
KEPUNAHAN dalam biologi berarti hilangnya keberadaan dari sebuah spesies atau sekelompok takson. Waktu kepunahan sebuah spesies ditandai dengan matinya individu terakhir spesies tersebut, walaupun kemampuan untuk berkembang biak tidak ada lagi sebelumnya.
Sejak bermulanya kehidupan di Bumi, telah terjadi beberapa kepunahan massal yang melebihi laju kepunahan latar. Peristiwa kepunahan yang terbaru, peristiwa kepunahan Kapur-Tersier, terjadi 65 juta tahun yang lalu
Peristiwa ini menarik perhatian karena peristiwa ini menandakan kepunahan hampir semua spesies dinosaurus, yang pada periode tersebut merupakan hewan paling dominan. Pada 540 juta tahun terakhir, telah terdapat lima peristiwa kepunahan besar yang memunahkan lebih 50% spesies.
Perkiraan jumlah kepunahan massal pada 540 juta tahun terakhir ini berkisar antara lima sampai dua puluh. Perbedaan ini berasal dari perbedaan batasan-batasan yang digunakan untuk merujuk pada suatu kejadian kepunahan sebagai "besar" atau "utama" dan perbedaan pada data yang digunakan untuk mengukur keanekaragaman.
Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti telah mengingatkan kita akan kepunahan beberapa makhluk Bumi. Dan saat ini, jumlah serangga di seluruh dunia menurun drastis, sehingga meningkatkan kekhawatiran akan ‘bencana kejatuhan’ ekosistem alami.
Suatu peninjauan pada 73 studi mengenai penurunan populasi serangga dunia, menemukan fakta bahwa 40% spesies mereka terancam punah. Sebagai perbandingan, laju kepunahannya delapan kali lebih cepat dibanding yang terjadi pada vertebrata seperti mamalia, burung, dan reptil.
“Hasil studi kami mengungkap penurunan yang dramatis. Itu dapat menyebabkan kepunahan 40% spesies serangga dunia dalam beberapa dekade mendatang,” tulis para peneliti.
Menurut mereka, penyebab utama dari penurunan populasi serangga dalam jumlah besar ini adalah rusaknya habitat akibat perluasan lahan pertanian dan penggunaan pestisida yang berlebihan. Saat lahan pertanian berkembang secara agresif, habitat serangga semakin lenyap.
Rantai makanan
Ladang-ladang kosong menggantikan area vegetasi. Selain itu, faktor pendukung punahnya serangga juga melibatkan urbanisasi, perubahan iklim, polusi, dan peningkatkan spesies invasif yang memangsa hewan tersebut.
Ketika berbicara tentang perubahan iklim, peneliti mengatakan, suhu yang menghangat di beberapa wilayah, menjadi pukulan keras bagi serangga di daerah tropis.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kupu-kupu dan ngengat merupakan jenis serangga yang paling terpengaruh. Sementara spesies lain yang mengonsumsi mereka, seperti burung, reptil, amfibi, dan ikan, juga akan terkena dampaknya.
Diketahui bahwa serangga memainkan peran penting dalam rantai makanan, juga bermanfaat dalam proses polinasi dan daur ulang nutrisi di lingkungan. Jika mereka punah, maka semua spesies yang bergantung kepadanya juga bisa lenyap.
“Ini menjadi masalah besar karena serangga merupakan jantung dari setiap rantai makanan. Mereka menyerbuki tanaman, menjaga tanah tetap sehat, mendaur ulang nutrisi, mengendalikan hama, dan banyak lagi. Manusia tidak akan bisa bertahan hidup tanpa serangga,” papar Dave Goulson, ahli biologi dan konservasi dari University od Sussex yang tidak terlibat dalam penelitian.
Faktanya, situasi yang mengkhawatirkan ini merupakan bagian dari apa yang para ilmuwan sebut sebagai kepunahan massal modern: yakni penurunan populasi spesies dalam jumlah besar yang memengaruhi hewan dan tumbuhan.
Ukurannya meningkat lima kali lipat dalam empat miliar tahun terakhir.
Kepunahan massal sebelumnya terjadi akibat zaman es dan letusan gunung berapi. Sementara yang terjadi sekarang lebih disebabkan aktivitas manusia. Dan serangga adalah korban pertamanya.
Jika terus dibiarkan, maka masa depan planet Bumi akan sangat suram. Para peneliti menyerukan perubahan besar pada praktik pertanian sebelum terlambat dan sebelum serangga benar-benar lenyap. (wkp/ngi/sac/es)