
Oleh: Yudriza Sholihin. Setiap tahun semua perguruan tinggi di Indonesia menerima mahasiswa baru. Dalam proses agar bisa lulus untuk duduk di kampus idaman siswa SMA harus melewati berbagai tantangan. Suasana nan penuh tegang dan gelisah selalu terpotret setiap pergantian ajaran baru. Bukan tanpa alasan, sebab siswa SMA saat itu harus memikirkan tempat berlabuh selanjutnya untuk bisa menimba pendidikan yang lebih baik.
Dengan keadaan ini membuat mereka harus rela berjam-jam untuk belajar dan ada pula yang mengeluarkan uang sekian rupiah untuk mengikuti bimbingan belajar agar bisa lulus di universitas yang mereka impikan.
Salah satu jalur agar siswa bisa diterima di perguruan tinggi yakni SNMPTN (Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri). untuk tahun ini pada sabtu, 23 Maret 2019 merupakan hari pengumuman hasil SNMPTN. sekaligus hari yang bersejarah bagi siswa, khususnya mereka yang ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri.
Dikutip pada laman http://ristekdikti.go.id, sebanyak 92.331 siswa dinyatakan lulus, dari jumlah 478.608 pendaftar. 26.217 diantaranya merupakan siswa dari peserta beasiswa Bidikmisi.
Nah dari hasil SNMPTN tersebut, menurut penulis ada beberapa hal yang sampai saat ini masih menjadi masalah yang tidak terselesaikan dan hal ini dari tahun ke tahun selalu dirasakan oleh siswa tersendiri.
Pertama, pada saat siswa mendaftarkan diri di perguruan tinggi, penulis acapkali menemukan siswa yang asal sekedar “ikut-ikutan daftar”. Dalam hal ini mereka sama sekali tidak berminat untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Alhasil ketika pengumuman dirilis dan kemudian lulus, akan tetapi mereka sama sekali tidak merasa puas dan bahagia. Kemudian selanjutnya tidak melakukan pendaftaran ulang di universitas tempat mereka lulus. Tentu hal ini sungguh amat merugikan sekolah terkhususnya siswa yang gagal dan sangat ingin mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Kasus ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri khususnya pihak sekolah agar benar-benar selektif terhadap siswa yang ingin mendaftar di perguruan tinggi.
Kedua, Saat-saat menjelang pendaftaran masalah terbesar yang dihadapi siswa adalah dilema dalam memilih jurusan. Karena pada realitasnya yang penulis temui, jurusan yang ingin diambil oleh mereka lebih mempertimbangkan dengan pada satu pertanyaan yang materialistis yakni “Setelah tamat dari jurusan ini saya bekerja dimana yaa?”. akhirnya kesalahanpun terjadi dalam memilih jurusan yang tidak merupakan kompetensi mereka. Itulah yang membuat beberapa mahasiwa akhirnya pindah universitas, bahkan ada memilih berhenti kuliah di tengah jalan.
Ketiga, masalah selanjutnya adalah biaya untuk kuliah. Beberapa dari siswa banyak penulis temui ketika mendengar kelulusan mereka sangat bahagia. Akan tetapi kebahagiaan itu menjadi sirna dan berubah menjadi kesedihan karena mereka tidak mempunyai biaya untuk memenuhi kebutuhan sebagai mahasiswa. Walaupun pemerintah sudah menyediakan beasiswa Bidikmisi yang merupakan beasiswa khusus untuk mahasiswa yang kurang mampu, akan tetapi persoalannya pun juga sama. Banyak ditemukan penerima beasiswa ini tidak tepat sasaran.
Keempat, nasib siswa yang tidak lulus. barangkali kita mungkin akan gembira dengan kabar kelulusan siswa yang lulus, tapi apakah pernah terlintas dalam pikiran kita untuk bertanya bagaimana keadaan mereka yang tidak lulus?.
Tentu mereka harus menahan perih dan harapan hancur seketika di hari ketika pengumuman kelulusan dirilis. Fenomena seperti ini selalu ada di setiap tahun. Sungguh sangat naif dan sekaligus memilukan, siswa yang tidak memenuhi syarat dan tidak berkompeten siap-siap menelan pil pahit karena gagal lulus. Beberapa dari mereka ada yang menganggur lalu menjelma bak “buih dilautan yang terombang ambing sekehendak ombak”.
Itulah beberapa masalah yang menurut penulis amat serius dan harus diselesaikan. Beberapa dari kita sering membaca berita betapa sulitnya mendapatkan kesempatan kuliah. Untuk bisa diterima di universitas pilihan susahnya setengah mati. Kalaupun diterima bak lolos dari lubang jarum. Sudah masuk, ternyata banyak yang salah jurusan dan biayanya pun juga mahal. Oleh karena itu amat penting menjadi perhatian dari semua stake holders, khususnya pemerintah itu sendiri karena sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) bahwa “Setiap warga negara berhak untuk mendapat Pendidikan”. ***
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Andalas.