Korupsi & High Cost Economy

korupsi-high-cost-economy

Oleh: Bersihar Lubis. Korupsi itu seperti angin, berembus kemana-mana. Kita dikagetkan penang­kapan KPK terhadap Romahurmuziy dalam suatu Operasi Tang­kap Tangan (OTT) di Surabaya, Jumat (15/3) lalu. Waduh, dengan begitu sudah 5 orang Ketua Umum Partai Politik yang terlibat kasus korupsi.

Diawali oleh Ketua Umum PKS Lutfi Hassan Ishaaq pada 2013. Dia terlibat kasus quota impor daging sapi dan sudah divonis 16 tahun penjara. Lalu, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pada 2013 dalam kasus Proyek Hamba­lang dan divonis 14 tahun penjara. Masih ada Surya­dharma Ali, ketua umum PPP pada 2014 karena kasus dana haji dan divonis 10 tahun.

Kemudian, Setya Novanto, Ke­tua Umum Partai Golkar dalam kasus E-KTP dan divonis 10 tahun pada 2017. Terakhir, Romahurmu­ziy dalam kasus dugaan suap di tubuh Kementerian Agama.

Kita rasanya putus asa karena kasus korupsi kian mera­jalela. Sudah sangat banyak pejabat di pusat dan daerah yang terlibat. Mulai dari anggota DPR, DPRD, para Bupati-Walikota dan Gubernur. Bahkan juga para hakim, termasuk Ketua dan anggota Mahkamah Konstitusi, yakni Akil Moch­tar dan Patrialis Akbar. Jangan lupa juga Ketua DPD Irman Gusman juga tersandung kasus korupsi.

Adakah korupsi sudah menjadi way of life? Budaya? Cemooh itu sudah terdengar sejak lama. Kaufmann dan Wei di National Bureau of Economic Research Working Paper (1999) dengan ironis  menulis bahwa korupsi itu dapat mem­percepat jalannya roda perekonomian (grease to deve­lopment wheels).

Astaga! Dalihnya, karena gaji rendah dan law enforcement masih lemah. Termasuk pengawasan yang belum intensif dan tidak bertaji. Jadinya, mulai dari urusan kecil, sampai yang besar-besar, sejenis abused of power, telah membuat pundi-pundi si pemegang kewenangan semakin gembung. Ada anekdot, jika bisa dipersulit mengapa dipermudah?

Mulai dari berkunjung ke penjara, urusan izin usaha, pengalihan status hutan, pembelian kapal, pemenangan tender proyek pemerintah dan sebagainya masih terdengar ada yang harus disertai dana pelicin. Jika tidak, no way! Jika ada dana pelumas, mesin birokrasi bergulir cepat, efisien dan hemat waktu.

Tersebab  bagi pebisnis time is money, oke-oke sajalah. Pelayanan publik yang mestinya gratis, karena mereka sudah digaji untuk itu menjadi mahal. Makin banyak meja yang dilalui, makin besar dana tercecer, dan makin lama waktu yang tersita.

Tak ayal, muncullah high cost economy, perekonomian biaya tinggi. Harga produksi sebuah proses ekonomi bertam­bah dengan harga korupsi dan menjadi modal. Jika ditambah kalkulasi laba, makin beratlah harga yang dibayar konsumen.

Celakanya, hal itu dilakukan kalangan birokrat sehingga alih-alih hendak menyejahterakan rakyat, malah tak mustahil membuat jalannya perekonomian terseok-seok bagai kakek yang renta. Mereka adalah benalu yang merusak misi pemerintahan, yang bertekad membuat rakyatnya tidak bodoh, tidak sakit dan tidak lapar.

Tetapi sesungguhnya, jangan lagi sangsikan, korupsi adalah penghambat laju roda perekonomian, seperti ditulis Johann Lambsdorff di Transparency International Working Paper (1999). Mengapa bisa-bisanya tanah milik seseorang berubah menjadi milik perusahaan? Mengapa lahan hijau atau lahan publik berubah menjadi tempat usaha? Bahkan ada sekolah yang ditukar-guling menjadi arena bisnis? Dalam skala besar dan nasional, pernah terjadi sebuah kebijakan, peraturan dan UU bisa “dibeli” oleh kelompok kepentingan bisnis.

