Oleh: Muhammad Irsyad. Kamis, 17 April 2019, kita baru saja memberikan hak suara kita pada Pilpres (Pemilihan Presiden) maupun Pileg (Pemilihan Legislatif) untuk periode 2019-2024. Menurut sepengamatan saya, Pemilu kali ini adalah Pemilu dengan euforia dan antusiasme yang luar biasa tinggi. Berbagai orang dan kalangan berbondong-bondong menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS), bahkan rela antri dengan waktu lama demi bisa memberikan hak suaranya.
Apresiasi setinggi-tingginya patut pula kita berikan kepada para panitia di lapangan. Panitia yang dimaksud adalah Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (TPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Betapa mereka harus diapresiasi, sebab selain tingginya antusiasme masyarakat yang hadir, Pilpres kali ini juga dilaksanakan serentak dengan Pileg sehingga total ada lima kertas suara yang harus dicoblos, berarti mereka harus melakukan pengitungan suara sebanyak lima kali.
Di lingkungan tempat tinggal saya, mereka masih terpantau melakukan penghitungan suara hingga malam hari. Tentu apa yang mereka kerjakan adalah sesuatu yang melelahkan sekaligus memiliki tanggung jawab yang tidak main-main. Sampai atau tidaknya suara kita ada di tangan mereka semua.
Hasil Quick Count
Seperti Pemilu pada umumnya, hari pencoblosan adalah hari di mana berbagai lembaga survei saling berlomba menampilkan hasil quick count atau hitung cepat versi mereka masing-masing. Sekitar pukul 15:00 WIB, para lembaga survei ini serentak merilis hasil quick count yang mana sebagian besar menyatakan kemenangan pasangan calon nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf.
Litbang Kompas contohnya, hasil akhir quick count mereka ditutup pada Kamis malam tanggal 17 April kemarin. Mereka menyatakan keunggulan paslon 01 Jokowi-Ma’ruf dengan perolehan suara sebesar 54,37 persen, sedangkan paslon 02 Prabowo-Sandi memperoleh 45,49 persen.
Selanjutnya Litbang Kompas juga merilis perolehan suara di beberapa pulau besar di Indonesia. Hasil quick count mereka menyatakan bahwa paslon 01 unggul di pulau Jawa, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara, sedangkan paslon 02 unggul di Sumatera dan Sulawesi.
Quick count yang dilakukan Indobarmeter juga menyatakan hal yang tidak jauh berbeda. Indobarometer menyatakan paslon 01 unggul 53,62 persen dan paslon 02 hanya mendapat perolehan 46,04 persen. Lebih lanjut, per pukul 17.30 WIB, Indobaromoter menyatakan bahwa lumbung suara Prabowo-Sandi ada di 19 provinsi, sedangkan Jokowi-Amin hanya menang di 13 provinsi saja, sedangkan dua provinsi lagi datanya belum masuk.
Secara keseluruhan, lembaga-lembaga survei lain seperti Indikator dan Poltracking juga merilis hasil yang tidak jauh berbeda, yaitu menunjukkan keunggulan perolehan suara dari paslon 01 yang berkisar di angka 52-55 persen.
Reaksi Kedua Kubu
Bagi kedua kubu yang berkompetisi, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan kalau Pilpres ini juga soal menang atau kalah. Quick count dari berbagai lembaga survei tersebut bisa dibilang adalah jalan pintas untuk tahu lebih cepat siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Maka, para pendukung dan pemilih Jokowi-Ma’ruf bolehlah bersuka cita menanggapi kemenangan sementara paslon yang mereka dukung. Suka cita tersebut cukup beralasan karena dari berbagai Pemilu yang kita jalani di negeri ini, hasil quick count tidak pernah meleset jauh dari hasil real count atau hitung nyata yang dilakukan KPU (Komisi Pemilihan Umum).
Reaksi yang berbeda ditunjukkan oleh kubu 02, di mana mereka justru menyatakan ketidakpercayaannya dengan hasil quick count. Banyak pendukung 02 yang menganggap bahwa lembaga-lembaga survei tersebut ingin melakukan penggiringan opini saja.
Dari media sosial, saya juga mendapati bahwa para pendukung 02 menghubungkannya dengan apa yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Di Pilgub DKI Jakarta, ada anggapan bahwa hasil quick count berbanding terbalik dengan hasil real count. Benarkah demikian?
Saya pun mencari lebih dalam lagi. Ternyata, apa yang saya temukan tidak demikian adanya. Pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 lalu, hasil akhir quick count dari 4 lembaga survei ternama kompak menyatakan kemenangan Anies-Sandi, begitu pula hasil real count dari KPU DKI Jakarta.
Ketika itu, Litbang Kompas menyatakan Anies-Sandi unggul 58 persen dari Ahok-Djarot yang cuma 42 persen, lalu ada PolMark Indonesia yang menyatakan Anies-Sandi unggul 57,56 persen dari Ahok-Djarot yang memperoleh 42,44 persen, ada pula LSI Denny JA yang juga menyatakan bahwa Anies-Sandi menang 57,67 persen dari Ahok-Djarot yang mendapatkan 42,33 persen, dan terakhir SMRC yang menyatakan keunggulan mutlak Anies-Sandi 58,06 persen atas Ahok-Djarot yang cuma 41,94 persen.
Quick count di Pilgub DKI Jakarta dua tahun lalu ternyata tidak berbeda dengan hasil akhir real count yang dirilis oleh KPU DKI Jakarta. KPU DKI Jakarta menyatakan kemenangan Anies-Sandi dengan persentase suara sebesar 57,96 persen, sedangkan Ahok-Djarot kalah suara dengan 42,04 persen. Anggapan bahwa hasil quick count di Pilgub DKI Jakarta berbanding terbalik dengan real count dari KPU ternyata tidak benar adanya. Untuk itu sulit jika ingin menyamakan apa yang terjadi di Pilgub DKI Jakarta dengan Pilpres kali ini.
Hal yang cukup menarik perhatian saya adalah reaksi dari kedua kontestannya sendiri. Jokowi sebagai Capres yang dinyatakan menang versi quick count ternyata tidak terlalu menunjukkan euforia yang berlebihan. Jokowi menyatakan masih harus menunggu hasil resmi dari KPU saja. Lain cerita dengan Prabowo Subianto, di mana Prabowo justru secara terbuka mendeklarasikan kemenangannya. Prabowo dan timnya mengklaim menang 62 persen dari hasil real count internal mereka serta tidak memperdulikan quick count dari berbagai lembaga survei yang ada.
Ya, selama hasil hitung resmi dari KPU belum terekap secara lengkap, sah-sah saja mau menyikapinya seperti apa karena berbagai kemungkinan masih bisa terjadi. Di satu sisi, kita juga harus tahu bahwa proses menuju hasil penghitungan suara resmi masih sangat panjang.
Betapa tidak, ada sekitar 190 juta pemilih tetap yang terdaftar dengan total TPS berjumlah 809 ribuan yang tersebar di seluruh Indonesia, tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk merekap suaranya secara keseluruhan. Untuk para penyelenggara dan pihak terkait, saya doakan agar tetap diberikan semangat dan mampu melewati proses ini secara profesional.
Pada akhirnya kita harus mengakui betapa riuhnya pesta demokrasi kali ini. Saya berharap agar para pendukung dan elite dari kedua paslon bisa memberikan contoh yang baik dengan tidak menambah panas suasana. Jangan sampai suasana sebelum maupun setelah pencoblosan masih sama saja: masih kubu-kubuan dan masih saling menebar kebencian. Sebagai warga negara yang baik, kita tetap harus mendukung siapa pun nanti Presiden yang terpilih. ***
Penulis adalah pemerhati sosial dan politik.