'Alur Subur' Merintih Bertahun-Tahun

alur-subur-merintih-bertahun-tahun

Oleh: Sarifuddin Siregar. Alur Subur, rangkaian kata menggambarkan kesejahteraan. Enak diucap dan gampang dimakna. Mencermati kalimat tersebut, seolah kita berada di ranah bahagia penuh suka cita.

Alur Subur dalam konteks tulisan ini adalah nama sebuah desa kategori paling terisolir, amat tertinggal dan tergulita di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi Sumatera Utara. Aih... nama tak seindah realita. Kata penggiat bahasa, jauh panggang dari api. Kayak langit dan bumi. Mohon maaf, camat saja belum tentu tertarik memberi pencerahan atau berlama-lama di sini, apalagi bupati.

Tak percaya? Bisa tanya rakyat, siapa pejabat yang rajin mendengar dan menindaklanjuti keluhan mereka. Bagaimana dengan anggota legislatif? Keterangan penduduk setempat, legislator tak mau reses ke sana.

Pun demikian, tak ada yang salah dengan penggagas titel permukiman tersebut. Semoga saja, suatu waktu, asa parapejuang bisa jadi nyata.

Perjalanan penulis bersama relawan anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Junimart Girsang ke desa ini, Kamis-Jumat (4-5/4) adalah merespons aspirasi masyarakat. Irwan Simanjorang warga Desa Liang Jering, permukiman bertetangga dengan Alur Subur menyarankan, legislator daerah pemilihan Sumut 3 itu perlu menampung keluhan masyarakat. Paling tidak, menurunkan tim guna menjaring aspirasi. Hingga 73 tahun Indonesia merdeka, rakyat jauh dari rasa merdeka sebagaimana dinikmati sejumlah warga di belahan Nusantara. Walau terpanggil mengibarkan bendera merah putih, tetapi ratap tangis yang disuarakan entah siapa yang dengar.

Yang pasti, problema dimaksud adalah urusan dan kewenangan pemerintah kabupaten. Apakah pejabat tak respons? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

Desa Alur Subur, memang kerap dalam pemberitaan dan pendengaran. Musibah jalan longsor adalah informasi yang kerap disiarkan media. Namun, bagaimana sesungguhnya keterpurukan di sana, ini kali pertama penulis menginjakkan kaki di sana.

Pisser Agustinus Simamora Koordinator Relawan Junimart Girsang memegang setir mobil double gardan tahun tinggi dari Sidikalang. Dengar-dengar, butuh 8 jam perjalanan agar tiba di tujuan. Kala melintas di Desa Silumboyah Kecamatan Siempat Nempu Hulu, Tigalingga, posisi duduk di jok masih santai disertao obrolan ringan. Maklum, aspal hotmix relatif bagus. Selanjutnya, di kawasan Tanah Pinem, kecepatan mesti dikurangi menyusul proyek perbaikan jalan ditangani Balai Besar Pemeliharaan Jalan Nasional (B2PJN) Kementerian PUPR.

Penat

Kepenatan mulai timbul ketika roda berputar meninggalkan Pasar Lau Baleng Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. Wah.... mulai dari situ, tak ada lagi aspal. Jalan berkelok-kelok tak karuan sementara sisi lintasan diramaikan titik ambles. Lebar akses tersebut ada di kisaran 2,0 sampai 2,5 meter. Permukaan jalan di atas Lae (sungai) Renun tampak bagai anak sungai. Yakni lumpur sepajang ratusan meter. Mobil tumpangan seakan berenang di atas gumulan becek.

Musik pengiring yang tadinya seirama, terpaksa dihentikan. Mata difokuskan ke depan, berharap sopir jangan sampai keseleo. Sebab, lalai 1 detik, risikonya bakal terjun bebas. Sisi ke arah jurang seluruhnya tanpa penyangga. Karenanya, safety belt mesti dikenakan demi penambahan kenyamanan.

Desa Renun, Simpang Mangan Molih-Lau Njuhar 1-Liang Jering adalah perkampungan yang harus dilewati sebelum tiba di Desa Alur Subur. Medan berat tersebut mengajak rombongan ‘tarik nafas’ di warung brru Solin di Lau Njuhar.

"Masih jauh...," kata brru Solin ketika ditanya tentang Alur Subur. Kita harus segera berangkat, imbuh Irwan Simanjorang warga Desa Liang Jering yang menemui kami di warung tadi. Ketika meninggalkan Desa Renun, sesungguhnya nuansa ‘diskriminasi pembangunan’ sudah tercium. Rumah penduduk kian sedikit dan jumlahnya hanya puluhan unit di salah satu konsentrasi. Kuantita kediaman permanen amat sedikit. Dominan berbahan kayu dengan tampilan sederhana. Gambar calon anggota legislatif jamak menghiasi kendati mereka mungkin tak kenal para kandidat.

