Menang-Kalah dalam Sebuah Kontestasi

menang-kalah-dalam-sebuah-kontestasi

Oleh: Karnadi. 17 April 2019 merupakan   momentum bersejarah bagi bangsa dan negara Indonesia. Hal ini dikare­nakan Pemilu tahun 2019 tersebut serentak dilaksanakan di Indonesia. Memilih anggota DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPRRI, DPD serta presiden dan wakil presiden. Suatu pembelajaran politik dan demokrasi yang sangat berharga bagi masyarakat.

Walaupun mungkin dalam pelak­sa­naannya masih muncul berbagai ke­kurangan. Mulai dari kotak suara, ker­tas suara yang kurang, distribusi dan lain-lain. tetapi setidaknya kita patut berbangga bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 berlangsung dengan aman, tertib dan sukses.

Pemilu serentak yang diadakan pa­da tanggal 17 April 2019 menjadi ca­­tatan sejarah pemilu di Indonesia, ka­rena tergolong sangat kompleks, unik, dan membutuhkan sosialisasi dan pendidikan politik yang masif agar mengurangi tingkat kesulitan bagi para pemilih pada saat berada di bi­lik suara. Berhasil dan gagalnya se­bagai peserta pemilu adalah konse­kuensi demokrasi. Yang jauh lebih pen­ting bangsa ini harus memahami bah­wa substansi dari diselenggara­kannya pemilu sebagai sarana kedau­latan rakyat.

Pemilu ini dihadirkan sebagai ins­trumen untuk memastikan adanya tran­sisi dan rotasi kekuasaan berjalan de­mokratis. Serta diharapkan menja­di­ sarana pendorong akunta­bilitas dan kon­trol publik terhadap negara. Se­hing­ga, kinerja pemerintah dalam me­lak­­sanakan program kerja sesuai dengan visi dan misi yang disam­pai­kan ketika kampanye dapat dievaluasi. Baik program kerja yang sudah dilak­sanakan maupun program kerja yang masih terkendala atau belum dilaksa­na­kan.

 Merujuk pada Pemilu 2019 yang sudah kita laksanakan semua pihak yang berkontestasi tentu berkeinginan men­jadi yang terbaik. Pada pileg mi­salnya, caleg yang berkontestasi tentu ingin “duduk” (baca menang) di lem­baga legislatif  yaitu DPRD kabupa­ten/kota, DPRD provinsi, DPRRI atau DPD. Bagi Capres dan Cawapres yang berkontestasi di pilpres tentunya juga ingin menang menjadi Presiden dan wakil presiden pilihan  rakyat. Per­soalannya adalah dalam sebuah ajang kon­testasi tentu hanya ada 1 orang pemenang. Mam­pukah para kontestan yang berkontes­tasi pada Pemilu 2019 siap kalah da­lam ajang demokrasi lima tahunan tersebut?

Sikap Kesatria      

Kontestasi pada Pemilu 2019 ini banyak menyita perhatian kita. Kontestasi yang dimulai pada Oktober 2018 hingga saat ini tentunya menyita waktu, tenaga maupun pikiran. Baik itu dilakukan oleh para kontestan mau­pun pendukung paslon. Hingga pasca Pe­milu pun aroma kontestasi tersebut ma­sih jelas terlihat. Apalagi setelah be­berapa lembaga survei menam­pil­kan quick qount. Padahal pihak KPU ma­sih menghitung  rekapi­tu­lasi per­olehan suara dari masih-ma­sing TPS di setiap daerah. Saling klaim ke­me­nangan pun terjadi. Hal ini tentu me­nim­bulkan polemik di masyarakat meng­ingat pengumu­man resmi hasil Pemilu 2019 akan disampaikan tang­gal 22  Mei 2019.

Inilah yang membuat unik  Pemilu 2019. Serta jadi pelajaran politik bagi rakyat kita. Masyarakat dapat menilai  bagaimana para kontestan pasca Pe­milu. Apakah mampu bersikap ke­satria ketika mengalami keka­lahan. Atau jumawa ketika menang. Siap me­nang atau kalah dalam  sebuah kon­testasi merupakan perwu­judan dari sikap qonaah.

Kegagalan bukan berarti berhenti mengabdikan diri pada masyarakat. Sehingga kegagalan dalam pileg dan pilpres tidak dipandang sebagai suatu momok yang berakhir dengan frustasi. Dalam politik, dipastikan ada kalah- menang, sehingga semua pihak patut menyadari bahwa kekua­saan dalam politik itu bukanlah segala-galanya.

Oleh karena itu, kalah dan menang hanyalah persepsi dari sebuah hasil akhir. Ketika nilai-nilai sportifitas dan etika hidup di dalam jiwa kita junjung tinggi, maka dalam diri kita akan mengandung kekuatan untuk meneri­ma kalah dan menang dengan penuh tang­gung jawab dan legowo.

Seseorang tidak ikhlas menerima ke­kalahan dari sebuah pertandingan yang terbuka dan terukur dengan atu­ran, maka dia sedang menciptakan mons­ter amarah yang membuat di­rinya kalah oleh dirinya sendiri. Untuk itu, menerima kekalahan adalah bukti bahwa kita telah berkon­tribusi untuk kemenangan.

Dengan demikian,  kalaupun gagal sebagai peserta pemilu, setidaknya kita telah banyak memperoleh pendidikan politik, setidaknya punya pengalaman politik, paham akan soal sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), ambang batas parlemen, metode konversi suara, dan alokasi kursi per dapil.

Semua itu menjadi pelajaran politik berharga ketika mengalami kalah-menang dalam kompetisi. Menerima kekalahan atas dukungan dan kegagalan sebagai peserta pemilu harus disikapi secara ksatria dan bukan akhir dari segalanya.

Dalam kompetisi para peserta harus menjalankan fair play, bertanding mengikuti semua aturan, jujur, dan tidak boleh ada kecurangan, siap menang dan siap kalah. Sebab, meskipun ada kemungkinan seri, namun menang-kalah merupakan keniscayaan dalam kompetisi. Kita berharap agar masyarakat dapat menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi. Bahwa siapa pun pasangan paslon yang terpilih nanti dan telah ditetapkan secara resmi oleh pihak penyelenggara Pemilu, agar masyarakat dapat menerima­nya. Yang kalah legowo, yang menang tidak euforia. Sehingga persatuan dan kesatuan bangsa yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945 tetap terjaga. Aamiin. ***

Penulis adalah Alumni IKIP Medan dan PPS UISU Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi