Oleh: J Anto
JIKA masyarakat Tiongkok kuno mengenal istilah Tian Gong (Kaisar Langit), dewa tertinggi pemimpin semua dewa, masyarakat Batak Toba mengenal dinasti pilihan dari langit: Singamangaraja. Sebuah dinasti yang berhasil mengharmonikan masyarakat Batak dari praktik tribalisme antarmarga, menghapuskan praktik perbudakan dan mengatur tertib sosial lain lewat kehadiran lembaga Onan.
Di penghujung 1890 dan permulaan 1891, ahli botani dari Italia, Emilio Modigliani, melakukan perjalanan penelitian di Sumatera, daerah Toba khususnya. Salah satu bagian menarik dari perjalanannya adalah saat rombongannya sampai di Bakara. Ia ingin melihat benteng Sisingamangaraja XII yang telah dibakar pasukan Belanda.
“Pada waktu mendarat, ternyata kami sudah ditunggu lebih dari 200 orang.... Pada roman muka mereka tampak jelas rasa was-was dan cemas melihat kedatangan perahu pemerintah. Banyak di antara mereka yang bersenjatakan tombak dan senapan, bersiap-siap kalau-kalau pertempuran akan berkecamuk kembali.”
Perjalanan Modigliani didampingi Ompu Raja Hutsa, yang masih famili dengan Singamangaraja. Tapi karena konflik kekeluargaan, Ompu Raja Hutsa memihak kepada Belanda. Setelah dijelaskan Ompu Raja Hutsa bahwa maksud kedatangan Modigliani untuk sekadar melihat, akhirnya para pengetua berjabat tangan dengan Modigliani.
“Benteng Singamangaraja sebenarnya bernama Lumbanraja dan terletak agak jauh dari bibir danau. Benteng ini dihancurkan beberapa bom Belanda dulu, tetapi masih tetap menunjukkan keperkasaannya sebagai benteng khas Batak Toba.”
Modigliani juga banyak mendapat cerita, tak terkecuali cerita gaib yang banyak mewarnai riwayat Singamangaraja dari para pemuka kampung saat itu. “Bila ia berbicara..., nyala api keluar dari mulutnya, lidahnya berwarna hitam. Siapa pun tidak diperbolehkan langsung memandang wajahnya. Seandainya ada yang ingin melakukan demikian, ia tidak akan dapat melaksanakan niatnya.”
Kisah perjalanan Emilio Modigliani di daerah Toba, dimuat dalam buku Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII - XX, karya sastrawan ternama Sitor Situmorang. Kisah yang sama juga dimuat di buku Sumatera Tempo Doeloe dari Marco Polo Sampai Tan Malaka, yang disunting Anthony Read.
Merekonstruksi Sisingamangaraja
Membincang Sisingamangaraja, memang penuh kontroversi. Sebut misalnya Sisingamangaraja XII yang disebut Patuan Bosar Ompu Pulo Batu. Setelah dinyatakan meninggal dalam pertempuran dengan pasukan Belanda pada 17 Juni 1907, hingga saat ini misalnya, koleksi foto Sisingamangaraja XII belum pernah ditemukan. Padahal pada penghujung abad 18, teknologi fotografi sudah tergolong maju.
Dalam rombongannya, Modigliani juga membawa khusus fotografer yang bertugas memotret berbagai tumbuhan dan biota Danau Toba yang diteliti.
Dalam buku Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII karya Agustin Sibarani, yang terpasang justru foto pasukan Belanda tengah duduk beristirahat di sebuah daerah di Pakpak. Juga foto anak-anak, isteri, dan kerabat Sisingamangaraja XII yang jadi tawanan pasukan Belanda. Ketiadaan foto Sisingamangaraja XII menimbulkan tanda tanya. Komunitas Parmalim bahkan tidak mengakui bahwa jenazah yang tewas adalah Sisingamangaraja XII.
Pada 2018, tim arkeolog dari Balai Arkeologi Sumut menemukan bukti-bukti arkeologis yang memerlihatkan adanya jejak perkampungan kuno di Lembah Sagala, Sianjurmula-mula, Pusuk Buhit. Meski usia perkampungan tersebut diperkirakan belum mencapai 1.000 tahun seperti yang ditemukan di Barus, namun temuan tersebut kembali merangsang memori kolektif orang Batak pada mitologi Pusuk Buhit sebagai tempat pertama leluhur orang Batak turun dari langit.
