Tanah Terlantar

tanah-terlantar

Oleh: Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Pada 22 Januari 2010, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Dan Penda­ya­gunaan Tanah Terlantar (PP 11 / 2010), sebagai pengganti dari Peratu­ran Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 tentang Pe­nertiban Dan Pendaya­gunaan Tanah Terlantar. Kemudian sesuai dengan perintah Pasal 14 PP 11 / 2010 ke­tentuan lebih lanjut mengenai tatacara penertiban tanah ter­lantar tersebut diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indo­nesia Nomor 4 Tahun 2010 ten­tang Tatacara Penertiban Tanah Terlantar (PKBPN 4 / 2010).

Menurut PKBPN 4 / 2010, yang dimaksud dengan tanah terlantar ada­lah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Ba­ngu­nan, Hak Pakai, dan Hak Penge­lolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak diman­faatkansesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pem­berian hak atau dasar penguasaannya.

Selanjutnya menurut PP 11 / 2010 ditentukan bahwa apabila tanah yang bersangkutan sudah ditetapkan sebagai tanah terlantar maka hak atas tanah yang bersangkutan dinyatakan hapus, lalu tanah yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang bersangkutan dinyatakan putus.

Secara normatif, hapusnya hak atas tanah dan putusnya hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanah­nya serta beralihnya hak atas tanah kepada pihak lain karena tanahnya terlantar atau ditelantarkan, dibenar­kan dan sah menurut hukum di Indonesia. Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pera­turan Dasar Pokok-Pokok Agra­ria atau dapat disebut juga dengan Un­dang-Undang Pokok Agraria (UU­PA) mengatur hal itu, akan tetapi UUPA tidak mengatur atau tidak menentukan berapa lama jangka waktu tanah tidak diusahakan, tidak diper­gunakan, atau tidak diman­faat­kan sehingga dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar atau ditelantarkan.

Di Indonesia, saat ini ada beraneka ragam (pluralisme) hukum dalam menentukan jangka waktu berapa lama tanah tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak diman­faat­kan sehingga dapat ditetapkan seba­gaitanah terlantar atau ditelantarkan.

PP 11 / 2010 menentukan jangka waktu 3 (tiga) tahun untuk mene­tapkan tanahterlantar atau ditelan­tarkan. Menurut PP 11/2010, pelak­sanaan iden­­tifikasi dan penelitian terhadap tanah yang terindikasi terlantar dila­kukan terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin / keputusan / surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang.

Kemudian apabila berdasarkan ha­sil identifikasi dan penelitian disim­pulkan terdapat tanah terlantar, maka diberikan peringatan pertama secara tertulis kepada Pemegang Hak, dalam jangka waktu 1 (satu) bulan. Jika Pemegang Hak tidak melak­sanakan peringatan pertama, maka diberikan peringatan kedua dengan jangka waktu 1 (satu) bulan.

Kemudian apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan ke­dua, maka akan diberikan peri­ngatan ketiga dengan jangka waktu 1 (satu) bulan dan selanjutnya apabila Peme­gang Hak tetap tidak melak­sanakan peringatan ketiga, maka tanah yang bersangkutan akan ditetapkan men­jadi tanah terlantar.

Pasal 32 ayat 2 Peraturan Peme­rintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997) menentukan jangka waktu 5 (lima) tahun untuk menetapkan tanah ter­lantar atau ditelantarkan.Menurut Pasal 32 ayat 2 PP 24 / 1997, dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata mengua­sainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya ser­tipikat itu telah tidak mengajukan ke­be­ratan secara tertulis kepada pe­me­gang ser­tipikat dan Kepala Kantor Pertana­han yang bersang­kutan atau­pun tidak menga­jukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan ta­nah atau pe­nerbitan sertipikat tersebut.

Pasal 24 ayat 2 PP 24/1997, menen­tukan jangka waktu 20 (dua puluh) tahun untuk menetapkan tanah terlan­tar atau ditelantarkan.Menurut Pasal 24 ayat 2 PP 24/1997 dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian untuk permoho­nan sertipikat hak atas tanah, maka alat-alat pembuktian dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemo­hon sertipikat hak atas tanah dengan syarat penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya dan penguasaan tersebut tidak diper­masalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang ber­sang­kutan ataupun pihak lainnya.

Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet­boek),menentukan jangka waktu 20 (dua puluh) dan 30 (tiga puluh)tahun untuk menetapkan tanah terlantar atau ditelantarkan.Menurut Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Per­data (Burgerlijk Wetboek)siapa yang dengan itikad baik, dan berda­sarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak (tanah), mem­peroleh hak milik atasnya, dengan jalan daluwar­sa, dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun.

Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk memper­tunjukkan alas haknya.

Putusan Mahkamah Agung Repu­blik Indonesia, tanggal 10 Januari 1957, Nomor 210/K/Sip/1955,me­nen­tukan jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun untuk menetapkan tanah terlantar atau ditelantarkan. Menu­rutPutusan Mah­amah Agung Repu­blik Indonesia, tanggal 10 Januari 1957, Nomor 210/K/Sip/1955 guga­tan dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karena para Penggugat dengan mendiamkan (menelantar­kan) sa­wah­nya sampai 25 tahun, harus di­anggap menghi­langkan haknya (rechtsverwerking).

Penentuan jangka waktu 3 (tiga) tahun untuk menetapkan tanah terlantar atau ditelantarkan sebagai­mana diatur dalam PP 11 / 2010 ter­sebut di atas kelihatannya perlu dikaji ulang, karena masih terlalu dini.***

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister Kenotariatan USU – Medan)

()

Baca Juga

Rekomendasi