Solidaritas Global untuk Selandia Baru

solidaritas-global-untuk-selandia-baru

Oleh: Jonson Rajagukguk, S.Sos, SE, M.AP.

Dunia sedang berduka saat ini. Pem­bu­nuhan yang terjadi di Selandia Baru di dua masjid Christchurch yang mene­was­kan se­tidaknya 49 orang pada Jumat oleh Brenton Tarrant telah membuat dunia saat ini sedang berduka (15/3). Apa yang dilakukan oleh Brenton Tarrant sa­ngatlah mengoyak nilai kema­nu­siaan. Siapapun tidak akan mampu me­nerima perbuatan yang sangat sadis itu, dan benar-benar di luar akal dan lo­gika manusia. Dari sini dapat kita lihat, di negara yang sudah mapan secara eko­nomi, dan negara yang menjamin hak asasi ma­nusia, bahkan negara dengan in­deks pa­ling aman se­kali­pun ancaman te­roris itu sa­ngat nyata. Padahal negara Se­landia Baru adalah salah satu negara mak­mur, aman, nyaman dan sangat to­leran pendu­duk­­nya. Mengapa sera­ngan te­roris bisa ter­jadi di negeri kaya dan mak­mur tersebut? Pertanyaan ini tentu bisa jadi sebuah rujukan bahwa dunia se­dang dalam ancaman teroris (threat of terro­rism).

Komisaris Polisi Selandia Baru Mike Bush, mengatakan bah­wa pelaku yang di­identifikasi sebagai warga Australia itu akan diadili di pengadilan Christchurch. Tentu penegakan hukum harus dilaku­kan, minimal mencegah aksi yang lebih besar lagi terjadi. Hanya saja, sebuah pertanyaan sangat meng­usik kita mun­cul, apa sebenarnya akar dari terorisme ini? Me­ng­apa terorisme tidak mengenal ruang dan tempat? Meng­apa aksi ini di ne­gara dengan tradisi mapan ekonomi dan hukumnya cukup bagus masih sering terjadi aksi yang sangat bertentangan de­ngan nilai kemanusiaan ini?

Secara garis besar terorisme adalah sua­tu tindakan  barbar yang tidak menge­nal rasa kasihan, rasa kemanusiaan. Per­bua­t­an ini dilakukan oknum seringkali de­ngan alasan perintah agama. Padahal aga­ma mananapun tidak mengajarkan te­ro­ris. Tindakan ini dilakukan atas do­rongan fanatisme buta tidak meng­indah­kan nilai keberagaman, bahkan nilai apa­pun tidak akan mampu me­re­damnya. Yang ada di otak sang te­roris adalah mem­bunuh dan membi­na­sakan. Lantas, apa yang akan dilaku­kan agar aksi tero­risme bisa makin diper­sem­pit sehing­ga kor­­ban tidak banyak lagi mati sia-sia. Kita tidak tahu pasti, apa yang menjadi motivasi dari para pelaku teror  (motivation for terrorism) yang sa­ngat  kejam dan keji ini. Berbagai studi yang dilaku­kan oleh para pakar dan ahli te­rorisme ha­nya bersifat kajian, seka­li­pun kajian itu punya metodologi yang jelas.

Hanya saja, kajian ini mampu mem­be­rikan kita pemahaman mengenai latar be­lakang aksi, kemudian kita bisa me­mahami­nya secara sosiologis. De­ngan demikian, pencegahan  bisa dila­kukan, sekecil apapun pencegahan itu setidak­nya kita mampu memahami apa itu latar be­lakang tindakan terorisme. Dengan de­mi­kian tindakan preventif sejak dini mi­nimal pada level keluarga dan lingku­ngan sekitar bisa kita lakukan.

Untuk kategori negara-negara maju, aksi penembakan se­ca­ra langsung dan brutal sudah sering kita lihat. Di negara Amerika Serikat sering kewalahan meng­­­ha­dapi aksi seperti ini. Sudah ba­nyak war­ga yang korban karena aksi pe­nem­ba­kan secara membabibuta. Motif nya pun sa­ngat beragam. Tulisan ini men­­coba meng­kaji secara teoritis me­nge­­nai gerakan tero­risme dengan meng­gu­nakan dua pen­dekatan, yakni  “Social Lear­ning Theory” dan juga “Teori Iden­titas” sebagaimana yang dikemukakan oleh Frisca Alexandra dalam tulisannya di sebuah jurnal menge­nai kajian teroris. Fris­ca Alexandra meng­kaji dan meng­ana­lisa akar yang mendasari seorang indi­vidu dapat memiliki paham radika­lis­me ataupun melakukan tindakan keke­ras­an terbuka dan menyebarkan ancaman me­lalui tindakan terorisme.

Menurut  “Social Learning Theo­ri” yang dikemukakan oleh Albert Ban­dura, sebagian besar perilaku manusia di­pela­jari melalui hasil observasi atas tingkah laku orang lain, yang mana ke­mudian hasil observasi atau penga­matan ini membentuk suatu gagasan akan ba­gai­mana seseorang harus ber­si­kap. Sebagai contoh, seseorang yang memi­liki pemikiran yang radikal atau­pun se­seorang yang melakukan tindakan te­­ro­ris­me dapat dikatakan memiliki si­kap agresi yang berlebihan di dalam di­rinya dan menurut Social Learning Theo­ry, si­kap agresi dalam diri seseorang se­sung­guhnya dipengaruhi oleh hal-hal yang ia pelajari melalui lingkungan so­sialnya. Dengan kata lain, manusia yang tum­buh dan berkembang dalam ling­ku­ngan yang akrab dengan hal-hal yang me­ngandung unsur kekerasan maka ma­nu­sia tersebut cenderung akan tumbuh de­ngan sikap agresi yang berlebihan di da­lam dirinya.

