jika ruang aspirasi kaum emak-emak itu dibuka sebebas-bebasnya di dalam musim pemilu saat ini sebagai bentuk partisipasi politik mereka, namun hal tersebut akan menjadi masalah karena pada ujungnya yang terlihat, kaum emak-emak hanya dijadikan obyek pemenuhan hasrat kekuasaan.
Kaum emak-emak yang mewakili perempuan di Indonesia memang harus berani dan kontinu menyu-arakan aspirasinya karena merekalah yang selama ini kerap dikorbankan dalam pembuatan kebijakan publik. Mereka kerap menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga karena ketidakadilan sosial, ekonomi yang dialami. Mereka kerap mengalami diskriminasi di dalam rumah tangga, dalam lingkungan pergaulan sosial maupun dalam dunia kerja. Keprihatinan tersebut perlu disuarakan sebagai upaya melawan berbagai ketidakadilan yang dialami mereka.
Alat Politik
Namun akan menjadi sumber persoalan ketika kaum emak-emak hanya menjadi alat politik para politisi, terutama dalam konteks tulisan ini memakai isu-isu agama untuk merendahkan lawan politik. Isu agama yang digunakan kerap mengelabui akal sehat publik, membuat masyarakat resah dan tidak nyaman dalam berinteraksi antar-sesama. Politik yang menggunakan isu-isu SARA selalu punya potensi untuk mengganggu ketertiban dan keamanan karena kerap dilandasi oleh interpretasi ajaran/keyakinan yang menyimpang.
Dalam kondisi kebangsaan yang beragam saat ini, penggunaan isu agama sedapat mungkin direduksi untuk menjamin tertib sosial-politik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apalagi jika isi isu yang dikumandangkan tidak berdasarkan kenyataan. Seperti isu menghapus mata pelajaran agama dalam kurikulum nasional. Isu ini jelas berlebihan karena bagaimanapun negara kita adalah negara yang dibentuk oleh nilai-nilai religius. Dan setiap elite di negeri ini pasti membutuhkan simbol dan nilai keagamaan untuk menjaga kredibilitas kekuasaannya di mata rakyat.
Jadi, kita mengharapkan kaum emak-emak di negeri ini bisa meng-gunakan momentum pemilu secara dewasa dan bertanggung jawab. Jangan pernah menggadaikan idea-lisme simbol keperempuanan hanya demi politik jangka pendek.
Kita menyuntik semangat kaum perempuan di Indonesia untuk senan-tiasa merapatkan barisan menjaga pemilu ini dengan semangat kewa-rasan menjaga akal sehat, yang jauh dari kepentingan praktis jangka pendek, dengan memberikan sum-bangsih nyata lewat pikiran-pikiran yang konstruktif, yang menunjang perbaikan keadaan bangsa. Bukan diisi dengan kampanye yang meman-cing kecurigaan dan keresahan publik, apalagi karena dimanfaatkan oleh para politisi yang haus kuasa. ***
Penulis, pemerhati sosial.