Berbahasa dalam Politik

berbahasa-dalam-politik

Oleh: Alkaushar Lingga

POLITIK itu kotor dan politik itu kejam, pe­patah itu me­mang benar adanya. Namun sampai hari ini belum dite­mu­kan de­­fenisi tepat mengapa banyak orang ter­tarik masuk dalam ling­kup politik. Ba­nyak orang yang berkubang di dalamnya dari berbagai latar belakang pro­fesi. Apa­kah begitu mudah atau ‘mu­rahannya’ politik itu?

Belakangan ini politik begitu senti­men dari berbagai sudut ruang. Di tahun politik menuju demokrasi besar keadaan begitu tak karuan baik di dunia nyata dan du­nia maya. Dari kalangan atas, me­ne­ngah dan ke bawah berbicara politik se­tiap harinya. Di ruang kantor, pusat per­belanjaan, kedai kopi sampai acara ari­san tema politik begitu menarik.

Perbincangan politik ada berdampak po­sitif dan negatif. Perbincangan itu be­ra­gam pendapat, komentar, kritik bah­kan caci makian. Bahasa-bahasa dalam per­bincangan politik kian masuk pada ruang yang kacau balau. Bagaimana tidak ke­egois­an membuat cara berpikir men­jadi tak masuk akal dan penuh kata-kata yang buruk terucapkan.

Alangkah indahnya apabila pada pes­ta demokrasi pemilihan umum ber­ko­mentar mengenai politik menggunakan ba­hasa santun. Pemakaian bahasa yang so­pan santun akan mempe­ngaruhi suk­ses­nya pesta demokrasi ini. Peran bahasa dalam berkomunikasi sangat menentu­kan baik atau tidaknya situasi dan kon­disi. Banyak berdiskusi atau berdebat me­ngenai politik berakhir dengan hubu­ngan yang renggang bahkan berkelahi.

Perdebatan ide dan gagasan tentang mengkampanyekan calon pemimpin yang didukung berakhir pada perkela­hian secara fisik. Kejadian seperti itu banyak kita temui di masya­rakat saat ini pa­dahal bukan itu yang kita inginkan. Pe­ristiwa semacam itu terjadi bersebab ka­rena buruknya cara berbahasa kita ber­ko­munikasi dalam demokrasi.

Seperti yang diungkapkan Gorys Ke­raf bahwa, bahasa me­rupakan alat komunikasi yang dominan karena salah satu fungsi bahasa adalah untuk menga­da­kan interaksi dan adaptasi sosial. Ar­tinya karena bahasa sebagai alat masuk untuk ber­interaksi maka sopan santun harus kita mulai saat berba­hasa. Agar terjadinya sikap dan maksud yang baik ketika komunikasi tersebut dilakukan. Jika seseorang berbahasa yang santun kepada orang lain maka situasi santun akan tercipta dan sebaliknya.

Banyak yang menganggap remeh tentang berbahasa dalam berkomunikasi ter­utama berbicara konteks politik. Ke­inginan sang pendukung agar berhasil meng­kampanyekan jagoannya kerap ber­bahasa tendensius menyebabkan kere­ta­kan hubungan sosial. Kata-kata metafora yang dipakai kerap berlebihan dan tidak tepat sehingga dicibir oleh orang lain. Akhir­nya gagasan yang ingin disam­pai­kan menjadi pertarungan kata yang bu­ruk sehingga politik semakin kotor.

Begitu pula bahasa-bahasa calon pe­mimpin dan tim peme­nangan kerap se­kali menjadi contoh berbahasa yang bu­ruk. Manuver-manuver politik yang di­lakukan dengan medium bahasa yang ti­dak tepat menjadikan situasi politik me­manas dan kontroversial. Keadaan semacam itu menyebabkan hilang­nya keakraban sesama masyarakat dalam pesta demokrasi yang sedang dihelat.

Situasi dan kondisi politik bisa ditentukan dengan cara ber­bahasa setiap orang. Bahasa-bahasa yang bersifat per­suasif dan tidak menggurui menjadi con­toh cara berbahasa yang baik dalam ko­mu­nikasi politik. Tentu pemilihan kata da­lam berba­hasa membicarakan politik men­jadikan gagasan ditanggapi de­ngan baik pula oleh lawan bicara.

Menghilangkan bahasa-bahasa bersi­fat tendensius dan tidak menyindir kubu lain akan mendapatkan apresiasi positif. Wa­lau perbedaan pilihan dan pandangan terhadap calon pemimpin begitu kontras te­tapi disampaikan dengan bahasa san­tun maka kondisi akan baik. Begitulah se­benarnya cita-cita demokrasi bersuara lan­tang tapi penuh rasa hormat bukan ber­suara sesuka hati menyakitkan pera­saan.

