Filsafat dan Akal Sehat

filsafat-dan-akal-sehat

Oleh: Fadil Abidin.

Pada 15 Februari 399 SM filsuf Socra­tes dihukum mati oleh penguasa kota Athe­na. Pe­ngadilan memutuskan So­cra­tes ter­bukti bersalah atas dua tu­duhan, per­tama asebeia yaitu tidak menghormati dewa-de­wa Athena dan memperkenalkan dewa-de­wa baru. Kedua, melakukan peng­rusakan pi­kiran para pemuda di kota ter­sebut. Pe­ngadilan menjatuhkan huku­man mati dengan menengguk secangkir minu­man beracun.

Sebagai filsuf, Socrates tidak pernah meninggalkan catatan tertulis. Metode filsafatnya adalah mengajukan pertanyaan dan dialog. Dia pergi ke pasar dan ke­rumunan orang, mengajukan pertanya­an, berdialog dan berdebat dengan siapa saja. Socrates dikenal sebagai seorang yang tidak tampan, berpakaian se­derhana, tanpa alas kaki dan berkeliling mendatangi ma­sya­­rakat Athena berdiskusi soal filsafat.

Dia melakukan ini pada awalnya di­dasari satu motif religius untuk mencari ke­benaran. Ada seorang peramal dari Ora­cle Delphi yang mengaku mendapat bi­sikan gaib, bahwa tidak ada orang yang lebih bijak dari Socrates di kota Athena. Merasa diri tidak bijak, Socrates berkeli­ling membuktikan kekeliruan suara gaib tersebut. Dia datangi satu demi satu orang-orang yang dianggap bijak oleh masyara­kat pada saat itu, dan dia ajak diskusi tentang berbagai masalah kebijaksanaan.

Tapi jawaban dari orang-orang bijak itu tak membuatnya me­ne­mukan kebenaran yang ia cari. Pada akhirnya Socrates membenarkan suara gaib tersebut, berda­sar satu pengertian bahwa dirinya adalah yang paling bijak karena dirinya tahu bahwa dia tidak bijaksana, sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana.

Cara berfilsafatnya inilah yang memun­cul­kan kesalahpa­ham­an terhadap Socra­tes. Penyelidikan di pengadilan kota Athena membuka tabir bahwa mereka yang selama ini di­anggap bijak oleh ma­sya­rakat, ternyata tidak mengetahui apa yang sesungguhnya mereka ketahui. So­cra­tes sebenarnya bisa dengan mudah me­ma­tahkan tuduhan-tuduhan terhadapnya.

Socrates sebenarnya juga dapat lari dari pen­jara dengan ban­tuan para sahabat dan mu­rid-muridnya yang menjadi penguasa saat itu. Namun dia menolak atas dasar ke­pa­tuhannya pada satu kontrak sosial yang telah dia jalani dengan hukum di kota Athena. Sebagai warga negara yang baik, ia ha­rus mematuhi hukum. Walaupun hu­kum se­dang tidak berpihak kepadanya. Ke­be­raniannya dalam menghadapi maut di­gam­barkan dengan indah dalam Phaedo ka­rya Plato. Kematian Socrates dalam ke­tidak­adi­lan peradilan menjadi salah satu pe­ristiwa per­adilan paling bersejarah da­lam masyara­kat Barat di samping pera­dilan Yesus Kristus.

Terpukau

Saat ini, keterpukauan masyarakat kita ter­hadap seseorang yang menyatakan di­rinya ahli filsafat, persis seperti keter­pu­kauan masyarakat Yunani Kuno 2500 tahun lampau. Tapi bagi sebagian orang yang pernah membaca buku-buku filsafat, perkataan-perkataan seperti "menyihir" itu biasa saja. Selain para nabi, para filsuf juga mam­pu mempengaruhi manusia dengan kata-katanya. Bahkan dalam per­kem­bangan selanjut­nya para ahli filsafat men­jadi "nabi-nabi baru" di zaman mo­dern.

Socrates menolak dirinya disebut sebagai orang yang paling bijaksana di Athena. Walaupun mayoritas masyarakat meno­batkan dirinya sebagai orang bijak­sana. Seorang filsuf sejati tidak akan per­nah menyatakan dirinya paling benar atau paling berakal sehat. Dia tidak pernah me­nyatakan orang lain sebagai kumpulan orang-orang dungu. Nafas dari filsafat adalah kese­taraan, pikiran terbuka dan dia­log. Ketika ia memproklamirkan diri se­bagai orang yang berakal sehat dan me­nyatakan orang lain sebagai kumpulan orang dungu, maka tidak ada lagi keset­a­raan dan pikiran terbuka. Dialog pun men­jadi monolog, buat apa yang merasa diri se­bagai orang yang punya akal sehat ber­dialog dengan orang dungu?

