
Oleh: Al-Mahfud
PERINGATAN Isra Miraj Nabi Muhammad Saw menjadi momentum penting guna melakukan renungan. Pemaknaan atas Isra’ Mi’raj tahun demi tahun selalu memberi energi baru bagi kita, baik dalam menguatkan keimanan maupun dalam menghadapi berbagai problem hidup di dunia. Selain menjadi peristiwa monumental yang dialami Rasulullah Saw, yang mana beliau diperintahkan menyampaikan kepada umatnya untuk salat wajib lima waktu sehari semalam, rangkaian peristiwa Isra Miraj juga memancarkan banyak pesan yang bisa kita resapi hari ini.
Kehidupan di era modern yang semakin mendorong orang pada pragmatisme, materialisme, dan juga hedonisme, kerap melemparkan kita pada kondisi terasing dan hampa. Banyak orang bekerja keras mencari kekayaan, bahkan tak jarang sampai terjerumus dalam kesesatan. Bahkan, ketika kekayaan sudah di tangan, hal tersebut tak menjamin orang hidup tentram dan damai. Kegersangan hati dan batin kerap membuat orang terperangkap dalam hidup yang hampa.
Kehampaan hidup membuat orang mulai sadar akan kebutuhan spiritual, kebutuhan untuk beribadah, mengabdi dan mendekatkan diri pada Illahi. Namun, mendekatkan diri pada Allah Swt butuh pensucian hati. Seperti dialami Rasulullah Saw. sebelum melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj, dada beliau dibelah dan dibersihkan. Rasullullah Saw bersabda, “Kemudian hatiku dikeluarkan, lalu dicuci dengan air zamzam, lalu dikembalikan ke tempatnya, dan diisi dengan keimanan dan hikmah...” (HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
Hal tersebut memberi pelajaran penting bagi kita bahwa siapa pun yang hendak mendekatkan diri pada Allah, atau ingin naik kelas menjadi manusia yang lebih mulia, ia mesti bisa membersihkan hatinya. Bahkan, Rasulullah Saw, sosok teladan utama umat Muslim, yang dijaga dari dosa-dosa (maksum) pun tetap menjalani proses “pencucian hati” sebelum menghadap Allah Swt. Apalagi kita, umat yang hidup di akhir zaman, yang sering hanyut dalam kekhilafan, kesalahan, dan dosa yang terus mengerak dan membuat hati kita kotor.
Jika hendak mendekatkan diri pada Allah, pada kesejatian, maka membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati menjadi hal mendasar. Manusia modern dibelenggu macam-macam penyakit hati, seperti iri, dengki, riya, sombong, kebencian, dan sebagainya. Penyakit-penyakit tersebut jika kita renungi merupakan akar dari banyak persoalan di masyarakat. Tindak kriminal, korupsi, pertengkaran, dan sebagainya, muncul karena hati yang dibelenggu penyakit-penyakit tersebut.
Kemudian, salah satu bagian penting dari peristiwa Isra Miraj adalah saat Rasulullah Saw. diperintahkan Allah Saw untuk menyampaikan kewajiban salat 20 kali sehari kepada umatnya. Banyak sumber mengisahkan, pada bagian ini, saat Rasulullah Saw hendak kembali turun ke langit ketujuh, beliau bertemu Nabi Musa dan mendapatkan himbauan untuk kembali menghadap Allah dan meminta keringanan mengenai kewajiban salat 50 kali.
Nabi Musa tahu kewajiban salat 50 kali sehari akan dirasa sangat berat bagi umat Rasulullah Saw. Nabi pun kembali menghadap kepada-Nya dan mendapatkan keringanan. Namun, ketika beliau kembali turun, Nabi Musa kembali mengatakan hal yang sama. Rasulullah Saw sempat beberapa kali bolak-balik menghadap Allah Swt sampai akhirnya jumlah salat menjadi lima kali sehari. Tapi, ketika Nabi Saw turun, Nabi Musa masih saja menghimbau agar beliau minta keringanan lagi. Rasulullah Saw. pun menjawab, “Aku telah berkali-kali menghadap Tuhanku, memohon kepada-Nya sampai aku merasa malu...” (Abu Bakr Siraj al-Din, 2016: 145-147).
Bagian tersebut memberi kesadaran pada kita, umat Muslim, mengenai bagaimana perjuangan Rasulullah Saw dalam meminta keringanan kepada Allah Saw, untuk kita, umatnya. Bahkan, hal tersebut dilakukan berkali-kali hingga beliau merasa malu kepada-Nya. Maka alangkah tak tahu berterima kasih kita hari ini jika masih malas, tak tepat waktu, atau masih sering “bolong” dalam menjalankan salat wajib 5 waktu. Di era sekarang, kita gampang larut dalam kesibukan dan hingar bingar hiburan sehingga kadang melalaikan kewajiban salat. Apakah kita akan membuat Rasulullah Saw menjadi semakin malu lagi?
Rasa malu yang diungkapkan Rasulullah Saw. kepada Nabi Musa karena berkali-kali meminta keringanan tersebut juga menjadi teladan penting bagi kita hari ini. Sekarang betapa gampang kita melihat orang-orang yang tak lagi memiliki rasa malu, bahkan ketika telah melakukan tindakan yang kelewat memalukan.
Renungan selanjutnya yang bisa kita dapatkan dari peristiwa Isra Miraj adalah dari kembalinya Nabi Muhammad turun ke bumi setelah beliau di-miraj-kan. Meski sudah bertemu Allah Swt, Nabi Muhammad turun kembali ke bumi untuk membimbing umat mendapatkan petunjuk-Nya. Padahal, bertemu langsung dengan Allah Swt bisa dikatakan menjadi impian dan cita-cita siapa pun yang beriman. Schimmel, dalam bukunya Dan Muhammad adalah Utusan Allah (2019), mengutip kata-kata seorang sufi India, Abdul Quddus Gangohi, (dalam Muhammad Iqbal), yang berkata, “Muhammad dari Arabia naik ke langit tertinggi dan kembali (ke dunia). Demi Allah aku bersumpah, sekiranya aku seperti dia, tentu aku takkan mau kembali”.
Tapi, Rasulullah Saw kembali turun ke bumi, melanjutkan dakwah menyebarkan risalah agama. Meski diberi mukjizat yang mampu membawa beliau menembus langit dan bertemu Sang Pencipta, beliau kembali turun ke bumi, bertemu masyarakat, membimbing umat agar mendapatkan rahmat. Bagi para ulama, ini pelajaran tentang pentingnya perjuangan membumikan ajaran langit. Bagi umat awam seperti kita, ini memberi pesan mengenai pentingnya kepedulian pada orang-orang yang masih berada di bawah, meski diri kita sudah berada di atas. Wallahu a’lam..
Penulis, lulusan IAIN Kudus.