
Oleh: Dr. Muhammad Iqbal Irham, M.Ag.
Zikir merupakan ibadah yang paling mudah dilaksanakan oleh seorang muslim. Dari keseluruhan ibadah yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, berzikir merupakan ibadah yang tidak diemban dengan segudang syarat untuk melakukannya. Seorang muslim dapat melakukannya tatkala sedang berdiri, duduk, berbaring hingga pada semua keadaan. Bahkan, berzikir dapat dilakukan seorang muslim dalam kondisi suci maupun berhadas, sebagaimana pendapat Imam an-Nawawi yang menjelaskan bahwa para ulama sepakat membolehkan berzikir bagi seseorang dalam keadaan hadas maupun junub. Begitu pula bagi wanita yang sedang dalam kondisi haid atau nifas, tiada larangan untuk berzikir. Singkatnya, zikir merupakan ibadah yang begitu dekat dan begitu luang waktunya bagi seorang muslim kapanpun, dimanapun ia berada.
Secara etimologi, zikir berasal dari kata arab, yakni dzakara-yadzkuru-dzikran yang artinya merupakan perbuatan dengan lisan (menyebut, menuturkan, mengatakan) dan dengan hati (mengingat dan menyebut). Belakangan, dari pengertian ini ada yang berpendapat bahwa yang disebut dengan dzikr bidlammi yang dapat diartikan pekerjaan hati dan lisan, sedangkan yang disebut dengan dzikr bilkasri dapat diartikan khusus pekerjaan lisan. Secara terminologi, zikir tidak terlalu jauh pengertiannya dengan makna dari etimologinya, yakni usaha manusia untuk mendekatkan diri pada Allah dengan cara mengingat Allah dan keagungan-Nya. Jika menilik pada pengertian di dalam kamus modern seperti al-Munawir, al-Munjid, dan sebagainya, kita dapat temukan pula penggunaan istilah adz-dzikr dengan arti bertasbih, memuji, serta mengagungkan Allah SWT. Dalam Alquran, kata zikir disebutkan sebanyak 267 kali dalam berbagai bentuk derivasinya.
Sebagai bagian dari ibadah, sesungguhnya insan muslim memiliki kebutuhan yang sangat besar terhadap zikir. Meskipun zikir merupakan ibadah paling dekat dan paling luang waktu, kebanyakan dari muslim salah kaprah terkait implementasi zikir. Mayoritas menganggap bahwa zikir hanya dilakukan bersamaan dengan ibadah utama lainnya seperti shalat. Tatkala selesai shalat, zikir dilaksanakan dengan anggapan pada waktu tersebut adalah waktu yang utama. Inilah pemikiran yang harus diluruskan agar tidak salah paham dengan makna zikir itu sendiri. Secara harfiah, tidak salah jika seorang muslim melaksanakan zikir setelah shalat. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah tiap diri seorang muslim sudah merasa pantas dan yakin dengan pelaksanaan zikir yang demikian adanya? Sedangkan waktu yang diberikan Allah ternyata tidak sedikit bagi seorang muslim untuk berzikir?
Terkait dengan hal ini, Allah SWT telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah (dengan menyebut nama Allah) dzikir yang sebanyak-banyaknya, Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang” (QS. Al-Ahzab: 41-42). Dalam ayat ini terkandung dua kata kunci yakni orang beriman (Mukmin) dan zikir kepada Allah. Kemudian, ayat ini dengan jelas menyebutkan bahwa orang beriman adalah orang yang zikir kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya. Indikasi ayat bukan berarti mengabaikan zikir bagi seorang muslim setelah melaksanakan shalat. Lebih dari itu, setiap detik nafas insan mukmin dalam hidupnya, diminta untuk selalu zikir/mengingat Allah dalam keadaan apapun. Dengan perintah Allah melalui nash-Nya, zikir pasti memberi dampak baik bagi seorang mukmin. Selain mendapat pahala, Allah memberi sinyal kepada hamba-Nya bahwa tiap kali seorang mukmin mengingat Allah, maka niscaya Allah mengingatnya serta bersama hamba-Nya dimanapun ia berada. Allah berfirman: “Karena itu ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat kepada kalian” (al-Baqarah: 152). Lalu berdasarkan sabda nabi Muhammad SAW: “Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Allah berfirman: Aku selalu bersama hamba-Ku selama ia mengingat-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku.” (HR. Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan mu’allaq menurut Bukhari). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa zikir senantiasa dilakukan setiap saat, tidak hanya dilakukan setelah shalat semata.
Efek yang begitu besar didapatkan dengan amalan zikir/mengingat Allah menjadi satu keyakinan utama bagi insan mukmin bahwa zikir bukan sekedar amalan biasa. Bagi insan mukmin, zikir merupakan ibadah yang porsinya seimbang dengan ibadah mahdhah lainnya. Kedudukan zikir menjadi sama prioritasnya dengan ibadah mahdhah. Hal ini memberi indikasi, jika insan mukmin melalaikan zikir kepada Allah, waktu yang ia lalui saat itu juga dianggap akan menjadi bencana baginya, dan ia akan menyesal dengan penyesalan yang besar. Tentu hal tersebut berdasarkan firman Allah: “Dan sebutlah nama Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf: 205). Dengan kasih sayang-Nya, Allah memberi peringatan bagi insan mukmin agar sadar dan jangan termasuk orang-orang yang lalai. Kesadaran ini yang harus dijaga dengan menyadari bahwa kelalaian dalam mengingat Allah terdapat bahaya besar mengancam, yaitu terjerumusnya diri kepada kefasikan. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Hasyr: 19).
Insan mukmin meyakini bahwa penyebab lalainya diri seseorang atas zikir kepada Allah adalah akibat segala kenikmatan yang disuguhkan dunia. Kenikmatan-kenikmatan dunia yang tiada habisnya mampu membuat manusia lupa dengan kenikmatan-kenikmatan akhirat yang dijanjikan Allah merupakan yang paling indah. Maka bagi insan mukmin, zikir kepada Allah adalah jalan meraih kenikmatan dunia dan akhirat sekaligus. Dengan zikir, kehidupan dunia akan dilalui dengan rasa tenteram karena zikir-lah yang mampu menenteramkan hati manusia. Allah berfirman: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka bisa merasa tenteram dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati akan merasa tenteram” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Ibnu Rajab al-Hanbali berpendapat “Zikir merupakan sebuah kelezatan bagi hati orang-orang yang mengerti” Demikian juga Malik bin Dinar mengatakan: “Tidaklah orang-orang yang merasakan kelezatan bisa merasakan sebagaimana kelezatan yang diraih dengan mengingat Allah”. Menurut ulama tersebut, ketenteraman hati diraih dengan zikir kepada Allah, dan itu merupakan kelezatan yang tiada tara. Allah mempertegas kelezatan hati seorang mukmin sebagaimana Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal” (QS. Al-Anfal: 2). Hal senada disampaikan Allah dalam firman-Nya: “Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Alquran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. Az-Zumar: 23).
Kalau sudah demikian, tentu segala aktifitas dan tindak tanduk insan mukmin di dunia akan selalu mendapat ridho Allah SWT. Apapun yang dihadapi di dunia, selalu dihadapi dengan keyakinan dan keimanan yang kuat lagi kokoh, meyakini selalu mendapatkan ma’unah dan maghfirah dari Allah, mati dengan husnul khotimah serta mendapatkan kemuliaan di akhirat. Sungguh ini semua merupakan keutamaan yang digapai insan mukmin yang senantiasa zikir/mengingat Allah. Mudah-mudahan kita termasuk insan mukmin yang selalu diberi kesadaran dan selamanya berada dalam keimanan yang senantiasa mengingat Allah hingga akhir hayat demi mendapatkan kelezatan dunia dan akhirat. Aamin ya Rab.