Onny Kresnawan:

Medan Butuh Produser Film

medan-butuh-produser-film

ASA para sineas muda untuk membang­kitkan kembali kejayaan perfilman Medan, sebenarnya tak pernah surut. Sekalipun jalan menuju ke sana tak mudah, namun tak sedikit sineas muda yang terus memeli­hara asa tersebut. Mereka terus berkarya dan merintis karya film layar lebar meski dengan segala keterbatasan.

Salah satunya dilakukan sineas  Onny Kresnawan. Tahun lalu Onny, menggagas film Haji Asrama (HAS), sebuah film religi yang berkisah  tentang dua karakter manusia yang bertolak belakang dalam perjalanan spiritual mencari Tuhan. Pengambilan gambar untuk video clip dan teaser, cuplikan beberapa adegan dalam film  HAS untuk ‘dijual’ ke calon produser juga sudah selesai dikerjakan.

“Semua itu hasil kerja gotong royong. Namun biaya untuk produksi penuh sampai saat ini belum ada,” ujar Onny Kresnawan saat ditemui di Sekretariat Panitia Festival Seni Budaya Sumut, di TBSU, Rabu (20/3).

Banyak pihak tertarik setelah menonton teaser HAS, bahkan ada yang berjanji menjadi produser. Namun sampai saat ini, janji itu sekadar angin surga. Sebagai sineas yang selama sepuluh tahun lebih memproduksi film-film dokumenter dan memenangi sejumlah kompetisi di luar Medan, Onny mengaku iri dengan keberha­silan sineas film indie di Makasar.

Sebuah film indie di sana, mengusung tema lokal, judulnya Uang Pane (uang mahar), berhasil diproduksi sebagai film layar lebar. Itu terjadi karena ada pengusa­ha ‘gila’ yang bersedia menginvestasikan uangnya.

“Film itu lalu diputar di bioskop dan mencapai break event point,” tuturnya. Sejak itu tawaran dari produser kepada sineas film indie itu pun berdatangan. Di Medan, Onny belum melihat ada pengusa­ha yang tergerak membiayai pembuatan film layar lebar. Produksi HAS misalnya sampai sekarang masih terkatung.

Sebenarnya bukan tak ada sama sekali investor film di Sumut. Namun menurut­nya, kalaupun ada orang yang berinvestasi ke film, lebih bersifat musiman. Dalam arti mereka mau jadi produser film dan bersedia merogoh koceknya karena ada kepentingan tertentu.

Subsidi Silang

Onny memilih untuk tak memilih pola produksi seperti itu. Ia lebih memilih subsidi silang untuk proses kreatifnya. Ia menggarap film dokumenter dari pemerin­tah dan orginisasi masyarakat ssipil. Sebagian dari honor itu untuk menjamin asap dapur keluarganya. Sebagian lagi untuk membiayai produksi film-film indienya yang kerap disertakan dalam berbagai kompetisi.

Obsesinya membangkitkan perfilman Medan sebenarnya telah dirintis sejak  10 tahun lalu. Pada 2009, bersama Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Onny menginisiasi penyelenggataan Festival Film Anak (FFA). Ini adalah festival film pendek bertema anak pertama diadakan di Indonesia. FFA dihadiri aktor kawakan Didi Petet dan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Aris Merdeka Sirait.

Saat itu ia tak bicara soal kualitas film pendek yang diputar selama acara FFA betlangsung. Onny lebih bicara tentang usahanya menghadirkan ruang publik  bagi sineas muda untuk memutar hasil karya mereka. Sebuah ruang yang memung­kinkan terjadinya dialog antara sineas dengan penikmat film atau antara sesama pegiat film pendek lain. Hingga 2019, penyelenggaraan FFA masih eksis.

Dampak kehadiran FFA, menurutnya sudah bisa dirasakan. Sejumlah sineas muda yang serius mengembangan bakat di perfilman, hijrah ke Jakarta, belajar serius sinematografi. Ada juga yang belajar ke Jogja Film Academy. Mereka lalu pulang dan berkarya di Medan. Tak heran, sebuah film pendek yang dikurasinya, semula ia sangka merupakan produksi sineas Yogya­kar­ta, ternyata film itu bikinan sineas muda Medan.

Intinya film-film pendek yang disertakan dalam Kompetisi Film Pendek 2019 DKSU, telah memiliki bobot filmis cukup tinggi. Mereka dinilai telah berhasil keluar dari beban genre film-film Medan era 1960-an. Gaya sinematik zoom in, zoom out  semisal telah ditinggalkan.

“Sineas muda sekarang lebih moving, tracking. Eksperimentalnya gila-gilaan,” katanya. Penggarapan tema, teknik coloring grading, story telling juga kuat. Kemajuan teknologi kamera dan editing, membuat aspek teknik film-film indie makin maju.

Biaya Produksi

Gairah berkarya dan kemampuan teknik pengambilan gambar, editing, atau penoko­han yang makin meningkat, menurut Onny harus disambut para pemangku industri kreatif di Sumut. “Sekarang ini disamping FFA, ada juga Lake Toba Film Festival, komunitas pegiat film indie juga muncul di Sibolga, Rantau Prapat, dan kota lain. Itu sebuah gairah berkesenian yang luar biasa.”

Ia sadar, perfilman di Medan masih bergantung pada inisiatif pribadi seniman dan dukungan pemerintah. Di Yogyakarta, dewan keseniannya menganggarkan Rp50 juta untuk mengundang para film maker mengirimkan proposal pembuatan film pendek. Proposal yang dinilai layak diberi dukungan biaya produksi.

Kebijakan seperti ini menurut Onny bisa menggairahkan perfilman indie Sumut yang kelak bisa menjadi benih munculnya film-film layar lebar. Keberadaan mobil bioskop keliling milik TBSU, juga bisa didayagunakan. Semisal untuk menghadir­kan bioskop-bioskop indie  di berbagai daerah. Termasuk di TBSU sendiri.

Onny sudah menggagas kegiatan nobar film indie bulanan. Melengkapi kiprah Komunitas Katakata yang tiap bulan menggelar Baca Puisi Bulanan dan Bengkel Monolog yang merintis Pentas Monolog Bulanan.

Bioskop indie yang bersifat mobil juga bisa dihadirkan di daerah-daerah lewat fasilitas biosp keliling (bioling) tadi. Sementara peralatan audio visual yang ada, bisa menjadi modal untuk penyelenggaraan workshop-workshop perfilman untuk melahirkam film maker  baru di berbagai daerah.

Hanya sinergi antara pegiat perfilman dan pemangku kepentingan seperti peme­rin­tah daerah  yang bisa ikut menjamin tumbuhnya kesenian film di Sumut. Saat belum ada orang ‘gila’ yang mau mena­nam­kan uang mereka untuk menggairah­kan iklim perfilman Sumut, kontribusi pemerintah memang jadi pilihan yang paling realistis. (J Anto)

()

Baca Juga

Rekomendasi