
Oleh: Nasib TS.
Banyak nikmat yang Allah SWT berikan kepada hambaNya. Di antara nikmat tersebut antara lain nikmat harta, nikmat kesehatan, nikmat kesempatan, nikmat iman dan nikmat-nikmat lainnya. Semua nikmat itu dapat kita rasakan dan sudah seharusnya menerbitkan rasa syukur.
Setiap orang merasakan nikmat dengan kadar yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemampuan mereka dalam bersyukur. Karena itulah Allah SWT meminta hambaNya agar senantiasa rajin bersyukur, niscaya nikmat akan ditambah. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7).
Perbedaan pengalaman orang merasakan nikmat Allah SWT tergantung kadar syukur, merupakan fakta kehidupan yang dapat kita renungkan. Perbedaan merasakan nikmat, bukan tergantung besarnya rezeki harta, kesehatan, kesempatan dan lain-lain.
Ada kalanya orang berpenghasilan Rp 15 juta per bulan, belum tentu dapat merasakan nikmat harta seperti yang dirasakan pekerja dengan gaji Rp 1,5 juta per bulan. Demikian pula sesama pengusaha atau sesama pekerja yang berpenghasilan sama, akan berbeda pengalaman merasakan nikmat rezeki mereka.
Bila tidak mengetahui cara bersyukur, memperoleh rezeki banyak pun masih menderita karena selalu merasa kurang. Hal ini terjadi karena keinginan orang berpenghasilan lebih cenderung besar. Bila keinginan melebihi kemampuan penghasilan, mereka akan merasa kekuarangan, tingkat kepuasan rendah, hidup gelisah dan dikuasai hawa nafsu. Apalagi bila harta yang diperoleh bersumber dari usaha yang tidak berkah. Mereka niscaya tidak bahagia dengan hartanya karena terus didera rasa gelisah.
Sebaliknya, kadang kita merasa heran, seseorang dengan penghasilan pas-pasan, air mukanya masih bisa memancarkan kebahagiaan. Bahkan masih bisa menyisihkan sebagian hartanya untuk bersedekah. Kadang-kadang kita tidak habis pikir, orang ingin menenangkan pikiran harus pergi berekreasi dengan biaya yang sangat mahal dengan melakukan perjalanan jauh hingga ke luar negeri. Sementara dalam kasus berbeda, orang merasa cukup gembira dengan cara bersilaturahmi dengan kawan lama. Gratis pula.
Demikian pula dengan nikmat kesempatan dan kesehatan. Seorang kolektor belasan mobil mewah, hanya bisa menikmati waktu 10 menit dalam seminggu untuk bisa mengendarai mobil kebanggaannya. Sisa waktu lainnya, tersita untuk pekerjaan dan pertemuan bisnis dengan relasi. Kesempatan 10 menit tentu tidak sebanding dengan belasan mobil mewah yang dikumpulkan, baginya kesempatan naik mobilnya itu sungguh luar biasa.
Demikian halnya nikmat kesehatan. Tubuh yang sehat membuat kita bebas melakukan aktivitas dan menghirup udara segar secara gratis. Dalam kondisi sakit, tabung oksigen di rumah sakit tentu tidak gratis. Bila kita konversi dengan harga tabung oksigen di rumah sakit, hitunglah berapa nikmat selama kita hidup sehat menghirup udara segar.
Allah SWT berfirman, “Maka nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang engkau dustakan?” (QS Ar-Rahmaan-13)
Mensyukuri Iman
Nikmat sungguh ajaib. Berkah yang luar biasa. Merenungkan nikmat Allah SWT, tak heran bila kemudian banyak orang mengekspresikan rasa syukur atas nikmat yang mereka terima. Ekspresi rasa syukur itu pun berbeda setiap orang tergantung pengetahuan iman individu dan persepsi yang mereka miliki. Di tengah masyarakat, kita melihat ekspresi bersyukur mewujud dalam berbagai bentuk, dari mulai mengundang anak yatim, bersedekah pada kaum duafa, bahkan aktivitas yang identik dengan pesta.
Bagaimana Islam mengatur tata cara mengekspresikan rasa syukur merupakan bahasan tersendiri. Namun dalam konteks mensyukuri nikmat, kadang kala kita lalai dalam satu hal: mensyukuri nikmat iman.
Sebenarnya banyak nikmat-nikmat iman lainnya yang pantas kita syukuri. Faktanya, tak banyak yang bisa merasakan bahwa iman adalah sebuah nikmat besar yang menyelamatkan kita dari musibah besar: api neraka abadi.
Dalam kehidupan sosial, kita pernah menerima undangan selamatan atau syukuran orang terhindar dari musibah. Mendapatkan jabatan baru, naik pangkat dan lulus sarjana, juga mengadakan syukuran. Semua itu memang nikmat yang pantas disyukuri. Namun jarang orang merasakan nikmat luar biasa bila terhindar dari perbuatan korupsi, terhindar dari lalai shalat, terhindar dari jebakan perbuatan jahat dan perbuatan maksiat lainnya. Semua itu bagi sebagian orang hanya dirasakan sebagai nikmat biasa-biasa saja. Padahal nikmat iman itulah yang akan menyelamatkan kita dari maha musibah neraka jahanam.
Ironisnya, malah kebalikannya, tak jarang kita menyaksikan perayaan syukur atas rezeki dan jabatan yang cara mendapatkannya diragukan menggunakan jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT. Celakanya lagi, ada sebagian yang lain, menyesali kemalangan karena tidak mendapatkan harta atau jabatan seperti yang lain meskipun diperoleh dengan cara-cara tidak benar.
Golongan orang seperti ini, sama sekali tidak dapat merasakan nikmat iman. Mereka tidak mampu bersyukur karena terhindar dari harta dan jabatan maksiat. Padahal terhindar dari kemaksiatan sebuah keberuntungan besar yang tak sebanding dengan keberuntungan apa pun di dunia, apalagi didapat dengan cara jahat. Selalulah bersyukur untuk nikmat iman sehingga kita merasa beruntung sebenar-benarnya beruntung.
*Penulis jurnalis dan peminat masalah sosial budaya.