
Sebuah tradisi yang sudah mengakar dan berlangsung turun-temurun di tengah masyarakat sangat sulit untuk ditinggalkan. Seperti memanen padi secara tradisional menggunakan sabit, sampai tetap menjadi pilihan petani kendati teknologi pertanian kini semakin modern.
Bagi sebagian petani, bertahan melakukan panen secara tradisional memang beralasan, karena belum terbiasa memakai tenaga mesin panen padi, tetapi juga masih diliputi kekhawatiran, bila sepenuhnya menggunakan tenaga mesin akan membuat kaum ibu dan pemuda di desa tersingkir.
Setiap memasuki musim panen tanaman padi tiba, kaum ibu sudah terlatih bekerja sebagai tenaga upahan untuk memotong padi yang sudah menguning di lahan. Sedangkan sebagian pemuda biasanya mengais rezeki dari mengangkut padi dan bekerja pada mesin perontok.
“Memanen padi menggunakan mesin panen memang praktis, karena biaya yang timbul lebih rendah dan waktu panen lebih cepat. Tetapi kalau semuanya memanen padi menggunakan mesin, sudah pasti saudara-saudara kita yang sudah terbiasa bekerja upahan setiap panen tiba, kehilangan peluang,” ujar Abdul Gani, petani Aceh Utara, baru-baru ini.
Kehadiran teknologi modern ini juga menjadi salah satu inovasi baru bagi para petani untuk melakukan reformasi di bidang pertanian, sehingga pola pengolahan lahan sampai memetik panen semakin mudah dan tidak lagi mengandalkan tenaga sendiri yang melelahkan, seperti yang masih dipraktikkan kebanyakan petani di daerah pedesaan ini.
Persoalan ini pula yang menjadi alasan bagi mayoritas pemuda di Aceh memilih merantau mencari mata pencarian lain ke luar daerah, dengan harapan mendapatkan penghidupan layak. Padahal, prospek lahan pertanian di tanah kelahiran sendiri begitu subur dan menjanjikan.
Begitu juga bagi orangtua, mereka berjuang keras menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi dengan harapan kelak mereka dapat bekerja di kantor pemerintah atau perusahaan swasta, sehingga kecintaan terhadap pertanian pudar di tengah generasi muda. Pekerjaan turun ke sawah sudah dikesankan pekerjaan para orang tua.
Lebih cepat
Menurutnya, keberadaan mesin memanen padi ini merupakan salah satu kemajuan di bidang pertanian, khususnya di daerah pedesaan Aceh Utara. Sektor pertanian yang semakin canggih, mulai dari pengolahan lahan sampai menuai panen bisa menggunakan tenaga mesin, sehingga musim tanam dan panen berlangsung lebih cepat dan praktis.
“Di daerah kita sudah banyak yang menggunakan jasa combine (mesin pemotong padi), untuk memanen padi di sawah, tetapi tidak sedikit juga yang masih tetap bertahan memanen padi secara tradisional menggunakan sabit dengan pertimbangan tertentu,” ujarnya.
Memanen padi secara tradisional diakui petani menimbulkan biaya besar mulai dari biaya potong, ongkos lansir padi dan biaya pekerja mesin perontok padi. Sedangkan bila menggunakan tenaga mesin panen, para petani hanya mengeluarkan biaya Rp Rp2.300.000-Rp2.500.000/hektare.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan (Distapan) Aceh Utara, Ir Syarifuddin mengakui kehadiran mesin panen padi di tengah petani awalnya memang mendapat penolakan dari sejumlah masyarakat di desa. Hal tersebut tidak terlepas dari kekhawatiran yang memandang teknologi tersebut dapat menghilangkan mata pencaharian masyarakat di desa yang biasanya bekerja membantu panen.
“Saat ini, combine sudah menjadi kebutuhan karena saat panen raya sangat kewalahan untuk melakukan panen, karena padi menguning serentak, sedangkan buruh tani untuk memotong padi mayoritas ibu-ibu,” ujarnya seraya menyebutkan hal tersebut mengharuskan panen harus segera dilakukan.
Menurutnya, panen menggunakan teknologi mesin ini lebih hemat biaya panen, karena petani hanya mengeluarkan ongkos potong saja. “Hampir seluruh petani kita sudah membutuhkan mesin panen ini, karena ketika panen serentak tidak tertutupi, mengingat tenaga pemotong padi kini sudah sangat kurang,” pungkasnya. (khaddin)