Pameran Lukisan dan Kaligrafi di Perguruan Bodhicitta

pameran-lukisan-dan-kaligrafi-di-perguruan-bodhicitta

Medan, (Analisa). Salah satu bentuk kekayaan budaya bangsa Tiongkok  adalah seni kaligrafi, seni lukis dan seni gunting kertas (si­l­huet wajah). Seni kaligrafi Mandarin telah berusia ribuan tahun, dan te­lah diakui memiliki nilai estetik ting­gi, selain kaya dengan berbagai filososi hidup yang tetap kontekstual de­ngan kehidupan kekinian.

Sayangnya minat generasi muda Tionghoa untuk menekuni seni lukisan dan kaligrafi Mandarin, ditengarai ma­kin hari makin menipis. Jika tak dibi­lang makin langka. Prihatin melihat ke­cenderungan tersebut, Perguruan Buddhis Bodhicitta Medan selama dua hari berturut, mulai 6 - 7 April menye­lenggarakan Pameran Lukisan dan Ka­ligrafi di Perguruan Boddhicitta, Jalan Selam, Medan.

"Kami merasa terpanggil untuk me­nyelenggarakan pameran  lukisan dan kaligrafi sebagai usaha untuk menum­buhkan apresiasi seni sekaligus mera­wat peradaban," tutur Ir. Sutopo, Ketua Panitia Pelaksana pameran saat mela­kukan kunjungan ke Analisa bersama Bhiksu Nyanaprathama Mahasthavira, selaku pembina Perguruan Buddhis Boddhicitta, pelukis kaligrafi, Xu Qing­zai, Kepala SMA Boddhicitta, Rudi­yanto Tanwijaya Guru Bahasa Mandarin, Law Wi Wi.

Rombongan diiterima Pemimpin Umum, Supandi Kusuma, Senin (1/4) sore, yang didampingi Dr. Tony SH, MKn dan Sujito Sukirman.

Menurut Sutopo, sebagai salah satu perguruan Buddhis, Perguruan Bo­ddhi­citta tidak ingin berkutat pada ma­salah akademis semata, tapi juga me­rasa perlu mengambil bagian sebagai motor penggerak pelestari kebudayaan. Nantinya kegiatan tak hanya berupa pameran lukisan dan kaligrafi semata, tapi menurut Sutopo juga akan dime­riahkan demonstrasi cara melukis ka­ligrafi, seni menggunting kertas dan melukis wajah.

Supandi Kusuma, menyambut gem­bira kegiatan pameran tersebut. "Kali­grafi Tiongkok itu sudah ada ribuan tahun dan merupakan karya seni yang tinggi mutu artistiknya," katanya. Ia lalu menyebut saat dulu berlatih taiji, master taiji yang jadi gurunya pun me­latih dirinya sembari melukis kali­grafi. Setiap master taiji menurut Su­pandi Kusuma bisa menulis kaligrafi.

"Taiji itu seperti kaligrafi, taiji adal­ah seni beladiri. Dalam kelembutan se­tiap gerakannya tersimpan kekua­tan," katanya. Beberapa gerakan taji menurut Supandi Kusuma mirip gera­kan tangan pelukis saat menggerakan  kuas melukis kaligrafi.

Memamerkan karya Xu Qingzai

Sementara itu Rudy Tanwijaya me­nyebutkan bahwa pameran akan me­nam­pilkan 125 buah lukisan dan kali­grafi karya pelukis Medan ternama, Xu Qingzai dan beberapa karya mu­ridnya. Xu Qingzai adalah, pelukis ke­lahiran Bagan Siapi-api tahun 1944. Ia pernah memamerkan karya-karya­nya di Jakarta, Taiwan dan Tiongkok. Lukisannya tentang 100 ekor monyet juga mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai lukisan terunik dan pertama yang ada.

Selain melukis dan dikenal ahli kaligrafi berisi syair klasik Tiongkok dan rangkaian nama orang yang mem­bentuk sebuah syair, Xu Qingzai juga telah menghasilkan sejumlah komik bertema ajaran filsafat Konfusius dan Lao Tze. Meski lukisan-lukisannya l bernuansa oriental, namun ia juga me­lu­kis keindahan alam Tanah Lot Aceh, Danau Toba, Candi Borobudur, Pantai Surabaya, dan Karapan Sapi, bahkan Presiden Joko Widodo.

Terbuka umum

Pameran terbuka untuk umum. Bhik­su Nyanaprathama Mahasthavira, pem­bina Perguruan Buddhis Boddhi­citta, menyebut kaligrafi Mandarin, punya banyak keunggulan. Salah satu­nya ni­lai filosofi hidup yang bersifat universal. Artinya siapa saja pengun­jung pameran, dipastikan bisa memetik ins­pirasi dari kaligrafi yang dipa­merkan.

"Kami nanti akan menyediakan semacam kurator yang akan menerang­kan makna dari tiap kaligrafi yang di­pamerkan," tambahnya.

Ia memberi contoh kaligrafi yang menampilkan kata pemenang atau Ying.

Kata tersebut bukan sekadar sebuah kata yang artistik karena digores lewat sapuan kuas pelukis, namun me­ngandung filosofi hidup yang dalam. Kata pemenang terbentuk dari 4 huruf yang mengandung empat filosofi. Per­tama, titik lemah diri. Artinya seorang pemenang sadar akan kelemahan yang ada pada dirinya sebelum jadi peme­nang. Kedua, seorang pemenang mam­pu mengutarakan  secara jelas apa yang diinginkan. Ketiga, seorang pemenang juga sadar akan adanya saling ketergan­tungan.

"Kata keempat dan kelima, seorang pemenang juga mampu melihat ke­mampuan orang lain untuk digerakkan untuk mencapai tujuan dan mampu men­jaga keseimbangan," ujar Bhiksu Nyanaprathama Mahasthavira. Tentu banyak filosofi hidup lain dari puluhan kaligrafi yang dipamerka.

"Saya meyakini hal itu bisa jadi sumber inspirasi pengunjung pame­ran," katanya.

Dilanjutkan generasi muda

Sementara itu Xu Qingzai, yang dikenal sebagai sosok bersahaja dan rendah hati, dalam usia yang makin sepuh berharap agar seni melukis dan menulis kaligrafi dapat dilanjutkan oleh generasi yang lebih muda.

“Semoga dengan kegiatan pameran ini, dapat menambah kegairahan para seniman muda Kota Medan untuk lebih giat dalam berkarya. Penghargaan ter­hadap seni merupakan salah satu cara untuk melestarikan budaya,” ujar Xu Qingzai didampingi Wang Qing, me­nantunya. (Ja)

()

Baca Juga

Rekomendasi