Keberadaan dinasti Sisingamaraja pun kembali disorot. Sekelompok budayawan muda Batak di Medan misalnya membuat sebuah seri diskusi. Mereka mengupas dan mencoba merekonstruksi ulang Singamangaraja dari berbagai perspektif.
Thompson HS, yang selama ini dikenal sebagai penggerak revitalisasi opera Batak, menjadi koordinator sekaligus pemantik diskusi. Ia menggandeng Balai Arkeologi Sumut yang memiliki konsen dalam melakukan penggalian artefak budaya untuk menemukan jejak-jejak peradaban di Sumut.
Maka sejak Januari 2019, bergulirlah kegiatan Forum Diskusi Terbatas (Forditas) yang mngupas tuntas Sisingamangaraja. Ada 12 topik bahasan yang jadi agenda diskusi setiap bulan dalam tempo setahun. Sejumlah kalangan budayawan terlibat dalam forum ini, antara lain Jim Siahaan, Tansiwo Siagian, Juhendri Chaniago, Jones Gultom, Miduk Hutabarat, Riduen P Situmorang, dll.
Beberapa topik yang telah didiskusikan di antaranya “Asal Usul Dinasti Sisingamangaraja”, “Sisingamangaraja Bermarga Batak dan Raja Bius”, “Parbaringin dan Raja Imam Sisingamangaraja dan Sisingamangaraja dalam Posisi Adat”. Sedang yang menunggu dibedah adalah “Spiritual Sisingamangaraja”, “Sisingamangaraja Menghadapi Kolonialisme”, “Parmalim Pewaris Spiritual Sisingamangaraja”, dsb.
Menurut Thompson, simpulan sementara diskusi memerlihatkan dominannya cara pandang peserta diskusi melihat sosok Sisingamangaraja sebagai tokoh politik yang berjuang melawan Belanda. Itu artinya perbincangan lebih terfokus pada person Sisingamangaraja XII atau Ompu Pulo Batu. Padahal membincangkan Singamangaraja secara kultural, menurutnya juga tidak kalah menarik.
Dengan menelisik tak kurang 200 referensi yang dikoleksinya, Thompson berkesimpulan bahwa asal-usul Dinasti Singamangaraja memang bisa ditarik dari klaim mitos spiritualitas, silsilah, klaim genetik, ideologi, evolusi parbaringin, Pertemuan Siraja Oloan dan Siraja Sumba, sampai impresi pertarungan tiga kelompok tradisional, yakni Lontung – Palti Raja (ada 7 marga), Nai Marata – Jonggi Manaor (4 induk/marga, termasuk Borbor), Isumbaon (Sumba I) – Sorimangaraja (3 anaknya sebagai induk utama marga kemudian; Sorbadijulu/Naiambataon Sorbadijae/Na Irasaon, dan Sorbadibanua/Na I Suanon).
Terlepas dari ragam pendakuan tentang asal-usul Dinasti Sisingamangaraja, Sisingamangaraja memiliki peran peran penting sebagai pemersatu masyarakat Batak. Ia berperan mengurangi praktik tribalisme yang sering muncul diantara marga-marga Batak. Perang antarmarga biasanya dilakukan dalam rangka memperluas teritori permukiman marga.
Semangat komunialisme orang Batak, menurut Thompson hanya bisa disatukan oleh raja yang merupakan reinkarnasi dari Batara Guru. Seorang raja yang mendapat spiritualitas dari langit. “Tak mungkin raja itu berasal dari marga raja,” katanya. Singamangaraja I, Raja Manghuntal adalah Raja Imam yang dimaksud.
Sinambela menurut Thompson adalah marga pemangku Dinasti Sisingamangaraja pertama. Adopsi marga Sinambela kepada Raja Manghuntal kemungkinan dilakukan raja-raja adat, raja bius dan Parbaringin. Istana atau Bale Sisingamangaraja dibangun di kampung Sinambela, Lumbanraja, Desa Bakkara, Kecamatan Bakti Raja, Kabupaten Humbang Hasundutan.
Fakta Ini menunjukkan Raja Manghuntal bukanlah marga sipukka huta atau pendiri (pembuka) kampung. Sebab jika Raja Manghuntal adalah sipukka huta, maka lazimnya nama lokasi bale raja itu disebut Hutaraja.
“Karena kharismanya, sejak awal ia dicitrakan sebagai simbol penerus Si Raja Batak yang antifeodal sebagaimana berkembang di masa itu,” ujar Thompson.
Sisingamangaraja bukanlah raja regional. Atas undangan parbaringin, muncul hukum di pekan (onan) pada suatu kampung. Mengutip Sitor Situmorang (Toba Na Sae hlmn 192). Sehari sebelum hari pasar dan sehari sesudahnya, setiap pengunjung pasar tidak boleh diganggu siapa pun dan alasan apa pun. Hukum tersebut berlaku umum, artinya juga untuk para pendatang.
Lembaga Sosial dan Hukum
Selama tiga hari setiap bentuk konflik yang menjurus kekerasan harus dihentikan. Konflik yang timbul disampaikan ke penguasa lembaga Onan (dewan raja-raja padar) yang bertindak sebagai jurudamai.
Onan juga memiliki peranan sosial seperti nampak dari norma sosial seperti betikut, pertama, pantang melakukan tagihan piutang pada hari pasar. Utang-piutang harus diselesaikan di luar hari pasar. Kedua, onan juga berfungsi sebagai tempat memeroleh perlindungan. Seseorang yang merasa terancam tindakan di luar hukum, karena suatu perkara, memeroleh perlindungan berdasar asas praduga tak bersalah sampai mendapat proses hukum yang wajar.
Ketiga, onan sebagai lalu lintas sosial antarwilayah adalah tempat ritual kewargaan atau mangebang. Anak pertama yang baru lahir harus dibawa kesana oleh orang tuanya untuk diperkenalkan, demikian juga pasangan pengantin baru.
Sehabis masa berkabung, seorang janda harus menunjukkan dirinya ke onan dengan menyematkan seranting beringin di sanggulnya, tanda boleh dipinang lagi dalam batas ketentuan adat. Dengan adanya lembaga Onan ini, tak heran jika Lance Castles meragukan kesan, seolah-olah negeri Toba tak mengenal hukum (diliputi anarki), sebagaimana mereka jumpai pada abad ke-19.
“Dilihat dari dalam masyarakat Batak tidak membutuhkan negara. Orang Batak pedalaman yang hidup terpencil mampu memecahkan persoalan-persoalannya tanpa campur tangan kekuasaan pusat.”
Castle tak mengelak terjadi pertentangan yang berakibat terjadinya peperangan terus-menerus. Tetapi keganasan perang dibatasi berbagai pantangan (tabu), lagi pula tersedia banyak lembaga arbitrase (jurudamai).
Menurut Thompson, adanya hukum Onan menandakan Sisingamangaraja merupakan pemimpin yang adil dengan didukung Parbaringin. Perbudakan akibat orang kalah judi atau tak bisa melunasi utang, juga dihapuskan.
Menurutnya, paham Parbaringin menyatakan bahwa roh Sisingamangaraja bisa berinkarnasi kepada siapa pun. Tidak ada ketentuan bahwa Sisingamangaraja harus marga Sinambela.
Usaha merekonstruksi Sisingamangaraja I - IX dengan segala aspeknya, diakui Thompson punya banyak keterbatasan. Hal itu disebabkan kisah Dinasti Sisingamangaraja I – IX lebih mengandalkan foklor yang kerap membutuhkan pembuktian secara ilmiah. Itu sebabnya rekonstruksi Sisingamangaraja I - X masih butuh kerja keras seluruh pemangku budaya yang peduli terhadap Dinasti Singamangaraja.
Ia lalu memberi contoh sederhana tentang rekonstruksi Istana Sisingamangaraja. “Arsitektur istananya harusnya berupa bale yang bentuknya seperti kubus, bukan rumah adat yang melengkung seperti punggung kuda.” Bangunan seperti itu menurutnya adalah bangunan rumah raja raja adat marga.
“Tapi itu sekali lagi jika mengikuti larik yang ada dalam foklor,” tegasnya.