Stop Budaya Corat-coret Baju

stop-budaya-corat-coret-baju

Oleh: Kurnia Paris Nainggolan, S.Pd

UJIAN Nasional Berbasis Kom­puter (UNBK) bagi SMK di kota Medan, Sumatera Utara telah dilaksanakan pada 26 – 29 Maret 2019. Setelah selesai ujian, biasa­nya banyak siswa yang ingin melakukan aksi corat – coret baju sekolahnya sebagai pertanda perayaan berakhir­nya masa belajar mereka di sekolah. Entah darimana awal mulanya kegiatan ini, tidak tahu pasti. Namun, sepertinya ini sudah menjadi kebudayaan yang sudah cukup lama melekat dan sangat sulit untuk dilepaskan dari tahun ke tahun.

Jika ditanya alasannya, maka ma­yoritas siswa menjawab untuk mele­pas masa abu – abu mereka selama 3 tahun ini. Melepasnya adalah dengan cara mengeskpre­sikannya melalui corat-coret baju satu sama lain dengan berbagai kode, seperti tanda tangan teman - teman­nya, nama – nama saha­bat, dan jenis kode coretan lain­nya yang tujuan utamanya adalah untuk menyenangkan hati mereka.

Menurut saya hal tersebut sa­ngatlah tidak tepat, karena status siswa tersebut masih selesai Ujian Nasional (UN) dan belum tamat sama sekali. Mereka masih akan diperha­dapkan dengan Ujian Kompetensi Keahlian (UKK) dan setelah itu masih menunggu waktu untuk menunggu pengumuman kelulusan UN. Jadi sama sekali belum lepas dari status sebagai siswa. Tidak masalah jika nantinya yang melakukan coret – coret baju tersebut lulus, namun yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana kalau siswa tersebut tidak lulus ? maka hal yang pasti muncul adalah rasa malu dan celaan dari guru dan juga masyarakat.

Tidak Sebatas Coret-coret Baju Dikutip dari Kompas.com 25/03/2019, Kepala Dinas Pendidikan Sumut, Arsyad Lubis menyatakan total jumlah peserta UN SMK 2019 di Sumut sebanyak 90.226 siswa yang berasal dari 965 sekolah. Jumlah SMK yang mengikuti UNBK seba­nyak 940 sekolah terdiri dari 249 SMK Negeri dan 691 SMK Swasta. Sekolah yang tidak menggelar UNBK di Sumut sebanyak 25 sekolah terdiri dari 15 SMK Negeri dan 10 SMK Swasta. Ada juga sekolah yang tidak dapat melaksanakan Ujian Nasional Berbasis Komputer karena sama sekali belum terjangkau internet. Misalnya sekolah di daerah Nias.

Setelah usai UNBK 29 Maret 2019 lalu, para pelajar di kota Medan beramai – ramai pergi ke tanah lapang Merdeka untuk melakukan aksi corat-coret baju. Lapangan ini ternyata sudah menjadi tempat bagi siswa untuk berkumpul setiap tahunnya untuk melakukan aksi tersebut. Data dari Tribun Medan 28/03/2019, ratu­san pelajar SMA konvoi dan coret – coret seragam sekolahnya di La­pangan Merdeka. Mereka datang dari berbagai sekolah dengan berkon­voi mengendarai sepeda motor lalu memenuhi lapangan merdeka yang menyebabkan arus lalu lintas macet.

Polisi Satuan Sabara Polrestabes Medan membubarkan konvoi pelajar SMK yang memadati tanah Lapangan Merdeka pukul 18.00 Wib. Yang men­jadi masalahnya adalah pelajar melakukan konvoi dengan motor, tanpa melengkapi surat – surat ber­kendara, tidak menggunakan helm bah­kan sampai bonceng tiga. Tin­da­kan ini sudah jelas – jelas meng­gang­gu ketertiban umum dan perilaku yang tidak layak ditiru dan dibu­da­yakan. Perlu kebijakan agar me­ngusut tuntas sikap ini perlahan – lahan agar tidak terulang lagi.

Seandainya budaya ini tidak segera dihentikan, mau sampai kapan masyarakat kota Medan setiap selesai UN akan menikmati kemacetan akibat ulah siswa tersebut ? mau sampai kapan kita melihat tindakan siswa yang tidak edukatif yang berani de­ngan bangganya mencoret – coret seragam sekolahnya namun belum ada kepastian kelulusan ? Ini tidak boleh dibiarkan lagi.

Bagaimanapun coret mencoret baju adalah bukan satu – satunya cara untuk mengeskpresikan kegembiraan kita kalau sudah selesai Ujian Nasional. Masih banyak hal lain yang dapat dilaku­kan yang lebih mem­berikan manfaat. Pertama, guru harus mengeluarkan peraturan yang tegas kepada siswa agar tidak melakukan corat-coret baju. Pera­turan tersebut diberikan dengan sanksi yang tegas. Misalnya bagi siswa yang corat-coret baju tidak akan diperke­nankan me­ngikuti Ujian Kompe­tensi Keah­lian (UKK) dan bahkan tidak akan memberikan ijazah bagi siswa yang melanggar peraturan tersebut.

Kedua, guru mengarahkan ketua OSIS agar bekerja sama dengan kelas 3 yang telah selesai melak­sanakan Ujian Nasional untuk membuat pe­nyumbangan baju secara sukarela kepada yang membutuhkan. Baju ter­sebut alangkah lebih baiknya diberi­kan kepada adik – adiknya yang se­dang sekolah di jenjang pendidikan yang sama atau memberikan baju tersebut kepada orang yang mem­butuhkan yang tinggal di panti asu­han. Selain menebar kebaikan, maka tindakan terpuji ini akan menjadi tela­dan bagi generasi – generasi selan­jutnya.

Ketiga, memanfaatkan waktu per­siapan SBMPTN. Daripada coret – mencoret baju, siswa yang beren­cana ingin kuliah lebih baik mem­persiapkan diri mengikuti SBMPTN. Setelah UN berlang­sung, aktivitas kegiatan belajar mengajar di sekolah tidak ada lagi. Siswa bisa meman­faat­kan waktu selama kurang lebih satu bulan untuk memper­siapkan diri menuju SBMPTN. Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) memang masih sebulan lagi. Meski begitu, kita tidak bisa menunda-nunda untuk belajar hingga detik-detik seleksi masuk PTN itu dimulai.

Budaya corat – coret baju setelah melaksanakan Ujian Nasional harus segera dihentikan. Tindakan ini ba­nyak menimbulkan keresahan ma­syarakat dan kurang edukatif bagi seorang pelajar. Alangkah baiknya, pola budaya yang seperti itu diting­galkan dan mulai membudayakan tindakan yang edukatif yang mem­berikan manfaat bagi masyarakat. Semoga bermanfaat.***

Penulis adalah tenaga pendidik di SMK Teladan Sumut I Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi