Debat Cawapres dan Wacana Menghapus UN

debat-cawapres-dan-wacana-menghapus-un

Oleh: Roy Martin Simamora. Ada yang menarik pasca debat ketiga Cawapres tempo hari. Dari empat tema yang diangkat—pendidikan, ke­sehatan, ke­tenaga­kerjaan, sosial dan bu­daya, satu tema yang menarik dibahas me­ngenai tema pendidikan.  Tapi sayang, se­bagai penonton, saya kecewa karena tema ini tidak terlalu serius dibicarakan ke­timbang tema-tema yang lain. Tema pen­didikan justru porsinya lebih sedikit.

Sebagai penonton dan peduli pendidi­kan, tema pendidikan seharusnya men­jadi concern bersama oleh kedua ca­wa­pres. Bukankah sebuah bangsa besar ka­rena dilihat dari keberhasilan meng­e­lola sektor pendidikannya?

Tapi, panggang jauh dari api, debat m­alam itu tidak menyentuh akar persoa­lan. Tema pendidikan tidak tepat sasaran. Perdebatan malah membahas alokasi dana riset dan industri ketimbang mem­bahas persoalan pelik pendidikan kita dari tingkat yang paling bawah.

Mekipun demikian, saya cukup meng­­apre­­­siasi concern Cawapres 02 yang ber­­ini­­siatif menghapus Ujian Nasional (UN) apa­­bila seandainya diberikan mandat untuk me­mimpin bangsa ini. Pertanyaan be­sar­nya: semudah itukah menghapus UN? Se­andainya terpilih dan wacana mengha­pus UN terealisasi, maka “tools” apa yang akan hen­dak dipakai untuk mengukur kom­pe­tensi siswa ke depan­nya? Ini men­jadi per­ta­nyaan besar meng­ingat wacana meng­­hapus UN sudah di­gaung­kan oleh pre­­si­den-pre­siden se­be­lum­nya, namun nya­ta­nya sebatas wacana belaka. Tidak ada satupun presiden yang berani mengha­pus UN. Sampai sekarang UN berdasarkan tes tulis hingga UN tes komputer masih dilak­­sa­nakan.

Problem UN terus saja menjadi po­lemik. UN dinilai belum mampu menga­tasi per­soalan kualitas siswa. UN dinilai hanya me­ngedepankan asas kejujuran ke­timbang menguji potensi peserta didik agar mampu berpikir kritis. Masalah lain­n­ya, gap antara pendidikan di desa dan kota sungguh meng­khawatirkan. Peme­ra­taan pendidikan belum dilakukan se­pe­nuh hati. Terkesan setengah-setengah.

Belum lagi, pemerintah sudah mem­buat kebijakan baru: Ujian Nasional (UN) di­ganti dengan Ujian Nasional Berbasis Kom­puter (UNBK). Belum selesai ma­sa­­lah yang satu muncul lagi masalah baru. Padahal kita tahu, fasilitas di desa belum tentu memadai daripada di kota. Sekolah di desa mengalami kendala ka­rena tidak me­miliki akses internet. Boro-boro bicara akses inter­net cepat, se­dang­kan penyediaan kom­puter masih mem­prihatin­kan. Dana BOS yang seharusnya perun­tukan pe­ngem­bangan akademik sekolah justru disa­lah­gunakan oleh oknum-oknum tidak bertanggung­jawab.

Bersebab itu, pihak sekolah putar otak, caranya membawa siswa ke kabupaten yang menyediakan pelaya­nan akses internet cepat agar dapat ikut ujian. Tapi, apakah itu menye­lesaikan masalah pendidikan? Tidak. Ini justru menambah be­ban sekolah sebagai penyelenggara pen­didikan. Dan tentu saja, pemerintah ma­sih belum bisa menyelesaikan per­soa­lan itu.

Jika berkaca dari pelaksanaan UN, saya ber­pendapat sebaiknya UN diguna­kan se­bagai pemetaan kualitas siswa dan sekolah diberbagai daerah, bukan untuk mengukur hasil belajar siswa semata. Disamping itu, UN tidak perlu dijadikan sebagai acuan atau “jalan” masuk Perguruan Tinggi (PT). Karena tidak ada jaminan, siswa yang masuk per­guruan tinggi kualitasnya lebih baik dibanding­kan siswa yang tidak.

Untuk mencapai skor tertinggi, siswa-sis­wa harus belajar, les privat dan bim­bingan intensif. Hal ini membuat, para sis­wa berlomba-lomba menjadi yang ter­baik. Demi­kian kegiatan ini berulang-ulang tiap tahunnya. Bagi siswa yang pen­ting adalah “lolos” UN tidak peduli dengan esensi pendidikan itu sendiri.

