
Oleh: Ris Pasha.
BINJAI, satu kota di Sumatera Utara berdiri 17 Mei 1872, bertepatan terjadinya perang Sunggal (Batak Orloog). Binjai melahirkan banyak seniman pada masanya. Katakan T Amir Hamzah, si Raja Penyair Pujangga Baru yang wafat pada 20 Maret 1946 dalam revolusi sosial yang melanda Sumatera Timur. T Amal Hamzah adik kandung T Amir Hamzah.
Ada Rizaldi Siagian, musisi ternama di Indoensia. Pontas Purba, Latief Sitepu, dan Abdul Djalil Sidin. Selain Medan dan Deli Serdang, Pematang Siantar, Asahan, Kota Binjai termasuk kota yang sangat diperhitungkan dalam dunia kesenian, ketika itu. Setidaknya sampai 1980-an. Bukan hanya sastra, teater juga termasuk diperhitungkan.
Lantas Binjai dalam dunia kesenian yang serius, sempat mati suri sekian puluh tahun lamanya. Termasuk musik Melayu nan indah, terbenam oleh Medan dan Deli Serdang. Pemerintah Kota Binjai selama ini alfa atau lalai untuk membina dan menghidupkan kesenian di Binjai.
Sampai pada UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan telah berlaku, Binjai juga belum memiliki dewan kesenian. Padahal dalam UU itu, pemerintah wajib menyerahkan kegiatan kesenian itu kepada dewan keseniannya. Artinya pemerintah tidak lagi boleh mengelola kebudayaan secara langsung, namun wajib mendanainya.
Tanpa disangka dan dinyana, seorang anak Binjai yang hilang atau menghilang selama lebih 40 tahun, menaruh perhatian besar terhadap keseniah, khususnya sastra. Dia merasa terhina, jika Binjai terus menerus tertinggal dalam dunia kesenian, khususnya sastra. Dialah Tengku Suhaimi Idris dengan nama pena Tsi Taura.
Bersama kawan-kawannya, H M Yunus Tampubolon, Saripuddin Lubis, dan dibantu Suyadi San, mereka mendirikan Komunitas Sastra Masyarakat Binjai (Kosambi). Tsi Taura penggeraknya. Kosambi pun mulai “maraton” mengejar ketertinggalan. Berita disebar dan lahirlah buku antologi 100 Penyair Indonesia dalam Antologi Puisi Binjai.
Ada 118 penyair Indonesia yang mengirimkan puisi-puisi mereka. Akhirnya oleh sditor (Suyadi San), terjaring 100 penyair, dengan berbagai pertimbangan. Dari 118 pengirim puisi, terkumpullah 286 puisi mereka. Setelah diteliti, ternyata hanya 225 yang dianggap layak untuk tampil dalam antologi itu.
Para penyair itu, mengirimkan puisi-puisi mereka dari 27 provinsi yang ada di Indonesia. Belum sepenuhnya dari semua provinsi yang ada. Dari 27 provinsi di Indonesia, membuat Binjai mulai dilirik, setidaknya oleh penyair dan penikmat puisi.
Kota Binjai sendiri masih dalam pembicaraan. Ada yang mengatakan, Binjai berasal dari nama buah binjai yang kini kembali ditanam. Dulu, Binjai termasuk penghasil buah binjai terkenal di pesisir pantai timur. Ada pula yang mengatakan, Binjai berasal dari bahasa Karo.
Dalam sebuah kisah, seorang perlanja sira (pemikul garam) turun dari dataran tinggi Karo. Mereka menuju Langkat untuk membeli garam. Jika berangkat pagi hari (jalan kaki), pasti sore (ben), sampai di Binjai. Mereka mengatakan ben jei. Sore di sana, lalu bermalam. Demikian, esok harinya sepulang dari tepian laut tempat membeli garam, mau naik ke gunung, mereka tiba lagi di Binjai dan bemalam. Untuk kesesokan harinya melanjutkan perjalanan ke gunung (Karo).
Kota Seni
Kosambi sebuah komunitas kesenian yang diawasi Tsi Taura, berniat untuk mengembalikan marwah kota Binjai sebagai kota seni.
Untuk taraf awal, dengan lahirnya antologi tersebut, geliat sastra di Binjai sudah mulai terasa. Dengan ikut sertanya penyair dari 27 provinsi, itu pertanda, sastrawan sudah memperhitungkan Binjai. Tentu saja, Kosambi akan bekerja keras mengejar kemajuan. Seperti dikatakan Tsi Taura, kerja keras dan disiplin yang baik, Kosambi akan bisa membangkitkan kesenian di Binjai, khususnya sastra.
Kosambi saja tidak cukup. Peran pemerintah Kota Binjai wajib ada. Walikota secepatnya harus memberi kesempatan kepada senimannya untuk membentuk Dewan Kesenian Binjai dan melahirkan perwal, seperti Medan. Bantuan dana dari pusat untuk pemajuan kebudayaan tidak bisa lagi dikelola Pemko Binjai. Bahkan Pemko Binjai harus menyiapkan dana untuk pemajuan kebudayaan sesuai dengan UU No. 5 Tahun 2017. Jika tidak, dana tidak akan menggelontor ke Binjai.
Antologi 100 Penyair Indonesia dalam Antologi Puisi Binjai ini, para penyair menampilkan puisi puisinya yang beragam. Ada yang menulis dari sisi adat istiadat. Ada dari keseniannya dan kebudayaannya. Ada yang menulis dari sisi Binjai dalam kenangan. Bahkan banyak yang menulis Binjai dalam penuh cinta.
Banyak pula yang menulis tentang sejarah yang ada atau pernah ada di Binjai, ketika si penulis (jauh) belum lahir. Tentu saja mereka mencarinya dari berbagai literatur. Ada pula yang menulis dengan menggambarkan sesuatu yang ada di Binjai. Seperti tugu di Binjai, kuliner, dan sebagainya.
Terlepas dari semuanya, kumpulan puisi telah mencatatkan apa dan mengapa Binjai, dulu, kini, dan nanti. Telah pula menorehkan harapan tentang Binjai. Bahkan ingin mengembalikan Binjai seperti sekian tahun, ketika keindahan itu masih terasa baginya sampai kini.
Kota Binjai yang mungil. Buah binjai yang hanya sebesar kepal tinju lelaki dewasa, namun aromanya menyemerbak ke mana-mana. Antologi ini akan mewakili buah binjai membuat Binjai semakin semerbak. Semoga