Ketika ia menyatakan diri sebagai orang paling benar, paling bijaksana dan pa­ling berakal sehat, maka putuslah se­mua. Ke­tika Socrates menyatakan "bahwa dewa-dewa Athena adalah fiksi", maka ia tetap konsisten dengan kata-katanya, baik pe­nger­tian secara bahasa maupun secara filosofis. Socrates tidak membela dirinya bahwa perkataan tersebut keluar karena konteks debat sehingga ada kata-kata "out of tongue". Sampai dihukum mati pun ia konsisten dengan perkataannya tersebut.

Filsafat dipercaya mampu menjawab segala pertanyaan dengan metode berpikir yang logis dan tidak terikat norma dan dogma. Seorang filsuf adalah seseorang yang memprak­tikkan filsafat, yang meli­bat­kan penyelidikan rasional terhadap bi­dang-bidang yang berada di luar teologi atau sains. Anda boleh berdialog dengan ahli filsafat, tapi Anda akan kalah jika dalam perdebatan. Anda bisa terjebak dengan kata-kata Anda sendiri, terjebak de­ngan istilah-istilah yang dia katakan yang Anda tak mengerti, dan terjebak dengan keyakinan diri sendiri.

Akal Sehat

Sebutan "akal sehat versus otak dungu" dalam kajian filo­sofis tidak pernah ada, karena para filsuf menghargai setiap pemikiran manusia. Di pasar, Socrates meng­hargai perkataan penjual ikan, men­de­ngar­kan pendapat tukang jahit, bahkan ia menghargai pendapat para juri yang mem­be­ri­nya hukuman mati. Ia tidak mau bertele-tele bersilat lidah untuk mem­bela semua perkataannya. Jika itu penda­pat­mu, maka itulah yang benar menurut­mu. Jika Socrates menyatakan para dewa Athena itu fiksi, maka itu benar menurut pen­dapat Socrates. Tapi jika para juri berpendapat bahwa para dewa itu bukan fiksi, maka itu benar menurut pendapat para juri. Adakah filsuf yang berani kon­sisten seperti ini?

Saya tidak setuju jika sebuah pemikiran diadili, sebagaima­na saya tidak setuju jika ada yang menyatakan diri sebagai "bos akal sehat" dan yang lainnya sebagai kum­pu­lan orang dungu. Jika dalam panda­ngan­­nya seseorang itu selalu salah dan jelek, selalu negatif dan tidak pernah ada baiknya. Itu bukan filsuf, tapi agitator.

Akal sehat menurut filsuf belum tentu berakal sehat menurut kaum awam. Dulu di masa Yunani Kuno ada filsuf bernama Diogenes (412-323 SM). Diogenes ber­pen­da­pat bahwa manusia haruslah me­mi­liki keutamaan tentang yang baik. Keuta­maan tentang yang baik adalah ketika ma­nusia memiliki rasa puas diri dan meng­abai­kan segala kesenangan duniawi.

Menurut "akal sehat" Diogenes, meng­abai­kan segala kese­nangan duniawi itu ber­arti ia harus melepaskan diri dari benda-benda duniawi. Diogenes memilih untuk hidup "apa adanya" untuk menunjukkan konsistensi dengan apa yang diajarkannya. Ia tidak memiliki benda materi apa pun. Ia tak punya rumah dan tak punya keluarga. Ia nyaris telanjang hanya memakai selem­bar kain. Ia hidup dalam sebuah tong besar se­ukuran tubuhnya. Ia mencari makan dari sisa-sisa makanan yang ia temukan. Karena sikapnya yang "nyeleneh", Plato mem­be­rinya julukan "Socrates yang Gila". Se­men­tara masyarakat sekitarnya memberi ju­lukan "Si Anjing dari Sinope". Sinope me­rujuk tempat di mana Diogenes dilahir­kan.

Diogenes pernah dikunjungi oleh Ale­xan­der Yang Agung. Ketika datang meng­ham­piri tong tempat Diogenes tinggal, Ale­xander berdiri di depan tong dan me­na­nya­kan apakah ada yang dapat dilakukan untuk sang filsuf. Diogenes pun men­jawab, "Ya, to­long menyingkir agar tidak menghalangi ca­haya matahari yang masuk mengenai wa­jahku." Hal itu menunjuk­kan betapa Dio­genes sangat konsisten terhadap pandangan hidupnya tentang kesederha­naan dan penolakan terhadap sega­la bentuk kesenangan duniawi. Menurut Diogenes, ia sudah berakal sehat menjalani kehidupan duniawi seperti itu. Tapi menurut orang di sekitarnya, dia tidak berakal sehat. ***

* Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan.

()

Baca Juga

Rekomendasi