Melahirkan Generasi Beradab

melahirkan-generasi-beradab

Oleh: Al-Mahfud.

Kita bersama tahu bahwa gene­rasi muda adalah wajah masa depan bangsa. Apa-apa yang terlihat dari generasi muda saat ini sedikit banyak menggambarkan kondisi bangsa ini ke depan. Namun, kabar-kabar yang datang dari kalangan gene­rasi muda kita hari ini mengkhawatirkan. Terle­bih, kabar terse­but datang dari lingku­ngan sekolah: dari dunia pendidikan.

Kita masih ingat di awal tahun lalu bagaimana dunia pendi­dikan dibuat ter­pukul oleh kabar hilangnya nyawa se­orang guru di Sampang Madura ka­rena dianiaya muridnya sendiri. Sa­yangnya, kasus serupa terus berlan­jut. Di awal tahun ini kita mendengar berbagai kabar kasus perundungan guru oleh murid.

Pada 2 Februari 2019, sebuah vi­deo viral menunjukkan seorang sis­wa menantang dan menarik kerah baju guru di sebuah SMP di Gresik Jawa Timur. Menurut berbagai sum­ber, siswa tersebut melakukannya ka­rena tak terima saat ditegur karena mem­bolos. Beberapa hari kemudian, pada 9 Februari 2019, muncul kabar se­orang tenaga honorer di sebuah SMP di Talakar Sulawesi Selatan di­keroyok beberapa siswa.

Kabar-kabar tersebut rasanya lebih dari cukup menggam­barkan kondisi sebagian generasi muda sekarang yang meng­khawatirkan. Sikap me­nen­tang, melawan, dan bahkan me­nye­­rang guru jelas menunjukkan mi­nimnya adab, etika, dan sopan santun. Terlebih, sikap tersebut justru ditun­juk­­kan ketika guru menegur atau meng­ingatkan siswa yang telah mela­kukan kesa­lahan. Alih-alih menyadari kesalahan dan meminta maaf, siswa malah melawan dan menyerang.

Selain menggambarkan tiadanya adab dan sopan santun, perilaku agre­sif dengan menendang, menarik kerah baju guru, hingga menyerang de­ngan pukulan, jelas menggam­bar­kan peri­laku kekerasan yang menjangkiti ge­nerasi. "Mental kekerasan" ini tentu bu­kan mental yang positif untuk hi­dup di tengah kemajemukan dan ke­be­ragaman masyarakat seperti di In­donesia.

Pengasuhan damai (peaceful parenting)

Di tengah tantangan era digital de­ngan maraknya konten ne­ga­tif seperti hoaks dan ujaran kebencian, kabar-kabar keke­rasan yang dilakukan siswa membuat persoalan ini kian kom­­­pleks. Era internet membuat anak mu­dah mengakses berbagai konten atau aplikasi di dunia maya yang tak jarang berisi kekerasan, pertikaian, dan budaya-budaya yang tak sesuai jati diri bangsa kita. Jika dibiarkan, bu­kan tak mungkin hal-hal ter­sebut ber­pengaruh terhadap emosi dan pem­bentukan karakter anak.

Dibutuhkan kesadaran semua pi­hak untuk bergerak mena­namkan adab, etika, dan sopan santun pada anak. Semua nilai tersebut mesti di­ta­namkan dalam diri anak sehingga men­jadi karakter. Mendiknas (2010) men­definisikan pendidikan ka­rakter sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pen­didikan moral, dan pendidikan watak yang bertujuan mengem­bangkan kemampuan peserta didik memberi keputusan baik-buruk, memelihara yang baik dan mewujud­kan­nya dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

Terkait pendidikan karakter, pe­nga­suh­an non-hukuman atau peaceful parenting menjadi relevan diterapkan. Jika pola pengasuhan tra­di­sional cenderung menganggap hu­ku­man, an­caman, atau imbalan se­ba­gai cara terbaik untuk mengubah peri­laku anak, maka peaceful paren­ting lebih menitikberatkan pada bagai­ma­na membangun hubungan yang baik dengan anak, dengan didasari rasa saling percaya dan penghormatan (trust and mutual respect) demi se­ma­ngat kebersamaan yang sehat da­lam keluarga.

