
Cuplikan kisah di atas menggambarkan betapa cintanya seorang pemuda untuk ikut berjuang di medan perang, karena ingin membuktikan cinta dan kasih sayangnya kepada Sang Khalik, Allah swt. Segaris darah yang hidupnya telah dinishbahkan untuk selalu cinta dan membela agama Islam.
Islam agama penuh dengan cinta dan kasih sayang. Mewujudkan kasih sayang pada diri sendiri, serta memberikan kasih sayang kepada siapa dan apa yang ada disekeliling kita adalah ibadah. Dan itulah bagian dari sifat dan jati diri orang muslim.Ada tingkatan cinta dan kasih sayang dalam Islam. Tingkatan tertinggi adalah sayang / cinta pada Allah SWT lalu Rasulullah SAW.”Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah yang kamu sukai, adalah lebih utama daripada Allah dan Rosul-Nya dan berjihad di jalan Allah, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah:24)
Cinta kepada Allah Azza Wa Jalla dan Rasul adalah konsekuensi keimanan. Konsekuensi tersebut harus selalu diikrarkan baik dalam perkataan, perbuatan maupun dalam niat setiap hamba. Keimanan seorang muslim tidak dianggap sempurna sebelum ia mendahulukan cintanya kepada Allah Swt dan Rasul-Nya daripada cintanya kepada hartanya, anak-anaknya, kedua orang tuanya, bahkan semua manusia, Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah Saw. Kualitas kecintaan kepadaNya tergambar dari ketaatan dan komitmen seseorang kepada perintah Allah Swt dan Rasul-Nya.
Rasanya sulit di zaman yang serba mewah dan kekinian menemukan cinta yang dilandasi iman. Padahal banyak yang berkata, bahwa ‘saya beriman’. Namun justru yang dikerjakan, jauh dari iman yang hanya katanya itu. Karena sering kali berlawanan antara ucapan, hati, dan tingkah laku. Begitulah sebenarnya laku manusia saat ini yang sudah jauh memaknai cinta denga rasa iman di dalam hatinya. Jika boleh dikatakan, iman saat ini hanyalah pelengkap tanpa ada eksekusi yang ditandai dengan bukti. Sejatinya, iman dibuktikan dengan ketaatan dan meninggalkan keburukan yang dilarang Allah swt. Dan puncak tertinggi dari pandangan hidup seorang muslim adalah cinta. Sebab, cinta seperti itu akan terkumpul kepada satu puncak, yaitu Allah swt.
Dalam perjalanan tumbuhnya kecintaan itu adalah kian sirnanya kepentingan diri sendiri. Mengurbankan kepentingan diri ke dalam kepentingan yang lebih besar, yaitu melaksanakan kehendak Allah swt dengan penuh rasa kecintaan. Karena iman itu tidak akan pernah berarti apa-apa tanpa cinta. Cinta yang menggerakkan amal sholih menjadi wujud nyata. Bukan sekedar bunyi dari bibir. Tidaklah berlebihan, ketika hari ini setiap dari kita melihat hati yang keruh. Apa yang sudah kita kurbankan untuk cinta kita ini. Kalaupun ada, masih sangat sedikit. Kalaupun sudah itupun kadang kadang dan belum yang terbaik. Berkata iman namun tak ada pembuktian cinta yang dilakukan. Atau berbilang cinta namun tidak ada rasa iman di dalam dada. Bagaikan anak kunci tak memiliki gerigi.
Kesehatan, kekayaan, ilmu yang banyak, serta segala kenikmatan sudah diberikan Allah swt kepada kita sebagai hambaNya, apa yang sudah kita berikan kepadaNya sebagai bukti cinta kita, iman kita ? sungguh masih sangat sedikit. Semua yang telah diberikanNya dalam kebaikan dan keberkahan, rasanya semakin menjauhkan dari cinta yang sesungguhnya. Orang alim berkata, bahwa setiap hamba yang telah jatuh cinta kepada Allah swt dan rasulNya, akan patuh apapun perintah yang diberikan oleh Sang Maha Agung. Sebab, orang yang jatuh cinta telah merasakan manisnya iman. Sebagaimana Hadits Rasulullah yang pernah dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah Saw pernah menyatakan tentang ‘Halawatul Iman’, yaitu orang-orang yamg telah merasakan manisnya iman itu.
Ada tiga perkara, kalau orang telah dapat mencapainya akan mendapatkan bagaimana manisnya iman itu : Pertama, bahwa Allah swt dan Rasulullah Sawlebih dicintainya daripada segala yang lain. Kedua, dan bahwa dia cintakepada seseorang, tetapi cintanya itu tidak lain hanyalah cintanya kepada Allah swt jua. Ketiga, dan dia tidak suka lagi kembali dalam kekafiran setelah Allah swt mencabutkan dirinya daripadanya, sebagaimana bencinya akan dilemparkan ke dalam api yang menyala.
Orang yang beriman, akan memupuk cintanya. Karena iman itulah yang dipandangnya sebagai kekayaan meskipun dia miskin. Dan dia berdaulat atas diri dan hatinya, meski dia tidak memiliki pangkat serta jabatan. Malu rasanya mengakui bahwa sesungguhnya manisnya iman itu hanya sebuah cerita, karena belum pernah dirasa. Karena belum ada bukti antara yang kita ucapkan dan dikerjakan. Sebab, sesungguhnya iman itu adalah aktualisasi cinta. Dan ternyata sesungguhnya iman seperti inilah yang belum dipunyai umat manusia saat ini.
Kisah yang spektakuler juga pernah dialami oleh Nabi Ibrahim as dan putranya Ismail as. Allah swt menguji kecintaan Ibrahim kepadaNya melalui perintah untuk menyembelih Ismail, putra satu satunya dan buah hati yang dimiliki oleh Ibrahim as. Ketika itu dengan bijaknya dan seolah memantapkan hati Ibrahim, sang anak Ismail mengatakan bahwa dirinya siap bila Allah swt. Ini semua merupakan ujian untuk membuktikan apakah Ibrahim benar benar cinta kepada Sang Khalik, sementara ketika itu dirinya masih dikaruniai seorang anak yang begitu ia cintai pula. Namun, dengan iman yang dilandasi rasa kecintaan yang begitu kuat, Ibrahim melaksanakan perintah Allah swt. Ketika prosesi penyembelihan Ismail akan dimulai, Allah swt mengganti Ismail dengan seeekor kibas (sejenis domba), maka selamatlah Ismail as. Allah swt telah menyaksikan kesabaran dan pembuktian cinta yang mendalam dari seorang Ibrahim as telah membuktikan itu semua. Ini yang menjadi perenungan kita bersama, apakah ada sosok seperti Ibrahim yang sabar dan melakukan apapun demi kecintaannya kepada Allah swt ?.
Semoga Allah swt senantiasa mengkaruniakan sisa-sisa umur kita dengan limpaan keberkahan. Agar halawatul Iman ( manisnya iman) senantiasa dan mampu hadir dalam hati. Semoga Allah swt mencukupkan kita dengan limpahan ilmu, kesabara, serta istiqomah diri untuk senantiasa beramal sholih. Sampai pada titik, bahwa Allah swt dan RasulNya, dicintai daripada apa yang kita miliki. Inilah pembuktian iman yang diaplikasikan dalam wujud cinta paripurna seorang hamba. Semoga ada manfaatnya. Wallahu ‘Alam.
Penulis adalah Alumni Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sumatera Utara dan Alumni Pers Mahasiswa Dinamika UIN SU