Melihat problem-problem pelak­saaan UN yang dijadikan sebagai acuan masuk per­­guruan tinggi (PT), yang mana banyak ke­curangan seperti “pengkatrolan nilai” agar lolos ke perguruan tinggi yang di­idam­­kan. Sekolah bermain curang demi me­­lo­loskan para siswanya ke perguruan ting­­­gi. Tentu, ini menjadi nilai tambah se­­­kolah agar meningkatkan rating. Se­ko­lah ber­lomba-lomba mengejar “ra­ting” mes­­ki de­ngan cara-cara yang tidak bi­jak­sana. Ka­­rena itu, saya lebih setuju apa­­bila pro­gram penelu­suran minat dan ba­kat di­rea­­lisasikan jika masuk ke Per­guruan Ting­gi (PT) bukan berdasar pada nilai UN semata.

Belajar dari Taiwan

Taiwan termasuk negara yang tidak ter­lalu memusingkan Ujian Nasional (UN). UN tidak menjadi tolok ukur ke­ber­hasilan pendidikan. Jika ditelisik, Tai­wan sangat pe­duli dengan persoalan-per­soalan pendi­dikan. Negara ini bahkan terma­suk negara yang diperhitungkan dan dinilai terus-menerus membenahi sektor pendidikan. Berdasarkan pering­kat Program for International Student Assessment (PISA) dari tahun ke tahun, Tai­wan masuk lima besar se­cara berturut-turut. PISA ini mem­fo­kuskan pada tiga bi­dang ilmu: Matematika, Sains, Mem­baca.

Jadi, Taiwan tidak boleh dipandang sepele dalam hal membenahi persoalan pendidikan. Bagaimana dengan bangsa kita?

Bagi Taiwan, UN pernah jadi cerita bu­­­ruk dan momok yang mengerikan. Ba­nyak siswa yang depresi, stress karena be­rat­nya UN, akhirnya tak sedikit yang bu­nuh diri. Karena itu, pemerintah Taiwan me­ngam­bil langkah cepat dan tepat untuk men­cegah lebih banyak lagi korban yang ber­ja­tu­han. UN tidak lagi dijadikan pa­tokan un­­tuk meluluskan siswa dan jalan masuk PT, terutama menembus PT terbaik di Taiwan.

Berdasarkan kisah-kisah yang ditutur­kan beberapa teman: adalah sebuah pride bagi siswa dan keluarga apabila anggota keluarganya mampu menembus PT terbaik di Taiwan. Jika tidak, nama baik menjadi taruhannya. Bayangkan, berapa ba­nyak siswa yang akan mengubur ha­ra­pan mereka masuk PT idaman karena tidak sanggup atau sulitnya tes Ujian Na­sional? Jika skor buruk pada tes ujian, dapat dipastikan tidak akan masuk per­guruan tinggi yang di­minati. Menyi­kapi itu, Taiwan, dari tahun ke tahun terus memperbaiki kualitas pen­didikannya agar lebih humanis.

Menariknya, para guru di Taiwan di­harapkan agar berpartisipasi dalam me­rancang kurikulum dan membuat praktik pe­dagogis yang kreatif untuk memenuhi kebutuhan siswa mereka. Dengan kata lain, administrator dan guru sekarang memain­kan peran penting dalam me­ngem­bangkan kurikulum dan mem­prak­tikkannya.

Jadi, pemerintah tidak melulu paling tahu problem siswa di sekolah. Pemerin­tah memberikan kebebasan bagi sekolah untuk mengembangkan akademik dan mutu pen­didikan. Bagi Taiwan, kuriku­lum terbaik adalah antara guru dan siswa.

Begitu banyak sentimen negatif ter­hadap ujian nasional waktu itu, karena ba­nyak siswa mengklaim ujian itu tidak adil karena tidak memungkinkan mereka un­tuk masuk universitas yang mereka ingin­kan. Hal ini disebabkan oleh fakta bah­wa mereka akan ditempatkan di per­gu­­ruan tinggi berdasarkan skor yang me­reka peroleh dalam ujian nasional. Jika skor rendah berpotensi masuk per­guruan tinggi yang biasa-biasa saja. Bagi siswa yang memiliki skor tinggi ada ke­mung­kin­an bagi mereka masuk per­gu­ruan tinggi ter­baik. Situasi inilah yang mem­buat ba­nyak siswa ingin pengha­pusan ujian na­sional karena merasa tidak adil sama sekali.