Rully Subawing Cahyati dalam tu­li­sannya Damai Sejak dari Rumah (MI, 25/2/2019) memberi gambaran me­narik tentang bagaimana mena­nam­kan nilai-nilai kedamaian dalam ke­luarga. Dalam pengasuhan non-hukuman, jelasnya, yang dikembang­kan ialah nilai kerja sama, integritas, dan kemampuan pengen­dalian diri secara mandiri. Ini berbeda dengan pola pengasuhan menggunakan huku­m­an yang cenderung menumbuhkan rasa takut demi kepatuhan.

Rully menjelaskan, Genevieve dan Dan Simperingham pendiri Peaceful Parent Institute New Zealand, menje­las­kan peaceful parenting dapat dila­kukan orangtua dengan me­nimbang be­berapa keadaan berikut: mem­ba­ngun kedekatan melalui pemenuhan ke­butuhan anak (kehangatan demi rasa aman anak), mendengar secara aktif, memahami dunia anak, menge­lola ekspresi emosional, menyam­pai­kan batasan, aturan, dan harapan de­ngan cara yang baik, memahami ke­ren­tanan anak terhadap stres dan trau­ma, dan memahami dan membuat ca­tatan perilaku, perasaan, dan ke­bu­tuhan anak.

Di tengah maraknya perilaku agresi atau kekerasan oleh remaja, men­jadi penting bagi orangtua mem­beri penga­suhan dengan pendekatan per­damaian sejak dini. Di samping me­menuhi ke­bu­tuhan psikologis anak, penga­su­han non-hukuman juga akan mem­ba­ngun mental damai sejak dini. Anak akan mampu mengen­da­likan dan me­ngelola emosinya de­ngan baik, se­hing­ga tumbuh dan ber­kem­bang dengan ke­cerdasan emosi yang tinggi.

Di Denmark, negara yang puluhan tahun menjadi negara paling bahagia di dunia menurut World Happiness Report, anak-anak diasuh dengan pola pengasuhan yang berorientasi pada kematangan emosi dengan cara mendidik kejujuran emosi, me­ma­nam­kan empati, dan pola pengasuhan yang demokratis tanpa ancaman atau ultimatum (Jessica Joelle & Iben Dissing: 2018). Anak-anak di Den­mark mentaati aturan orangtua karena ke­sadaran dan penghormatan, bukan karena ancaman, rasa takut, atau menghindari hukuman.

Kecerdasan dan kematangan emo­si membuat anak memiliki rasa em­pati dan penghargaan yang baik ter­ha­dap orang lain, sehingga tak mudah me­­lakukan agresi berupa kekerasan. De­ngan pengasuhan damai atau non-hu­kuman, nilai-nilai so­pan santun, hor­mat-menghormati, toleransi, kerja sama dan tolong-menolong, bisa ditumbuhkan orangtua pada anak dalam atmosfer keluarga yang dida­sari kasih sayang dan saling meng­har­gai. Dari sini, benih-benih karakter ge­nerasi muda yang beradab mesti ditanamkan dan dibangun.

Sudah menjadi kewajiban kita semua mendidik generasi muda agar menjadi generasi yang tak sekadar cerdas dan mam­pu bersaing, namun juga memiliki adab, etika, sopan santun, dan memegang teguh peng­har­gaan pada sesama. Sebab, ini akan menjadi investasi dan modal berharga di masa depan demi terus tegaknya ba­ngunan bangsa majemuk seperti Indonesia.***

*Penulis, bergiat di Paradigma Institute.

()

Baca Juga

Rekomendasi