Inteferensi berbahasa dalam konteks politik sangat memiliki peranan penting menciptakan kondusifitas hubungan antar masyarakat. Bahasa yang baik akan menjadikan kondisi yang baik. Begitu pula sebaliknya berbahasa dengan caci makian akan merusak nilai-nilai kehidu­pan dan berdampak buruk pada masa men­datang. Seperti yang kita saksikan saat ini banyak yang perang dingin ka­rena membicarakan politik dan meng­gu­nakan bahasa-bahasa bersemantik ten­den­sius. Sehingga mereduksi pada hubu­ngan antar keduanya menjadi renggang.

Politik digunakan untuk merebut ke­kuasaan serta memper­tahan­kan kekua­saan. Dalam demokrasi tujuan berpolitik un­tuk mendapatkan mandat rakyat se­bagai pemimpin dan dapat mense­jah­te­ra­kan rakyat. Tujuan luhur itu sangat baik tetapi harus dilakukan dengan cara yang baik pula bukan dengan cara yang kotor. Cita-cita demokrasi agar terwujud de­ngan etika dapat dimulai dengan sikap ber­bahasa orang politik.

Sebab, para pelaku yang berke­cim­pung dalam politik meru­pakan sosok yang diperhatikan oleh masyarakat luas. Perilaku berbahasa dalam politik menja­di barometer sebagai contoh mencipta­kan kehangatan positif berdemokrasi. Ketika itu terjadi maka kebebasan berpendapat menjadi bermanfaat dan sebagai penyatu bagi bangsa. Kehanga­tan berdemokrasi harus kita pupuk dengan kesadaran bahwa seluruh masya­ra­kat adalah saudara kita sebangsa.

Sesuai dengan butir dalam sumpah pemuda yang bermakna bahasa adalah pemersatu bangsa yang berlatar banyak suku. Ma­ka kita sebagai rakyat yang taat harus memiliki etika serta menjunjung ke­­jujuran dan kesantunan berbahasa. Ke­tika pendapat kita berbeda dengan orang lain bukan amarah yang kita tampilkan, tetapi bagaimana memberi­kan panda­ngan de­ngan bijaksana dan mam­pu di­tangkap secara logika dan pe­ma­haman orang lain.

Penulis memperhatikan selalu para juru kampanye yang berdebat di televisi me­nyampaikan gagasan dengan suara ke­ras tetapi bahasa yang digunakan ku­rang tepat cenderung bahasa emosi, ba­hasa yang kontroversi. Menimbulkan per­sepsi berbe­da di masyarakat dan men­jadikan permasalahan baru. Tentu cara berbahasa seperti itu tidak efektif dan salah kaprah. Se­mestinya dalam diskusi kesempatan yang baik menyam­paikan informasi bersifat edukasi kepada ma­sya­rakat tentang situasi dan kondisi politik terkini.

Dalam berbahasa konteks politik kita harus sadar bahwa seluruh masyarakat Indonesia adalah saudara kita sebangsa. Politik hanya jalan mendapatkan kekua­sa­an yang tujuannya memakmurkan ke­hidupan seluruh rakyat. Ketika berbeda pi­lihan politik bukan menjadikan hal ter­sebut sebagai bara api yang harus dila­wan dengan bara api. Tetapi perbedaan pilihan politik memotivasi berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan.

Pemerintah melalui Badan Pem­bi­na­an dan Pengembangan bahasa sebe­nar­nya telah berupaya untuk mem­per­baiki ba­hasa di depan umum dengan program-pro­gam unggulan. Seperti peng­uta­maan ba­hasa Indonesia didepan pu­blik, peng­anu­gra­han kepada tokoh yang baik da­lam berbahasa, pemilihan duta ba­hasa, uji kompetensi bahasa Indonesia, pelati­h­an atau penyu­luhan tentang kebahas­a­an, penelitian dan program-program lain­nya.

Di Sumatera Utara sendiri telah ada Perda No. 8 Tahun 2017 tentang Pengu­ta­­maan Bahasa Indonesia dan Perlindu­ngan Bahasa Daerah dan Sastra Daerah di muka umum. Maksud perda ini bukan hanya mengutamakan bahasa Indonesia dipakai di depan umum tetapi juga ba­gai­­mana peng­utamaan etika berbahasa da­­lam me­nyampaikan informasi atau opi­ni. Agar ke­hi­dupan yang rukun, da­mai dan ber­ke­wi­ba­waan tercipta dimulai den­gan ber­bahasa yang baik dan benar serta santun.

Kita berharap masyarakat Indonesia khususnya politisi memperhatikan ba­gaimana berbahasa dalam berpolitik agar kehidupan politik dan masyarakat berjalan baik. Sudah saatnya kita sadar sikap berbahasa sangat berperan dengan kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana kita berbahasa menunjukkan bagaimana kualitas diri kita. Semakin santun kita berbahasa maka semakin baik kondisi po­litik kita yang carut marut. Maka ter­lahir pula sikap saling hormat meng­hor­mati antar anak bangsa. ***

Penulis adalah Alumni FKIP UMSU dan saat ini sedang menyelesaikan program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UMN Al-Wahsliyah Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi