
TAHUN 2010 saat diminta orang tuanya pulang dan menetap di Medan, Elisantus Sitorus mengajukan satu syarat. Anak siapudan dari pasangan SM Sitorus dan Flora br. Tambunan ini tak mau dilarang bermain musik. Sejak kecil, Elisantus memang sudah tertarik dunia musik. Bakat seni itu menurun dari ibunya, salah satu penyanyi di gereja.
Saat duduk di bangku SMA Cahaya, Medan, Elisantus bahkan membentuk grup band sekolah. Ia jadi pemain gitar dan dan vokalis. Setamat SMA, keinginannya menjadi musisi makin menggebu. Beda pandangan dengan orang tua tak terelakkan. Ayahnya menganggap musisi bukan jalan hidup yang menjanjikan secara materi. Karena itu pada 2000 saat diterima di Jurusan Komposer Institut Kesenian Jakarta (IKJ), ayahnya tak merestui.
Elisantus mengalah. Ia akhirnya kuliah di Universitas Jayabaya, Jakarta. Ia memilih jurusan hubungan internasional. Namun begitu minatnya bermusik tak pernah padam. Di ibu kota, ia juga membentuk grup band. Namanya The Lobbies. Pernah menghasilkan album indie dan sudah sering pentas.
Sadar bahwa bermusik telah jadi bagian hidup anaknya, SM Sitorus akhirnya menyerah. Ruko milik ayahnya di Jalan TB Sumatupang, Medan Sunggal, akhirnya dijadikan Elisantus sebagai tempatnya berkesenian. Ruko itu disulap jadi studio musik. Menyediakan 2 perangkat band sebagai media berlatih para pemusik pemula. Studio musik itu dinamakan Pitu Room.
Pitu dalam bahasa Batak artinya tujuh. Pasangan Elisantus dan Ratna memang keduanya sama-sama merupakan anak ketujuh di keluarga masing-masing. Dari situ perlahan Elisantus mulai membangun jaringan dengan pemusik indie Medan. Ia juga banyak menyerap aspirasi mereka. Salah satu masalah utama yang dihadapi pemusik indie adalah keterbatasan ruang untuk berekspresi.
Ruang Berekspresi
“Pada 2010 di Medan cari tempat untuk konser musik indie ternyata susah,” ujar Elisantus. Waktu itu Medan hanya punya 2 tempat konser. Pertama tampil di gedung Kapendam Jalan Listrik, atau menyewa di Gedung Aek Mual Jalan Setia Budi. Sempitnya ruang untuk ekspresi bermusik itu mendorong Elisantus banting stir.
Ia menutup studio penyewaan alat musiknya, lalu bikin kafe musik. Band-band pemusik pemula diberi ruang untuk manggung. Kehadiran Pitu Room sontak disambut hangat band-band yang ada.
Menurut Manajer Filsatian sekaligus pengelola Kafe Pitu Room, Ratna Silalahi, Pitu Room akhirnya berfungsi sebagai ajang konser sekaligus regenerasi pemusik indie. Mereka yang belum pede tampil di panggung lebih besar, menjajal kemampuan di sana. Tak terduga, pengunjung membludak. Kadang penonton bahkan sampai meluber ke tempat parkiran.
Pada 2015 saat sedang jaya-jayanya, pengunjung bisa mencapai seribu orang. Tentu ruang konser jadi tak nyaman. Maklum, Pitu Room hanya berupa dua ruko yang disatukan. Dalam perjalanan, jumlah penonton dibatasi, maksimal 200 - 300 orang. Satu ruko kini difungsikan sebagai kafe.
“Selain untuk kenyamanan pengunjung, juga untuk menjaga keamanan,” ujar Ratna. Hari biasa, Senin – Jumat, Pitu Room dimanfaatkan untuk latihan bagi band-band indie yang mau manggung pada Sabtu dan Minggu. Namun Pitu Room juga difungsikan sebagai tempat untuk pentas teater, pameran lukisan, foto, dan kegiatan kesenian lain.
Tarif sewa di Pitu Room menurut Elisantus disesuaikan permintaan dan kebutuhan penyewa. Misalnya hanya sewa gedung saja atau lengkap dengan alat musik dan sound system-nya.
“Kalau izin keramaian dari kepling, lurah, dan polisi kami yang urus,” ujar Elisantus. Meski begitu, Pitu Room punya kebijakan menggratiskan sewa studio, Kebijakan itu berlaku bagi musisi yang dinilai berbakat dan serius ingin mengembangkan bakatnya.
Bagi band musik yang manggung, Pitu Room juga tidak memungut sewa tempat dan peralatan. Mereka hanya mengambil sewa dari hasil penjualan tiket pertunjukan. Harga tiket yang dipatok pun terbilang murah ‘gurem’.
Pernah Diintimidasi
Keberadaan ruang berekspresi seni seperti Pitu Room di Medan cukup terbatas. Bagi seniman, keberadaa Pitu Room ibarat oase di padang pasir. Namun kadang ada yang salah paham, dikira Pitu Room usaha bisnis murni. Tak pelak, salah paham seperti itu pernah menimbulkan masalah yang tak mengenakan.
“Dulu kami pernah diwajibkan bayar iuran tiap bulan. Besaran iurannya cukup memberatkan. Saya sempat protes namun justru mengalami intimidasi,” tuturnya. Ia sempat stres berat. Maklum, sebagai seniman, proses kreatifnya jadi tersumbat. Bagi seniman, cobaan terberat adalah saat mereka tak bisa berkarya.
Beruntung, ia melakukan konsultasi dengan ahlinya. Ia disarankan untuk bermain musik lagi. Ia menuruti advis tersebut dan ternyata manjur. Gangguan psikosomatis yang diderita hilang. Terlebih saat berbagai dukungan dan simpati mengalir. Termasuk dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kisahhya berawal saat lagu Revolusi Mental terpilih sebagai lagu pemenang festival anti korupsi yang diadakan lembaga anti rasuah tersebut. Bersama personil Filsafatian pun ia mulai bisa berkarya lagi. Syukur sejak 2017, gangguan-gangguan itu sudah tidak ada lagi. (J Anto)