
Oleh: Suadi. Tanggal 22 Maret dengan takzim selalu diperingati sebagai Hari Air Sedunia (World Day for Water). Momen tersebut mengajak umat manusia menjaga dan melestarikan kualitas dan kuantitas air bersih. Sayangnya, peringatan Hari Air Sedunia tersebut tercoreng dengan masifnya aktivitas pencemaran air di mana-mana.
Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2017 cukup menggoncang dunia yang menyebut bahwa pencemaran air dan udara memicu diare parah, radang paru-paru dan malaria sehingga menyebabkan 1,7 juta anak meninggal dunia tiap tahun. WHO juga memprediksi bahwa tahun 2020 nanti, penyakit yang berasal dari air tercemar akan menewaskan 135 juta orang.
Di tanah air, kasus pencemaran air lebih gila lagi. World Bank pada 2018 memberi predikat atas kondisi air di Sungai Citarum sebagai sungai terkotor di dunia.
Data dari Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan mengungkap terdapat 52 sungai di Indonesia dalam kondisi tercemar berat.
Kini umat manusia dikepung air tercemar. Air di saluran parit yang dahulu bersih dipakai minum dan memasak serta tempat ikan dan biota hidup, kini keruh dan tercemar.
Air galian tanah (air sumur) juga tercemar limbah rumah tangga, zat kimia serta sampah. Air di danau, sungai dan tempat-tempat lain juga ikut tercemar baik oleh limbah sampah biasa, maupun limbah tambang, limbah industri dan limbah pestisida yang mengandung logam berbahaya, zat-zat kimia beracun dan sumber bakteri dan kuman yang membawa penyakit mematikan.
Krisis Air Bersih Dimana-mana
Sumber air bersih terdekat dan paling diandalkan oleh masyarakat yaitu sumur galian juga mulai terancam, terutama di kawasan padat penduduk di perkotaan. Kondisi air mulai tercemar limbah.
Memang sudah lama muncul solusi air kemasan dan air bersih dari perusahaan air minum. Namun, terkadnag kualitasnya juga mengecewakan dan mengalir tersendat-sendat. Belum lagi pusing mengalokasikan sebagian penghasilan untuk kebutuhan air bersih.
Andai suatu hari air kemasan macet dan air ledeng habis, mau ke mana mencari air bersih? Bila itu terjadi, maka manusia akan pontang panting mencari air bersih untuk minum, memasak, mandi dan kebutuhan primer lainnya.
Pencemaran air di mana-mana menyebabkan air bersih semakin sulit diakses. Jika pun ada harus membeli. Lembaga PBB WHO menyebut bahwa tahun 2016 sebanyak 663 juta orang tak punya akses air minum dan 2,4 miliar orang lainnya tidak memiliki akses air untuk sanitasi (toilet).
Hal semacam itu sudah terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian wilayah Afrika, Pakistan dan belahan bumi lainnya. Di Pakistan, menurut data UNICEF, sebanyak 53.000 anak-anak meninggal tiap tahun akibat diare dan kekurangan air bersih. Sementara di India, penyakit diare dari air tercemar menyebabkan 140.000 anak-anak tewas.
Potensi Air Bersih Indonesia
Indonesia termasuk negeri yang sumber airnya melimpah. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) di situs kominfo.go.id menyebut tiap tahun Indonesia punya 3,9 triliun meter kubik air. Dari jumlah raksasa tersebut, yang bisa digunakan 691 miliar meter kubik. Itu pun yang baru dimanfaatkan 175 miliar meter kubik.
Pencemaran air menyebabkan sumber air bersih terbatas. Jika pun ada di dalam tanah, maka harus dibor puluhan meter ke dalam tanah dan itu butuh biaya jutaan. Jika pun air bersih ada di sumur, namun sumur sebagian tercemar oleh resapan limbah baik rumah tangga, limbah kotoran maupun industri. Jika air bersih terdapat dalam sungai, sungai juga tercemar. Jadi, besarnya potensi air bersih tersebut tidak bisa diakses oleh semua orang. Bahkan di beberapa tempat, dikuasai oleh perusahaan air bersih dan dikomersialisasikan.
Solusi relevan yang jitu diterapkan adalah bagaimana tiap orang sadar bahwa air bersih sangat penting. Kesadaran tersebut percuma bila hanya segelintir orang. Semua pihak harus sadar. Ibu-ibu rumah tangga harus sadar limbah dapur dan limbah kamar mandi (sabun, deterjen, dll) tidak mengalirkan ke aliran sungai. Pihak pabrik harus sadar untuk tidak mengalirkan limbah ke sungai dan sembarang tempat.
Semua anggota masyarakat sadar tidak buang sampah sembarangan apalagi buang sampah ke parit, got, dan sungai. Stakeholder sadar membuat kebijakan dan program serta sanksi berat untuk merawat lingkungan dan sumber air bersih.
Kesadaran menjaga lingkungan dan merawat air bersih harus total semua pihak baik vertikal: masyarakat biasa sampai pejabat tinggi, maupun secara horizontal mencakup semua kalangan masyarakat luas.
Mungkin hari ini dampak pencemaran air tidak terasa karena di sana sini masih melimpah dan mudah mendapatkan air PAM, air gallon dan air kemasan. Nasib ke depan tiada tahun. Bila air-air tersebut juga habis dan tiba-tiba mahal, mau ke mana lari mencari air bersih? Sementara semua sumber air bersih sudah terlanjur kotor, di mana-mana sampah, di mana-mana menghitam dan bau busuk, banyak bakteri dan penuh zat-zat kimia, pestisida dan limbah pabrik.
Masih ada waktu belum terlambat. Tanggal 22 Maret hanya menjadi momentum sadar menjaga kelestarian kualitas dan kuantitas air bersih. Tidak cukup Cuma sehari di tanggal 22 Maret itu, tapi berlaku seumur hidup. Sebelum semuanya terlambat dan kita terlanjur menjadi manusia-manusia bernasib malang sulit mengakses air bersih!***
Penulis alumnus UMSU S1 & UNNES S2. Dosen STAIN Mandailing Natal.