Oleh: Hari Murti, S. Sos
DATA-data kemiskinan kita, walaupun cenderung lambat, menunjukkan perbaikan dalam 4 tahun belakangan ini. Jumlah orang miskin bisa diturunkan menjadi 1 digit, sekitar 9 persen-an. Tingkat ketimpangan (gini ratio) turun sekitar 0,39, dari awalnya 0,41. Demikian juga dengan indikator-indikator lainnya, misalnnya jumlah penganggur, juga menunjukkan perbaikan. Setidaknya, tidak bertambah buruk kondisinya. Secara umum bisa dikatakan bahwa ada perbaikan atas kondisi kemiskinan.
Dana desa, program-program bantuan sosial, dan efisiensi aneka-subsidi ditunjuk sebagai faktor utama yang mendorong perbaikan data-data kemiskinan tersebut. Dana desa misalnya, demikian banyak membuka lapangan kerja di pedesaan dan memperlancar arus barang dan jasa di desa. Demikian juga dengan program-program sosial, seperti Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Pintar, Beras Sejahtera, Kartu Indonesia Sehat, dan sederet program lainnya, hal ini turut membuat beban hidup orang miskin menjadi lebih ringan. Selain itu, efisiensi subsidi, terutama BBM, diklaim pemerintah membuat subsidi menjadi lebih tepat sasaran. Semua ini mendorong penurunan jumlah kemiskinan.
Uraian di atas sekaligus menunjukkan bahwa model pengentasan kemiskinan di Indonesia sebagian masih berpola bantuan langsung murni negara kepada sasaran. Dalam bahasa sloganistik selama ini, kita masih harus memberi ikan, bukan kail. Hal ini disebabkan sumber daya manusia yang dimiliki masyarakat kelompok ini masih rendah. Mereka belum mampu mengelola bantuan yang tidak lunak, misalnya pinjaman modal usaha, penyediaan pasar, dan lainnya, sehingga masih harus diberi bantuan murni. Memang, tidak mudah dan tidak bisa cepat mengentaskan kemiskinan dengan cara “memberi kail” tadi. Perlu upaya pemerintah yang panjang dan penuh komitmen agar kelompok masyarakat yang ini bisa mandiri.
Kail dan Ikan
Pendidikan adalah masa transisi agar penyandang kemiskian mampu bertransformasi dari menerima ikan bantuan kepada menggunakan kail kemandirian. Pendidikan adalah proses yang bisa merubah pola dari menerima – pakai jadi mengelola - berkembang. Orang miskin harus benar-benar terurus pendidikannya, agar mampu melangkah dari model bantuan langsung murni (ikan) kepada bantuan modal untuk mandiri (kail). Pendidikan adalah tongkat penyanggah dalam terapi kelumpuhan kemiskinan kembali tegak kemandirian.
Masalahnya, dana pendidikan masih dilihat secara eksklusif, masih sebatas untuk operasional pendidikan saja. Dana pendidikan belum dilihat dari sisi pemerataan dan pengentasan kemiskinannya secara langsung pada masyarakat bawah. Padahal, setiap tahun hampir 500-an triliun dana pendidikan, dan terus meningkat sesuai dengan patokan 20 persen dari total APBN. Kalau dana sekitar 500-an triliun itu dilakukan terobosan untuk mengentaskan kemiskinan dari sektor pendidikan, pasti sangat besar dampaknya. Sebagai contoh, dana desa sebesar 187 triliun pada 2018 sering disebut-sebut Presiden Joko Widodo sebagai dana yang sangat besar jumlahnya, dan sangat besar dampaknya dalam pengentasan kemiskinan dan pemerataan desa terhadap kota. Bayangkan kalau 500-an triliun dana pendidikan itu dikelola agar berdampak langsung dan tidak langsung dalam mengentaskan kemiskinan, tentu akan sangat besar dampaknya dalam memberi ikan sekaligus menyiapkan kail untuk orang miskin.
Lalu, apa saja yang bisa dilakukan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan melalui dana pendidikan secara langsung dan tidak langsung?
Secara Langsung
Dana pendidikan sekitar 500-an triliun itu sebagian terbesar mengalir ke lembaga-lembaga pendidikan milik negara (sekolah/universitas negeri/pendidikan kedinasan). Hanya sebagian kecil saja yang mengalir ke lembaga pendidikan swasta. Sayangnya, kalau tidak ingin disebut ironi, sebagian terbesar siswa lembaga pendidikan negeri bukan berasal dari keluarga miskin. Sedikit sekali anak orang miskin – dengan garis kemiskinan 2 dolar per kapita per hari sebagaimana standar Bank Dunia – yang bersekolah di SMA/SMK Negeri, apalagi universitas negeri. Lihatlah di sekolah negeri favorit, katakanlah SMP/SMA unggulan, biasanya ditandai dengan nomor sekolah 1 dan 2, hampir seluruhnya bukan anak orang miskin.
