Dari Pelukis, Pengukir Sampai Sinshe

dari-pelukis-pengukir-sampai-sinshe

KARIR Xu Qingzai sebagai pelukis, tak selamanya berjalan mulus. Sama seperti orang lain yang memilih jalan hidup sebagai seniman. Ada satu periode ia harus melakukan kompromi untuk mendahulukan kepentingan keluarga. Dan  itu tak ada hubungannya dengan seni lukis.

Antara 1950 - 1960 saat masih tinggal di Bagan Siapi-api, ia  memang total menekuni dunia seni lukis. Sebuah dunia yang bisa dibilang merupakan panggilan jiwanya. Selain jadi guru seni lukis di sebuah SMP Tionghoa, ia juga melukis untuk  grup seni pertunjukan tradisional Tiongkok,  Opera Tio Ciu Pan.

Pentas opera tradisional Tiongkok itu biasanya meng­gunakan layar sebagai latar belakang pemen­tasan. Di sanalah Xu Qingzai berperan melukis layar untuk menggambarkan setting cerita yang dibawakan. Pada 1960, grup Opera Tio Ciu Pan itu hendak melakukan pertun­jukkan di Medan. Xu Qingzai ikut dalam rombongan itu.

Namun sesampai di Medan, pentas opera dibatalkan. Fragmentasi politik di kalangan masyarakat Tionghoa, memaksa pimpinan rombongan membatalkan pertunjukkan. Ia lalu memilih tinggal di Medan. Sempat mengembangkan karirnya sebagai pelukis, tapi pada 1970-an setelah berkeluarga, ia justru lebih menekuni kemampuannya yang lain, sebagai ahli pengobatan tradisional Tiongkok. Di Bagan Siapi-api, Xu Chang Yi, ayahnya, ternyata juga berpraktik sebagai  seorang sinshe.

Untuk memperdalam ilmunya, pada 1986, ia belajar ilmu pengobatan ke Xianmen, Tiongkok, selama 2 tahun. Xiamen merupakan kota kelahiran kakek dan leluhurnya. Di sana ia memelajari lima jenis pengobatan tradisional sekali­gus. Antara lain tentang tulang, ortopedi dan akupuntur. Berbagai literatur ilmu pengobatan tradisional Tiongkok menurut­nya banyak  ditulis dalam aksara Mandarin. "Seorang sinshe sebaiknya bisa membaca aksara Mandarin, untuk menam­bah ilmunya," katanya.

Di Medan ia juga membuka praktik sinshe. Tempatnya di Jalan Asia yang sekaligus jadi tempat tinggalnya. Tahun 1970 sampai 1990-an pengobatan tradisio­nal Tiongkok di Medan masih berjaya. Ia juga membuka liang teh. Ini teh  ramuan dari berbagai tumbuhan Tiongkok yang berkhasiat untuk mengobati  panas dalam, radang tenggorokan dll.

Pengobatan Gratis

Sebagai sinshe, ia dikenal bertangan dingin. Ia juga aktif terlibat dalam kegiatan kemanusiaan pengobatan bersama Vihara Maitreya Jalan Gandhi. Selain mengajar dasar-dasar bahasa Mandarin. Bersama pengurus vihara ia kerap melakukan pengobatan gratis untuk warga miskin di luar Kota Medan. Misalnya Tanjung­balai Karimun, Panipahan, Ledong, Sei Berombang, Dumai, Dupat, Duri, dsb.

Meski berprofesi sebagai sinshe, ia juga sebenarnya tak meninggalkan seni lukis sama sekali. Di kalangan masyarakat Tionghoa Medan, ia juga dikenal sebagai pelukis tek poh dan sin cu paiTek poh (kain duka) adalah kain berisi kaligrafi ungkapan duka cita yang biasa diletakkan di depan papan  jenazah. Ukurannya sekitar 1 x 1,5 meter. Ada juga yang di­gan­tung di rumah dekat tempat perabuan leluhur.

Sedang sin cu pai (papan peringatan) adalah kaligrafi yang diukir pada papan kayu, biasanya dari kayu mahoni yang digantung di tempat perabuan di rumah. Namun ada juga sin cu pau yang menggu­nakan kertas merah.

Xu Qingzai juga menerima les melukis dan kaligrafi secara privat. Sudah banyak muridnya, beberapa bahkan sudah jadi pelukis terkenal. Pada pameran di Per­guru­an Boddhicitta, mereka ikut ber­partisipasi.

Tahun 1998 selama setahun, ia diun­dang untuk tinggal di Vihara Maitreya Batam. Ia dikontrak untuk melukis seluruh dinding vihara. Lukisan itu berisi kisah klasik tentang 18 anak berbakti. Lukisan itu diukir oleh pengukir lain. Namun ia yang mengecatnya. Di Batam ia juga membuka praktik pengobatan.

Bersama isterinya ia berencana untuk mukim di Batam. Pengurus vihara telah memberi satu rumah untuk tempat tinggal keluarganya. Namun anak-anaknya tak ada yang mau ikut pindah, rencana itu pun batal.

Xu Qingzai mulai serius melukis pada 1997. Sebuah momen bersejarah jadi pemicunya. Pada tahun itu, Pemerintah Inggris menyerahkan  kembali wilayah yang pernah dikontraknya, Hong Kong, kepada Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok. Menandai momen bersejarah itu, diadakan lomba melukis. Pesertanya terbuka untuk umum (lintas warga negara,  lintas negara).

Ia mengirim lukisan tentang sembilan ekor ikan di air dengan bulan di atasnya. Seekor ikan berhasil terbang menggapai bulan. Simbol bahwa satu keburuntungan telah dicapai. Lukisan itu berhasil meraih juara ke-2

Selama puluhan tahun melukis, Xu Qingzai sudah cuku punya banyak murid.  Namun diakui, minat anak muda jadi melukis dan membuat kaligrafi minim. Murid-muridnya umumnya sudah sepuh-sepuh seperti dirinya. Bahkan ada yang sudah mendahuluinya. Di Medan ada beberapa muridnya yang tetap berkarya, misalnya Liong Suk Cen, Basri atau Aseng, dan Tao Yong. Ada juga muridnya yang tergolong unik. Namanya Su Tjen.

Tak seperti murid lainnya, untuk diterima sebagai muridnya, Su Tjen harus menunggu sampai satu tahun. Saat guru dan murid itu bertemu pada pameran di Perguruan Boddhicitta, Su Tjen rupanya masih penasaran dengan sikap gurunya dulu. Sang guru pun akhirnya buka rahasia.

"Itu gara-gara kamu terlalu cantik, saya tak mau saya punya keluarga hancur karena isteri nanti cemburu," ujar Xu Qingzai sembari tertawa lepas. Pada akhirnya memang isteri Xu Qingzai yang membujuk suaminya agar  menerima Su Tjen sebagai muridnya. Soalnya Su Tjen tak hanya gigih, tapi berkali  juga mem­bawa buah tangan untuk isterinya tiap kali datang ke rumah.

"Sudahlah kami terima, kasihan si Su Tjen...," bujuk sang isteri.

Akhh seniman. (J Anto)

()

Baca Juga

Rekomendasi