Semakin jauh, tiang listrikpun bagai redup. Artinya apa? masyarakat kian tak memperoleh pelayanan penerangan. Demikian juga sinyal telepon, perlahan tapi pasti berkurang, berkurang hingga akhirnya lenyap. Di Desa Liang Jering, rakyat tak lagi menerima nada dering telepon selluler sebagaimana masyarakat di perkotaan. Bah...bah...bah..makin gelap bah... Dalam benakku, jangan-jangan ada telepon dari si buah hati tercinta.

Pun begitu, nuansa kekeluargaan sungguh melekat sebagaimana diperlihatkan penduduk Desa Liang Jering. Hampir semua orang di salah satu warung menyapa dan bertegur sapa dengan rombongan. Sementara itu, jam telah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Atas kesepakatan dengan warga, rombongan terlebih dahulu menemui masyarakat di Desa Alur Subur. Jaraknya lumayan jauh, hitungan 12 kilometer. Rencana makan malam bersama, terpaksa dibatalkan.

Berdebar

Jantung agak berdebar saat mobil berada di tikungan nan sempit. Di titik lainnya, tertengok jembatan tanpa penyangga dengan konstruksi kayu lapuk. Waktu telah menunjukkan pukul 19.00 WIB di mana gerimis jatuh membuat lintasan kian licin. Sepanjang jalan, tak seorang pun berlalu kecuali kami. Dan satu lagi, jembatan kayu busuk dan renggang sepanjang 10 meter harus dilalui.

Sekitar 3 kilometer sebelum tiba di tujuan, 1 tantangan harus jua diselesaikan. Tak ada alternatif. Mobil itu terpaksa mengarungi Lae (sungai) Delleng Macik beraliran deras selebar 10 meter berbatu. "Unggo roh ke ke weh... Lias ate mo (terima kasih atas kunjungan kalian," ujar Pardomuan Banurea (48) pendagang pengumpul hasil bumi saat menerima kedatangan rombongan. Saat itu, Pardomuan lagi menimbang biji kakao, kemiri selanjutnya dimasukkan ke karung untuk dijual esok hari ke pasar.

Kepala Desa, Hotmaida Girsang menjamu penuh keramahan. Usai makan ma­lam dengan menu apa adanya, dia menuturkan berbagai persoalan dari tahun ke ta­hun yang tak kunjung terselesaikan. Ka­mi berbicara di tengah penerangan lampu hemat daya yang biasanya diisi ulang.

Ketersediaan

Menurutnya, fasilitas jalan adalah keluhan utama masyarakat. Sejak Desa Aur Subur dimekarkan sekitar 10 tahun lalu, bahkan ketika masih dalam lingkup Desa Renun, akses ke permukiman itu belum pernah diaspal. Kondisi keprihatinan di 5 dusun didiami 200 kepala keluarga relatif sama.

Bangunan jalan nan porak poranda saat ini adalah peninggalan perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). Konstruksi urak-urakan beragam, mulai dari pasir total, lumpur, dan tanah liat dengan ukuran sangat sempit. Andai 2 mobil roda 6 berpapasan, akan sulit lewat. Melihat dari struktur jalan, hanya kendaraan double gardan yang bisa melaju. Itupun kecepatan rata-rata 20 kilometer per jam.

Kebutuhan pangan berupa beras dan lauk pauk diperoleh dari Pasar Lau Baleng Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo dengan jarak tempuh 30 kilometer. Masyarakat memanfaatkan 2 unit hardtop bak terbuka buat belanja. Ongkos badan sekali berangkat Rp50 ribu atau Rp100 ribu pergi pulang. Selanjutnya, tarif barang dikenakan Rp1500 per kilogram. 1 unit hardtop hanya membawa 7 penumpang dengan muatan maksimal berikut barang 1,2 ton.

Kenapa? Pemilik kendaraan tetap berhitung pada daya tahan jembatan tadi. Beberapa tahun lalu, 1 unit mobil terperosok ke jurang lantaran over tonase. Beruntung, penumpang hanya luka ringat sementara bangkai mobil dibiarkan di jurang.

Kalaupun belanja, penumpang harus rela berdiri di bak hardtop, atau malah jalan kaki ketika mobil rusak. Memang, ini hal lucu, jalan kaki tetapi tetap bayar ongkos. Menyusul infrastruktur hancur-hancuran tersebut, kata Hotmaida, bukan peristiwa asing bila mereka kadang kala bermalam di bak mobil atau tidur di kaki lima rumah masyarakat.