Artinya, siswa yang memang sudah punya sumber daya ekonomi baik malah masuk ke sekolah dengan anggaran biaya negara yang besar dan berkualitas baik. Orangtuanya yang sudah berkemampuan malah diperingan lagi dengan biaya pendidikan yang ringan dan kualitas pendidikan yang lebih baik di sekolah negeri. Sehingga, mereka memiliki masa depan yang lebih. Sedangkan anak orang miskin, mereka harus puas duduk di bangku sekolah-sekolah yang “terjangkau” biayanya dan kualitasnya tidak sebaik sekolah negeri. Lalu, setelah anak-anak ini lepas dari bangku sekolah, tamat, mereka harus saling bersaing lagi dengan sumber daya dan sumber dana modal awal yang sama sekali tidak sebanding. Apa jadinya? Yang kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin.
Ke depan, sebaiknya lembaga pendidikan negeri di berbagai jenjang hanya boleh dimasuki oleh orang miskin. Riil-nya, jika ingin masuk sekolah/universitas negeri, harus bawa surat keterangan miskin. Jika pun tidak bisa sepenuhnya, setidaknya 80 persen bangku sekolah negeri diisi oleh anak orang miskin. Dengan begitu, dana pendidikan 500-an triliun itu langsung menyentuh orang miskin, baik dari aspek keringanan biaya yang harus ditanggung orangtua maupun dari aspek kualitas pendidikan yang dinikmati oleh siswa/mahasiswa.
Sebaliknya, jika memang sudah berkemampuan, sebaiknya siswa/mahasiswa diarahkan ke sekolah/universitas swasta. Soal kualitas, kalau biaya pendidikannya memadai seperti negeri, pasti lembaga pendidikan swasta juga akan baik. Lebih dari itu, keberadaan orang-orang mampu di sekolah swasta akan menggerakkan sektor swasta menjadi lebih hidup lagi. Kita tahu bahwa kemajuan ekonomi sebuah negara sangat bergantung kepada jumlah wiraswastanya. Kalau anak-anak orang tidak miskin itu bersekolah dan terbiasa dengan iklim swasta, tentu akan sangat besar daya dorongnya pada perekonomian kelak mereka tamat.
Tidak Langsung
Anak orang mampu memiliki banyak sumber untuk menempa kualitasnya, bukan semata dari sekolah saja. Mereka bisa memanggil guru aneka pelajaran ke rumah. Gizi, waktu, dan suasana mereka lebih memadai untuk menempa kualitas yang baik itu. Maka, jika mereka diarahkan ke sekolah swasta yang – kata sebagian orang – kualitasnya masih di bawah negeri, situasinya tidak terlalu mengkhawatirkan.
Sebaliknya, sekolah negeri yang kualitasnya disebut-sebut sebagian orang lebih baik dominan untuk anak orang tidak berpunya, maka mereka akan punya sarana peningkatan kualitas diri yang lebih baik. Semua ini pasti akan berujung pada tingkat kecerahan masa depan mereka pula. Dan, yang paling penting, beban keuangan orangtua mereka untuk memperoleh pendidikan tinggi tidak terlalu berat, sehingga anggaran keluarga bisa digunakan untuk keperluan membangun gizi dan kualitas keluarga.
Kita memang meletakkan kemiskinan sebagai musuh terbesar bangsa ini, bukan bangsa asing seperti yang digembar-gemborkan di tahun politik ini. Sebab, sebagian terbesar bangsa ini adalah orang yang masih babak belur digulat kemiskinan. Kalau sebagian terbesar anak bangsa ini harus selalu di jalur-jalur pendidikan yang secara kualitas masih memprihatinkan, kita tahu apa akibatnya bagi masa depan mereka nantinya. Oleh karena itu, sebuah terobosan yang secara kontekstual adalah kecil, lembaga pendidikan negeri hanya untuk orang miskin, maka daya dorongnya pada pengentasan kemiskinan akan sangat besar.
Kita tidak menutup mata bahwa pemerintah memperhatikan anak-anak orang miskin dengan biaya pendidikan yang diusahakan seringan mungkin. Banyak sekali program pendidikan yang menjurus kepada peringanan biaya pendidikan anak-anak orang miskin. Tetapi, kita butuh segalanya untuk melawan musuh terbesar bangsa ini, yaitu kemiskinan. Sekolah negeri yang khusus hanya untuk anak orang miskin adalah jawaban besarnya saat ini. Soal efek sampingnya kelak, misalnya terjadinya peng-kasta-an sosial pendidikan, bisa kita carikan jalan keluarnya nanti. ***
Penulis adalah pengajar pada perguruan tinggi. Ketua Pokja pada Forum Penulis Buku Muatan Lokal Sumatera Utara.