
Namun di antara kerumun orang di TPS itu, Asni Sihombing (63), warga setempat justru merasa remuk hati.
Pagi itu, ia sengaja datang ke TPS dekat rumahnya tetapi bukan untuk mencoblos. Ia sekadar melihat-lihat warga lainnya menyalurkan hak suara. "Tadi saya cuma sebentar di TPS. Hati saya sedih. Saya juga ingin sekali bisa ikut merasakan kegembiraan pemilu. Tetapi itu tak mungkin. Saya tidak punya Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)," kata janda anak satu ini.
Saat ditemui di kediamannya, ia tengah sibuk memilah-milah botot (barang bekas) yang dipulungnya di sekitaran Jalan Sunggal. Hari itu ia membawa pulang dua karung besar botot, yang kebanyakan berupa kertas koran dan botol air mineral. "Paling ini hanya sepuluh rebu. Tapi lumayan," imbuhnya.
Di rumahnya yang berdinding tepas itu, Asni tinggal seorang diri. Dua anaknya sudah berumah tangga dan jauh darinya. Semenjak suaminya tiada sepuluh tahun lalu, Asni harus berjuang untuk bisa bertahan hidup. Ia juga tak bisa mengharapkan bantuan dari kedua anaknya yang juga warga pra sejahtera. "Saya sudah pernah usahakan untuk mengurus KK dan KTP, tapi gagal. Pemerintah bilang, harus ada surat pindah. Itu yang tidak bisa saya penuhi," jelasnya.
Asni merupakan kaum urban. Sepuluh tahun lalu, ia hijrah dari Padangsidempuan ke Deliserdang untuk mengadu nasib. Sejak itu ia tinggal di Desa Muliorejo. Namun sampai sekarang ia tidak terdaftar di database dinas kependudukan dan catatan sipil, baik di Deliserdang maupun di Padangsidempuan. "Siapapun nanti yang terpilih jadi presiden, permintaan saya hanya satu, tolong bantu kami warga miskin ini untuk memperoleh kartu penduduk. Itu saja," pinta perempuan yang mengaku hanya mengenyam pendidikan hingga bangku kelas 1 sekolah dasar itu.
Kesedihan mendalam juga dialami Irawati Nainggolan (53), seorang tukang pijat, penduduk Sunggal. Janda satu ini memang tidak pergi ke TPS. Ia memilih "berondok" di rumah karena menyadari namanya tida ada di Daftar Pemilih Tetap (DPT) data KPU. "Saya bahkan tak punya KK. Makanya jelas tak bisa memilih. Walau sedih perasaan saya," urai perempuan yang sudah tujun tahun menjanda ini.
Tak hanya kehilangan hak politiknya di pemilu, Ira merasakan berbagai dampak dari tidak memiliki kartu identitas kependudukan. Ia bercerita, sampai saat ini ia gagal menjenguk anaknya yang sedang menjalani masa tahanan di lembaga pemasyarakatan (lapas). Ia tidak diizinkan masuk ke lapas, lantaran tak bisa menunjukkan kartu identitasnya. "Aku bahkan tidak bisa melihat anakku di penjara. Petugas itu tidak mengizinkan aku masuk, karena aku tidak bisa menunjukkan KTPku," tangis janda dua anak ini.
Seperti Asni, Ira juga seorang urban. Ia berasal dari Pulau Jawa yang merantau ke Sumatera. Kemudian sejak menikah, ia berdomisili di Sunggal. Tujuh tahun sudah ia menetap di Sunggal. Almarhum suaminya, dulunya bekerja sebagai buruh bangunan. Sepeninggal suaminya, Ira bekerja banting-tulang untuk menafkahi dua anaknya, yang kini seorang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasayarakatan, sedang seorang lagi masih status pelajar. "Harapan saya, kayak mana biar ada KTP saya, Pak. Mau nengok anak saya di penjara pun, payah kali, Pak. Sedih kali. Mau nangis saya, Pak," tuturnya.