Akibatnya, kalangan ekonomi menengah ke bawah akan termehek-mehek. Selain tak punya uang untuk menyuap, juga kalah bersaing dengan kalangan pebisnis yang menjadi kroni para pejabat. Peluang bagi yang baru tertutup, sedang penguasa yang ada bisa terancam. Lama-lama, terjadilah PHK dan berbiaklah jumlah pengangguran dan kemiskinan.

Jenis kemiskinan macam ini bukan karena malas dan bodoh, tetapi karena kasus struktural, antara lain karena korupsi dan sogokan.

Korupsi tak hanya memukul pe­ngusaha menengah ke bawah. Pe­ngusaha besar bisa juga kena, baik domestik dan asing. Jika high cost dan birokrasi yang menelan waktu lama akan membuat investor jemu dan minggat ke luar negeri. Se­orang pengusaha domestik bercerita, mereka malah investasi kebun sawit di Malaysia, karena di dalam negeri ia dipersulit oleh tetek bengek administrasi dan pelbagai alasan yang mengada-ada.

Agenda Parpol

Tak bisakah korupsi diberantas? Kedengaran bernada putus asa. Memang, korupsi lazimnya terjadi di bilik-bilik tertutup. Atau di hotel, kafe atau lapangan golf, saat se­orang pebinis bertemu pejabat publik. Karena itu semua proyek harus transparan. Terbuka dan akuntabel. Umumkan di koran dan diinternet. Tender pelelangan harus terbuka. Bukan sandiwara, karena sudah diatur pemenangnya, atau para peserta malah hanya milik segelintir saja.

KPK sebaiknya memantau secara pasif rapat panitia ang­garan di DPR dan DPR tak perlu merasa kewenangannya terusik. Diperluas pula sehingga rapat panitia anggaran di DPRD provinsi, kabupaten dan kota boleh dipantau oleh pers dan LSM. Yang dibicarakan adalah duit rakyat dan digunakan untuk rakyat. Tak perlu sembunyi dari sorotan mata publik.

Kebebasan pers jangan pula di bibir saja. Jangan sedikit-sedikit tersinggung, lalu mengadukan pers secara hukum, padahal yang diungkap pers adalah korupsi yang merusak sendi-sendi negara. Tentu saja bagi pers yang kritis dan punya fakta, bukan oknum-oknum de­ngan agenda dan interest tertentu.

Sikap mental penyelenggara negara di pusat dan daerah sudah semestinya sebagai pelayan publik, dan bukan dilayani publik. Ekstrimnya, mental malu korupsi harus se­perti malu, maaf, tanpa busana di depan umum. Jabatan adalah amanah, dan bukannya hak-hak istimewa untuk korupsi. Karena itu perlu profesionalisme dan kompotensi, termasuk tidak merekrut apa­rat karena alasan KKN.

Lagi pula, bagaimana mau membersihkan bawahan kalau diri sendiri tak bersih? Otokritik ini harus dilakukan para pejabat dan penegak hukum saban detik dan menit. Jangan malah membuat bawahan bagai pemburu yang pintar menye­tor upe­ti. Sebab jika tidak, bak kata pepatah, sebelum selu­ruh tubuh ikan membusuk, sebaiknya kepalanya yang busuk segera dipotong saja.

Di sekeliling kita, berjuta-juta rak­yat miskin, yang kesehatannya di bawah standar. Putra-putri mereka tak sanggup melanjutkan seko­lah, dan menghuni perumahan darurat. Jika korupsi terempas ke titik zero, maka subsidi pemerintah untuk kaum tak berpunya itu akan se­makin besar, hingga suatu hari mereka bisa ikut tersenyum di negeri ini.

Tak pelak, agenda 16 partai politik yang berkampanye menjelang Pilpres dan Pileg 2019 niscaya de­ngan tema besar memberantas high cost economy. Ketika korupsi le­nyap, maka rakyat akan berbahagia dan mengelu-elukan Anda ketika dilantik menjadi anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden-Wakil Pre­siden dan sebagai menteri kabinet. Wassalam! ****

Penulis adalah jurnalis di Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi