
Oleh: Alfi Syahri Ramadhan Chan
REMBULAN belum sepenuhnya beranjak dari singgasana malam. Matahari pun masih menunggu giliran menemani siang. Namun aku sudah berdiri di bawah lampu merah persimpangan Makam Pahlawan. Setiap hari, selesai salat Subuh, aku memang sudah berdiri di sini menjajakan beberapa surat kabar harian lokal. Ku dekati satu per satu mobil yang berhenti di belakang garis putih sambil menawarkan koran daganganku. Kalau lampu hijau menyala, aku melangkah balik lagi berdiri di trotoar jalan. Kumanfaatkan lampu hijau ini untuk membaca berita dari koran yang kujual. Kalau masih ada pekerjaan rumah yang belum selesai, biasanya kumanfaatkan waktu lampu hijau ini untuk menyelesaikannya.
“Semangat pagi, Nanta!” suara terdengar dari arah belakang. Aku mengenal baik suara itu. Suara itu adalah suara Pak Arman, polisi yang mengatur arus lalu lintas di persimpangan jalan Juanda ini. Setiap pagi Pak Arman menyapaku dengan kalimat yang sama. Awalnya aku heran kenapa harus ‘semangat pagi’ bukan ‘selamat pagi’. Tapi setelah pak Arman menjelaskan maknanya, aku malah kebiasaan memakai kalimat itu untuk menyapa kawan-kawanku di sekolah.
“Pagi... Pagi.... Pagi.... Luar biasa.”jawabku sambil mengepalkan tangan seperti yang diajarkan Pak Arman.
“Mantap. Sudah banyak yang laku koranmu?” tanya Pak Arman lagi.
“Alhamdulillah Pak. Sudah lima surat kabar yang laku, Pak.” Jawabku dengan mantap dan penuh semangat.
“Wah, bagus tuh. Kalau satu kali lampu merah terjual lima koran, kamu bisa jual dua puluh koran sebelum ke sekolah.” Lanjut Pak Arman sambil menepuk-nepuk bahuku.
Pak Arman memang pandai menyenangkan hatiku. Dia juga yang selalu memberiku semangat untuk tetap sekolah dan menggapai cita-cita. Pak Arman sering menasihatiku bahwa kemiskinan bukan alasan untuk tidak melanjutkan sekolah. Di waktu-waktu tertentu, Pak Arman terkadang berkisah tentang masa kecilnya yang harus bekerja di sawah untuk membantu ibunya sampai jadi polisi berpangkat Inspektur Polisi Satu.
***
“Tukang koran datang, tukang koran datang!” teriak seorang teman sekolahku diikuti oleh teman-teman kelompoknya sambil tertawa. Mereka adalah Danu, Rio dan Radit. Danu sebagai ketua kelompok itu, memang sering mengejekku di sekolah. Kalau Rio dan Radit sekedar ikut-ikut saja. Danu anak orang kaya. Aku tidak tahu pekerjaan orang tuanya. Yang aku tahu, dia selalu diantar jemput naik mobil mewah. Danu selalu membelikan jajanan buat Rio dan Radit. Itu mungkin alasan mereka untuk mendukung apa pun yang dilakukan Danu.
“Mau beli, Danu.” Sahutku sambil menyodorkan sisa koranku yang belum laku.
“Apa? Beli koranmu? Bukan kelasku baca koran bekas debu jalanan. Aku punya ini. Di sini semua berita ada. Gak perlu aku susah-susah bolak-balik kertas bedebu sebesar itu,” balas Danu sambil menunjukkan handphone cerdasnya.
“Oh begitu. Baiklah. Aku ke kelas dulu ya. Sebentar lagi bel upacara.” Sahutku sambil berlalu menebar senyum kepada mereka.
Sebenarnya aku juga ingin punya handphone cerdas seperti Danu. Tapi itu tidak mungkin. Ayah dan ibuku hanya bekerja sebagai tukang sapu di pasar Simpang Limun. Untuk dapat makan sehari-hari saja kami sudah sangat bersyukur. Itulah alasan aku berjualan koran setiap pagi. Awalnya, Ayah dan Ibu melarangku untuk berjualan koran. Mereka memintaku untuk fokus belajar saja. Tapi, aku ingin belajar sambil berusaha untuk bekal sekolahku nanti. Uang hasil jualan koran sebagian kutabung di bank. Aku sangat ingin sekolah yang tinggi agar bisa jadi wartawan. Menurutku wartawan itu asyik. Aku bisa bertemu dengan orang-orang hebat dan pergi ke kota lain atau ke negara lain untuk meliput berita.
Bel upacara berbunyi. Semua siswa berkumpul di lapangan sekolah. Hari ini giliran kelas kami, kelas IV, yang menjadi petugas upacara. Aku mendapat tugas sebagai pembaca janji siswa. Pembina upacaranya adalah Ibu Pasaribu, kepala sekolah kami. Dalam amanatnya, Bu Pasaribu menyampaikan akan ada perlombaan wartawan cilik di kota Medan. Katanya dari sekolah kita akan dikirim satu siswa melalui seleksi terlebih dahulu. Aku sangat senang mendengarnya.
***
“Tukang koran! Ikut kau seleksi wartawan cilik itu,” tanya Danu menghampiriku yang sedang duduk di pojok baca sekolah bersama Ari sahabatku,
“Hei... Danu. Namanya Nanta, bukan tukang koran. Seenakmu saja memanggil orang.” sela Ari tidak senang aku direndahkan Danu.
“Kenapa kau yang marah? Tukang korannya saja tidak marah aku panggil begitu.” Balas Doni dengan suara keras.
“Memang aku tidak terima. Danu ini sahabatku. Kau merendahkan sahabatku sama saja dengan merendahkanku.” Sahut Ari sambil berdiri penuh emosi.
“Jadi kau mau apa? tantang Danu sambil berjalan ke arah Ari.
Buru-buru aku menarik tangan Ari dan mengajaknya pergi meninggalkan Danu. Aku tidak mau mereka berkelahi.
“Kenapa kau cegah aku berkelahi dengan Danu? Dia itu anak yang sombong. Dia perlu diberi pelajaran. Jangan mentang-mentang dia anak orang kaya bisa berbuat seenaknya.” Cetus Ari kepadaku sambil berjalan ke kelas.
“Sudahlah, Ri. Kata Pak Arman, tidak ada gunanya berkelahi. Kau kan juga masih ingat pepatah yang disampaikan Bu Pasaribu. Berkelahi itu, menang jadi arang, kalah jadi abu. Jadi mau menang mau kalah, sama-sama susah.
“Tapi......”
“Sudahlah, lebih baik kau bantu aku untuk mencari bahan jurnalistik di koran-koran ini. Nanti kalau aku menang, kutraktir kau makan bakso.” Selaku sembari memilih memilih berita untuk kujadikan contoh membuat liputan.
“Ri, bagaimana kalau aku meliput tentang tindakan perundungan di sekolah kita?” tanyaku meminta pendapat Ari.
“Apa pula itu perundungan?” tanya Ari.
“Aku pun tidak tahu pasti. Yang aku, perundungan itu semacam mengejek atau merendahkan orang secara fisik atau kata-kata. Lebih jelasnya nanti kita tanya guru saja.” jawabku.
“Kenapa kau mau liput tentang perundungan itu?”, tanya Ari penasaran.
“Coba kau baca koran ini. Sudah berapa hari ini, hampir semua koran memberitakantentang tindakan perundungan yang dilakukan dua belas siswi SMA terhadap satu siswi SMP di kota Pontianak. Aku sangat tidak setuju dengan tindakan ini. Makanya aku mau meliput pendapat guru dan kawan-kawan di sekolah tentang tindakan perundungan. Supaya tidak ada lagi tindakan serupa. Paling tidak sekolah kita bebas dari tindakan perundungan.
“Oh.... begitu ya.” kata Ari sambil manggut-manggut dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Kami pun segera menemui guru untuk bertanya tentang apa itu perundungan. Setelah mendapat informasi yang jelas, kami bertanya kepada sebagian kawan-kawan di kelas IV dan kelas lain.
***
“Anak-anak sekalian. Semua harap berkumpul di lapangan sekolah. Seperti biasa, hari ini kita akan mengadakan kegiatan membaca di lapangan.” Suara Bu Pasaribu terdengar dari pengeras suara sekolah. Seluruh siswa berkumpul di lapangan sekolah dan duduk di atas tikar yang sudah terbentang.
“Anak-anak sekalian. Selama tiga hari ini telah terkumpul tiga puluh dua liputan berita dari kalian untuk lomba wartawan cilik. Ibu sangat bangga kepada kalian karena banyak yang mau menulis. Namum sekolah kita hanya akan mengirim satu saja perwakilan untuk dua hari lagi lanjut lomba di tingkat kota. Selebihnya akan dimuat di pojok baca kita. Untuk itu, ibu akan mengumumkan siswa kita yang menjadi perwakilan SD kita. Siswa tersebut adalah Ananta Lubis dari kelas IV. Kepada Ananta Lubis, Ibu minta untuk ke depan” Terang Bu Pasaribu dengan penuh semangat.
Suara tepuk tangan dari dua ratusan siswa membuat kudukku berdiri. Ari yang duduk di sampingku memelukku sambil mengguncang-guncang tubuhku. Aku melangkah ke depan untuk memenuhi panggilan Bu Pasaribu. Kulihat dari depan Danu dan teman-temannya juga bertepuk tangan. Mereka mengacungkan jempol tanda memberi semangat. Kemarin memang Danu sudah menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepadaku dan semua teman yang pernah dirundungnya.
Aku tidak sabar menunggu dua hari lagi. Ayahku, ibuku dan Pak Arman pasti bangga karena aku berhasil menjadi perwakilan sekolah untuk lomba wartawan cilik. Yang membuatku bertambah senang, Bu Pasaribu bilang perlombaan akan dilaksanakan di hotel berbintang. Aku sama sekali tidak menyangka anak tukang sapu bisa menginap di hotel berbintang. Kutanamkan niat di hatiku, sekarang aku wartawan lampu merah, ke depan aku akan menjadi wartawan mendunia.
(Penulis adalah siswa kelas IV SD IT Ar-Rayhan School Medan)