Sekolah menengah atas (SMA) men­ca­­kup kelas 10 hingga 12 di sekolah me­­ne­ngah akademik dan kejuruan seperti yang digambarkan oleh Kementerian Pen­­di­dikan. Beberapa siswa dapat me­milih un­tuk mendaftar pada sekolah alter­natif, yang disebut program kompre­hen­sif, sekolah me­nengah berbasis khusus, atau perguruan tinggi junior.

Program komprehensif menawarkan kurikulum kejuruan dan akademik dan program berbasis spesialisasi menawar­kan kurikulum inti yang menampilkan mata pelajaran atau jalur khusus untuk siswa dengan bakat khusus.

Siswa di sekolah menengah atas (SMA) akademik dan kejuruan tidak per­lu lulus ujian komprehensif akhir un­tuk lulus, tetapi jika mereka ingin me­lanjutkan studi akademik di universitas, mereka harus mengikuti University En­tran­ce Examinations (Ujian Masuk Uni­ver­sitas), yang mana memuat Tes Ke­mam­puan Skolastik Umum (GSAT).

Tes ini menilai kompetensi mereka da­lam bahasa Cina, bahasa inggris, mate­ma­tika, dan ilmu alam dan sosial. Karena itu, penerimaan ke perguruan tinggi dan universitas didasarkan pada salah satu dari tiga metode berbeda: rekomendasi, apli­kasi pribadi, atau ujian dan penem­patan.

Dalam proses rekomendasi, siswa di­terima di universitas tertentu berdasarkan hasil GSAT, kinerja SMA, dan referensi dari staf sekolah menengah. Jalur re­komen­dasi terbatas untuk beberapa kan­didat yang berkinerja tinggi. Dalam pro­ses aplikasi pribadi memungkinkan siswa untuk mendaftar ke lembaga yang ingin mereka hadiri berdasarkan hasil GSAT dan kinerja sekolah menengah mereka.

Dalam proses pemeriksaan dan pe­nem­pa­t­an dirancang untuk siswa yang gagal men­­dapatkan penerimaan berda­sar­kan me­tode yang disebutkan di atas. Siswa-siswa ini dapat mengikuti Tes Mata Pelajaran Ting­kat Lanjut (AST), yang menilai kom­pe­tensi mereka dalam mata pelajaran khu­sus yang berkaitan dengan jurusan dan de­par­temen di mana mereka ingin belajar. Ber­­dasarkan hasil GSAT dan AST dan ki­­nerja sekolah menengah mereka, siswa di­tugaskan ke sebuah lembaga di daftar pilihan mereka.

Nah, hebatnya lagi, di semua sekolah di Tai­wan, baik di pedesaan dan per­ko­taan men­dapat pendidikan yang layak dan me­rata. Kebutuhan pendidikan di­se­suaikan de­ngan kultur yang berada di setiap daerah. Jadi, kurikulum tidak terlalu kaku untuk direalisasikan.

Sebagai contoh: sebuah sekolah dasar yang pernah saya kunjungi dan teliti di sekitar Taman Nasional Taroko, Hualien, Taiwan menye­suaikan konten pendidi­kan me­reka dengan kebudayaan perada­ban yang ada disitu. Sekolah itu mayoritas diisi oleh siswa yang berasal dari suku asli Tai­wan. Yang mana suku ini sangat de­kat de­ngan alam, baik berburu bina­tang, mengajari siswa agar dapat bertahan hi­dup, me­ngajari siswa berenang di su­ngai, me­ngajak anak melestarikan tarian tra­­di­sio­nal, bermain musik tradisional, meng­­gam­bar tumbuhan dan binatang, mau­pun me­nga­jari anak cara mem­bangun tempat tinggal di sekitar hutan. Maka, konten pendidikan yang diajarkan disesuaikan dengan person dan kebu­da­yaan mereka, tidak melulu disamaratakan se­perti yang dilakukan sekolah di per­kotaan. Akhirnya, pendidikan yang ada di tiap daerah tercapai dengan baik.

Dengan demikian, wacana menghapus UN sepenuhnya bukanlah solusi yang tepat. Saya pikir, sebaiknya UN dijadikan (ingat) sebagai pemetaan kualitas pen­didi­kan bukan sebagai acuan keberha­sil­an siswa dalam menjawab soal-soal. Di­sam­­ping itu, pemerintah per­lu terus ber­benah diri. Konsep pendidikan mes­ti di­pandang se­bagai kebutuhan pu­blik, mulai dari ting­kat yang paling awal: sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Se­jatinya, esensi pendidikan adalah un­tuk mencip­ta­kan manusia yang berpikir, krea­tif, hu­manis dan menghargai ke­hidupan, bukan menciptakan mereka men­jadi “robot-robot” pendidikan yang se­lalu diatur demi kepuasan pe­nguasa.***

Penulis Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.

()

Baca Juga

Rekomendasi