Kemudian “Teori Identitas” ber­asum­si bahwa berbagai tin­dakan kekerasan ter­buka terjadi karena disebabkan rasa iden­­titas yang terancam. Selain sebagai makh­luk sosial, setiap manu­sia juga pasti me­miliki identitas, hal ini karena ma­nusia ada­lah makhluk sosial sehingga pen­ting bagi setiap manusia untuk men­jadi bagian dari suatu kelompok, selain un­tuk mem­berikan rasa aman terhadap diri mere­ka, menjadi bagian dari suatu kelompok identitas tertentu juga membe­ri­kan rasa per­caya terhadap manusia ter­sebut akan siapa sesungguhnya diri me­re­ka atau de­ngan kata lain, mempertegas jati diri me­reka. Rasa identitas sendiri meliputi (Si­mon Fisher, 2009:46) : a) Etnis, adalah ke­lompok dimana kita sama-sama meng­gunakan ba­hasa, buda­ya, agama dan/atau ras tertentu ( Frisca Alexndra Dalam Jurnal Pa­radigma, Vol. 6 No. 3 , Desember 2017 ISSN: 2252-4266 139 2017).

Mengacu pada dua teori di atas dapat kita simpulkan te­ro­ris­me adalah sebuah perilaku yang merusak (sangat destruk­tif) karena rasa berlebihan (superioritas) yang tidak masuk akal. Adanya perilaku me­nyimpang (deviant behavior) dalam diri seseorang karena faktor lingkungan dan juga faktor kebang­gaan pada identi­tas yang berlebihan harus dicegah. Ke­bang­gaan iden­titas  memang penting, te­tapi kebang­gaan itu haruslah rasio­nal (ra­tional prode). Masing-masing bu­daya, agama punya nilai dan keunggulan ma­sing-masing. Yang ingin kita tekan­kan bukan mencari siapa yang paling ung­gul. Bagaimana kita melakukan kola­bo­rasi antar budaya, antar  nilai agama sehingga nilai itu bisa bersatu padu dan menjadi rujukan hidup bersama adalah hal yang harus dilakukan.

Dalam hal ini, superioritas atas negara maju dengan negara ber­kembang harus dihentikan. Saatnya semua negara mem­ba­ngun sikap  atas dasar pola kemitraan yang sejajar. Bagi ne­ga­­ra maju, kema­juan yang mereka raih harus merupakan anugerah yang patut dan penting dibagi­kan kepada negara lain dengan prinsip saling berbagi. Gaya melakukan ekspan­si eko­nomi dengan metode melakukan dominasi harus dihenti­kan. Kata-kata dominasi kawasan yang selama ini jadi senjata ne­gara-negara maju dan kuat secara ekonomi saatnya dirubah to­tal. Spirit berbagi dengan sesama hendaknya menjadi se­buah paradigma baru yang dilakukan oleh negara-negara kuat.

Faktor kesenjangan ekonomi (econo­mic disparity), sikap berlebihan (excessive attitude) terhadap kebanggaan suku dan agama (ethnic and religious pride), pe­rasaan superioritas (feeling of superio­rity)  oleh negara maju, penega­kan hukum yang lemah (weak low en­force­ment), rendahnya penghargaan kepada pluralisme, dan eksklusivitas diri berle­bih­an (exclusively excessive) adalah pemicu terorisme. Saatnya faktor yang memicu terorisme ini bisa dieliminir sampai pada titik terendah. Me­mang tidak ada rumusan baku (standard formula) dan rumusan formal sebagai akar penyebab terorisme (the root cause of terrorism). Tetapi berbagai studi oleh para ilmuan sosial jelas mengatakan faktor-faktor di atas adalah pemicu terorisme (trigger of terrorism).

Penutup

Kasus yang terjadi di Selandai Baru ada­lah sebuah bukti betapa terorisme adalah an­ca­man nyata di era global saat ini. Lom­patan kemajuan (leap of progress) dengan keha­diran era disruptif, era millenial, dan era re­volusi industri 4.0 tidak serta merta membuat gerakan teroris berkurang. Bahkan di belahan semua negara, baik negara maju, kaya, se­dang berkembang dan negara miskin a­ncaman ini sangat nyata. Segenap semua warga global harus punya pemahaman yang sama, visi yang sama mengenai terorisme. Alasan apapun, agama apapun tidak akan pernah ada persetujuan melakukan pembu­nuhan. Semoga gerakan teroris yang tidak punya nurani dan akal sehat (have no conscience and common sense) ini bisa dicegah dengan prin­sip bahwa keamanan dan kenya­manan adalah visi bersama yang sangat pen­ting dan mendesak diwujudkan (immediately realized). Sekali lagi, turut berduka cita atas kejadian yang terjadi di Selandia Baru. ***

Penulis adalah: Pengajar Tetap Prodi Administrasi Publik FISIP Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan/ Mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan UNIMED Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi