
DI tengah serbuan ragam merek liang teh kemasan, baik produksi Medan maupun luar Medan, sejak 22 Desember 2018, Neri Gani dan putra bungsunya, Filbert Tansil, meluncurkan kho liang teh. Nama Kho diambil dari marga kakek Neri Geni, Kho Mak Khun, yang juga kakek buyut Filbert Tansil.
Liang teh dalam kemasan botol, menurut Neri, merupakan strategi untuk mendekati konsumen milenial. Bukan hanya dalam teknik promosi dan penjualan secara online dengan platform media digital, tapi juga dalam bentuk penyajian yang praktis dan mudah dijangkau konsumen.
Resep untuk membuat kho liang teh diperoleh dari leluhurnya, Kho Mak Khun. Semasa masih hidup, Kho Ma Khun merupakan pedagang liang teh yang pertama kali berjualan di simpang empat Jalan Perniagaan dan Jalan Ahmad Yani II di kawasan Pajak Ikan. Sampai awal 1990-an, sepanjang Jalan Perniagaan masih banyak dijumpai toko-toko obat Tionghoa.
Setelah Kho Mak Khun meninggal dalam usia 60 tahun, usaha dagang itu diteruskan menantunya, Gan Kim Siah yang menyunting puteri tunggal Kho Mak Khun, Kho Kha Hwue.
“Saat kelas 3 SD, saya dulu sering bantu papa dan mama jualan liang teh, juga abang saya,” ujar Neri Gani, puteri bungsu dari 4 bersaudara pasangan Gan Kim Siah - Kho Kha Hwue, saat ditemui dirumahnya, Kamis (18/4).
Liang Teh Pacaran
Pada 1980-an, dalam ingatannya, saat berjualan liang teh, penerangan yang digunakan masih menggunakan lampu petromaks. Penggemar liang teh saat itu lebih mengenal kedai ayahnya dengan sebutan “Liang Teh Pacaran”. Ohira, sahabat Neri Gani, menuturkan, pada 1980-an, saat malam Minggu remaja Medan yang lagi pacaran, umumnya membawa pacar mereka minum liang teh. “Karena nggak ada tempat duduk, ya berdiri saja,” ujar Ohira.
Menurut Neri, meski kakeknya bukan sinse, namun saat masih di Tiongkok, sudah punya pengetahuan meracik liang teh. Saat beremigrasi ke Medan, kakeknya melihat belum ada orang Tionghoa berjualan liang teh.
“Lalu kakek pun coba meramu. Awalnya gagal, tapi setelah beberapa kali dicoba akhirnya berhasil,” ujar Neri Gani, ibu dari dua orang anak itu. Informasi diperoleh Neri dari ibunya. Sejak berhasil mendapat rasa harum dan rasa yang pas, serta takaran bahan ramuan yang sebanding dengan jumlah air rebusan, kakeknya lalu memberanikan diri berjual liang teh.
Neri sendiri sejak 1996 tak lagi ikut membantu usaha liang teh. Namun pada 2018, anak bungsunya, tertarik untuk berbisnis liang teh kemasan.
“Filbert selama ini juga sudah berjualan online, dia juga ingin resep warisan keluarga tetap lestari,” ujarnya. Kho liang teh memang menyasar ke kalangan milenial. Pemasarannya pun dilakukan secara online dengan memanfaatkan media sosial baru berbasis internet. Namun pemasaran secara offline juga tetap dilakukan, yakni menitipkan ke sejumlah restoran.
Momen Imlek juga dimanfaatkan dengan menjadikan kho liang teh mereka sebagai paket minuman Imlek. Harganya dalam kemasan botol 330 ml, dua kali lipat dari harga segelas liang teh yang dijual di pinggir jalan. Menurut Neri, itu konsekuensi dari rasa premium liang teh yang diproduksinya.
Saat ditanya bahan-bahan untuk membuat liang teh, Neri tertawa lebar. “Yang jelas ada akar-akaran tumbuhan, kulit jeruk, dan bahan lain yang telah dikeringkan,” katanya. Semua bahan itu masih didatangkan dari Tiongkok. Setelah ditimbang sesuai takaran, ramuan itu lalu direbus selama 3 jam. Untuk rasa manis, Neri menambah dengan gula asli.
Karena liang teh produk herbal dan tidak mengandung pengawet, liang teh kemasan produksinya hanya bisa tahan seminggu. Dengan catatan harus disimpan dalam lemari kulkas. Usaha Neri dan anaknya untuk melestarikan liang teh racikan leluhurnya tak berhenti dengan menyajikan liang teh dalam kemasan botol.
Ia juga sudah berancang-ancang mendirikan kedai liang teh. Tapi kedai itu tak hanya menyajikan liang teh, juga minuman lain, termasuk berbagai nyamikan khas anak milenial.
“Intinya kita ingin minuman tradisional warisan leluhur ini bertahan selama mungkin,” ujarnya.
Filosofi Tionghoa
Pakar motivator, Rudy Rahman menyebut fenomena lestarinya minuman liang teh sebenarnya berkaitan dengan nilai filosofi Tionghoa yang menghargai alam. Orang tua dari dulu meminta anak-anaknya untuk menghargai alam yang telah memberi kebahagiaan.
Dasar hukum feng shui itu sendiri adalah keselarasan. Feng atau angin menurutnya berasal dari hutan yang mengandung elemen kayu, napas kehidupan. Ciri kekuatan napas adalah mekarnya bunga.
“Jadi sejak dahulu kala masyarakat Tionghoa sadar untuk hidup sehat kita harus mencari asupan dari alam berupa herbal,” katanya. Asupan herbal itu memberi kekuatan, daya, dan kemampuan.
“Jadi tradisi minum teh bunga sudah berusia ribuan tahun, selain wanginya natural, juga membersihkan tubuh. Warisan ini menjadi berakar karena paduan filosofi dan ilmiah kesehatan Tionghoa,” kata Rudy Rahman.
Bunga khiok atau bunga krisantemum juga mewakili kegembiraan, merakyat dan membumi. Di Tiongkok menurutnya, bunga ini tumbuh sepanjang desa, hutan dan dihampir setiap pelosok. “Melihat bunga khiok, kita juga akan teringat masa kecil, teringat desa,” katanya. (J Anto)