Tak hirau dengan pemilu, janda Souza (57), warga Medan Selayang malah sibuk memulung dari pagi hingga sore. Ia berjalan kaki dari seputaran Simpang Kwala Bekala hingga Medan Selayang demi memulung barang bekas. Sore harinya ia membawa pulang satu karung karton dan bekas botol air mineral. Saat pulang, langkahnya terlihat lambat karena begitu kelelahan. "Kalau gak marbotot, makan apa? Hidupku menderita," kata nenek tersebut.
Asni, Ira dan Souza, tidak sendirian. Yayasan Peduli Pemulung Sejahtera (YPPS) mencatat, sepanjang 2018 ada 200 orang lebih pemulung yang tidak memiliki identitas kependudukan. Angka itu jelas tidak bisa ikut pemilu karena sistem kepemiluan kita hari ini otomatis menghilangkan hak pilih mereka. "Bahkan, jika dirunut tiga tahun belakangan ini, kami dari YPPS sudah ada membantu memfasilitasi ratusan pemulung untuk memperoleh identitas kependudukannya. Masih banyak warga miskin kita tidak memiliki identitas. Tapi mereka juga kan warga negara kita. Mereka penduduk asli Indonesia," tandas aktivis pemulung itu.
Di lingkar lebih luas, data BPS menyebut jumlah masyarakat pra sejahtera di Sumut mencapai 1.111.883 jiwa (data 2013 yang kemudian diperbaharui 2015). Dari angka itu masyarakat pra sejahtera paling banyak tersebar di kota Medan mencapai 100.996 jiwa disusul Langkat (99.962 jiwa) dan Deli Serdang (73.317 jiwa). "Dengan memakai data ini, potensi warga marjinal yang tidak terdata di database dinas kependudukan kemungkin lebih besar. Dan mereka yang tidak terdaftar di database dinas kependudukan otomatis tidak masuk dalam DPT," terang Uba.
Menurut Uba, pemilu kita akan lebih demokratis jika partisipasi publik semakin kuat. Salah satunya, dengan memfasilitasi setiap warga negara, termasuk pemulung dan kaum marjinal bisa menyalurkan hak suaranya di pemilu. Sayangnya, pemerintah kerap bekerja tidak optimal dalam memberikan identitas kependudukan bagi sebagian warganya. "Jika saja pemerintah daerah selama ini mau jemput bola, blusukan ke desa-desa, ke komunitas-komunitas pemulung, saya yakin tidak akan terjadi kasus seperti ibu Asni atau Ibu Ira. Mereka janda yang sejatinya diberi negara identitas kependudukan, supaya hak-hak politik dan hak sosial ekonominya bisa lebih baik," terang Uba.
Apalagi, deklarasi Universal Hak Asasi Manusia memberikan jaminan bagi setiap orang mendapat pengakuan di mana pun di depan hukum. Pasal 8 Konvensi Hak Anak menegaskan ketentuan Negara untuk menghormati hak anak untuk memiliki identitas, termasuk kewarganegaraan, nama, dan hubungan keluarga.
Belum lagi, pasal 2 Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menegaskan, setiap penduduk berhak untuk memperoleh dokumen kependudukan, pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk pencatatan sipil. Jika warga tidak memiliki identitas kependudukan lalu dibenturkan dengan Peraturan KPU No. 11 Tahun 2018 yang mengatur, E-KTP sebagai salah satu syarat verifikasi untuk bisa masuk ke dalam DPT (daftar pemilih tetap), otomatis hak politik Asni, Ira dan Souza dianggap hilang, karena mereka tidak diakui sebagai warga negara.
Tak heran jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat berang ketika tahu besarnya anggaran habis untuk mengubah KTP kertas menjadi KTP plastik. “Habisnya Rp6 triliun, jadinya hanya KTP yang dulunya kertas sekarang plastik, hanya itu saja. Sistemnya tidak benar," katannya, 11 Maret 2017 lalu.
Perbincangan soal KTP elektronik mengemuka ketika Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Desember 2006. Dalam Pasal 1 angka 14 undang-undang ini, pengertian KTP adalah identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh KPU kemudian dibikin peraturan No 11 tahun 2018 yang menegaskan, E-KTP sebagai satu syarat verifikasi data untuk DPT. (dgh)