Inikan sudah mobil tua... Sedikit-sedikit rusak. Makanya, bila mengulah di malam hari, bak mobil ditutup tenda dan penumpang tidur di situ. Dalam setiap perjalanan, kendaraan beberapa kali berhenti lantaran mesin panas. Kalau tidak ada kendala, lama perjalanan ke pasar paling cepat ditempuh 8 jam. Selanjutnya, rata-rata kembali ke rumah pukul 24.00 WIB. Bila belanja, harus sekalian mempersiapkan kain sarung -manatahu menginap di tengah belantara. Makanya, warga jarang mengkonsumsi ikan laut atau ikan segar lainnya. Takut busuk.

Berangkat

Mereka berangkat pukul 07.00 WIB, lalu tiba pukul 15.00 WIB. Selanjutnya, rata-rata kembali ke rumah pukul 24.00 WIB. Tak heran, mie gomak dan martabak yang dipersiapkan buat keluarga, dilalap di jalan buat ‘ganjal’ perut. Cerita Hotmaida dia pernah menerima pesanan untuk membeli periuk tetangga. Lantaran kendaraan rusak, periuk masih kinclong itu dipakai buat menanak nasi, lalu pe­milik pun menerima dalam bentuk ba­rang bekas. Habis, mau masak pakai apa?

Bukan hanya masyarakat, derita sedemikian, rutin dialami Hotmaida. Kaya miskin, tua muda, sepanjang naik tumpangan darurat ke pasar, pedihnya sama saja. Bila roda terperangkap lobang dan lumpur, spontan saja mereka bagai berjoget sembari berucap ‘ago yamang’ (aduh-red) sembari memperkuat pegangan. Pun begitu, belakangan ini, sedikit lega lantaran beberapa keluarga sudah mempunyai sepeda motor.

Tak tahu, kapan desa ini akan diperhatikan. Sebagai kepala desa, Hotmaida mengalokasikan sebagian dana desa untuk pembangunan rabat beton (cor semen). Proyek tersebut ditaruh di ruas yang paling berat.

Hotmaida juga memaparkan terkait problema listrik. Seluruh warga binaannya belum merasakan sentuhan produk BUMN itu. Informasi dan teknologi jauh tertinggal. Menonton televisi saja sangat jarang. Penerangan tersedia hanya berupa generator milik perorangan dengan jumlah sangat terbatas. Diaktifkan beberapa jam setiap malam.

Sekretaris Desa, Pittor Padang menyebut, fasilitas pendidikan dan kesehatan adalah 2 substansi skala prioritas. Hingga kini, Desa Alur Subur belum memiliki sekolah dasar permanen atau mandiri. Keberadaan SD di Dusun Alur Subur adalah model model jarak jauh berinduk ke SD Negeri 035938 Renun.

Sarana pendidikan dasar Madrasah Ibtidiyah (MI), kata Pittor, tersedia di Dusun Simpang Aman. Menyusul keterbatasan sarana, mayoritas anak-anak di Dusun Simpang Aman beragama Kristen menimba ilmu di MI. Namun, pengelola tetap mengedepankan toleransi dan harmoni di mana siswa nasrani tidak diwajibkan baca alquran.

Sementara itu, terkait pelayanan kesehatan, dirasa jauh dari normatif. Pemerintah menempatkan 2 perawat di sana, atas nama Fitri Maha dan Masta Manik. Fitri diketahui sehari-hari tinggal di Desa Renun bersama keluarga sedang Masta lagi cuti melahirkan.

Pittor membenarkan, Puskesmas pembantu bertahun-tahun terlantar. Gedung sudah rusak. Kondisi saat ini, dikelilingi semak belukar.

Angka kematian lumayan tinggi di sini, kata Jamadi Manik (48). Dijelaskan, tahun 2018, seorang bayi meninggal dunia saat persalinan akibat keterlambatan penanganan medis. Ketika situasi sangat sulit, terkadang pasien ditandu. "Masyarakat berobat ke Desa Renun. Perawat tinggal di sana,” kata Jamadi. Derita masyarakat sempurna sudah. Jalan hancur, terisolir, tak ada listrik dan layanan kesehatan entah bagaimana.

Dairi penuh ironis bercampur pesimistis dan apatis. Pejabat selalu berpidato tentang upaya kemakmuran rak­yat, tetapi cenderung kebutuhan rakyat banyak diabaikan. Jalan menuju rumah dan perladangan pejabat dan keluarga pejabat sepertinya dinomorsatukan. Ketetangan sidang dewan, boleh jadi sandiwara untuk memuaskan kepentingan oknum orang-orang elit.

Kemiskinan Desa Subur adalah petunjuk, peran lembaga terkait mulai dari camat, organisasi pemerintah daerah, Sekda, Bupati, Wakil Bupati berikut yang merasa wakil rakyat entah dimana. Menutup mata terhadap rintihan di depan mata.

()

Baca Juga

Rekomendasi