
Medan, (Analisa). Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bersama perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tergabung di dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menggelar focus group discussion (FGD) di Hotel Santika Medan, kemarin.
Hadir sebagai narasumber di antaranya Komisioner KPPU, Guntur Syahputra Saragih, Kasi penetapan Hak Tanah dan Pemberdayaan Hak Tanah Masyarakat, kantor wilayah BPN Sumut, Obed Milton Simamora, Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumut, Timbas Prasad Ginting dan Praktisi Hukum, Rahmat Sorialam Harahap. Kegiatan FGD tersebut dipandu Kepala KPD Medan, Ramli Simanjuntak selaku moderator.
Guntur mengatakan, tujuan FGD tersebut untuk membahas PP Nomor 39 Tahun 2014 yakni pengusaha besar dan kecil harus memiliki posisi yang setara dalam bermitra.
"KPPU akan melakukan pengawasan, apakah dalam melakukan kemitraan pelaku usaha besar memiliki atau menguasai usaha menengah atau usaha kecil menjadi mitranya, hal tersebut yang dilarang," tegasnya.
Menurutnya, jika terbukti terjadi pelanggaran, KPPU dapat memberikan surat peringatan hingga memberikan sanksi terberat denda Rp10 miliar atau direkomendasikan untuk ditutup izin usaha perusahaan yang digunakan. "KPPU tidak ingin ada usaha kecil dikuasai atau dikendalikan pengusaha besar sehingga pengusaha kecil mati atau tidak berkembang," ujarnya.
Lebih lanjut, Obed mengungkapkan, Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, mewajibkan setiap perusahaan perkebunan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan, seperti diatur dalam Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60.
Namun, di lapangan pengaturan tersebut masih menimbulkan beberapa kendala dan permasalahan dalam implementasinya karena masih adanya ketidakpastian hukum, kerancuan dan multitafsir bagi para perusahaan, Gubernur dan bupati/walikota serta pemangku kepentingan lainnya.
"Kondisi tersebut disebabkan, antara lain, pengaturan dalam regulasi dan/kebijakan yang satu dengan lainnya masih inkonsisten, mekanisme pelaksanaannya belum diatur secara jelas dan tegas, dan perhitungan 20 persen masih belum jelas sehingga belum terdapat kesatuan pengaturan dan penafsiran yakni apakah perhitungannya berdasarkan dari luasan areal berdasarkan IUP atau HGU atau areal tertanam," ungkapnya.
Sementara Timbas menyampaikan, masih banyaknya kendala di lapangan dalam penerapan pola kemitraan dengan masyarakat, salah satunya terkait areal kebun yang berada di wilayah hutan, sehingga tidak ada masyarakat yang dapat diajak bermitra. Persoalan yang lain adalah masih banyaknya pelaku usaha di sektor perkebunan sawit yang belum memahami tugas dan fungsi KPPU dalam mengawasi kemitraan.
Lebih lanjut, Rahmat Sorialam menambahkan pentingnya perjanjian kemitraan antara pelaku usaha besar dengan pelaku UMKM bertujuan untuk memberikan jaminan kesetaraan hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam berusaha. Hal ini penting, agar dalam menjalankan usahanya, pelaku usaha besar dapat turut membina dan mengembangkan usaha pelaku UMKM, serta memperoleh jaminan barang atau produk yang berkualitas.
"Di sisi lain, adanya perjanjian kemitraan ini, dapat menumbuhkembangkan pelaku umkm menjadi lebih besar dari sebelumnya dan memberikan kepastian usaha, pemasaran, permodalan, dan sebagainya," tambahnya. (ik)