
Oleh: Arif Budiman.
Banyak komunitas seni tumbuh di kampus dan berbagai macam kompetensi dan kreativitas. Ada yang fokus ke kajian seni, instrumental art, film, ilustrasi, animasi, desain grafis termasuk game. Beragam pula latar belakang orientasi berkumpulnya. Ada karena sama-sama satu daerah, sama suku/marga, satu fans klub sepak bola, dan lainnya.
Semua komunitas itu, riuh-senyap dengan beragam pemikiran anggotanya. Sebanyak itu komunitas seni yang tumbuh di kampus, namun tidak sedikit pula yang bubar atau vakum, berhenti aktivitas keseniannya. Berhenti karena beda pemikiran, beda tindakan atau tidak ada dana untuk kegiatan. Ada juga karena tidak menemukan kenikmatan untuk saling bertukar tangkap pikiran. Sampai ditinggal anggotanya.
Forum Mahasiswa Minang Institut Seni Indonesia Yogyakarta (FORMMISI) Yogyakarta, satu dari banyak komunitas di kampus seni, terus bertumbuh dan eksis. Komunitas ini, berkumpul karena satu orientasi kesenian, satu daerah, dan satu kampus. Aktivitas FORMMISI fokus pada seni (rupa, pertunjukan, rekam), budaya, pendidikan, dan perkawanan.
Kini anggotanya 120 orang. Semuanya menempuh pendidikan tinggi seni di ISI Yogyakarta. Artinya anggota FORMMISI dibekali serangkaian pengetahuan dan kemampuan seni. Untuk menopang eksistensinya.
FORMMISI Yogyakarta berusia 13 tahun, bulan Mei ini persisnya. Kelahirannya dilatarbelakangi keinginan untuk memiliki identitas sendiri. Identitas yang berdaulat dan memiliki marwah yang tinggi. Identitas sebagai kaum akademis seni. Kumpulan anak-anak muda yang penuh keyakinan, suka cita, dan cinta merantau dari Minangkabau ke Jawa. Guna mencari ilmu pengetahuan.
Untuk mewadahi cita-cita tadi, dibentuklah forum. Bernama ‘forum’, karena anggota komunitas ini berasal dari kaum akademsi kampus. Tetap dengan gaya nyeniman-nya.
Tigabelas tahun eksistensi FORMMISI tidak bisa pula dilepaskan dari komunitas seniman Minang terbesar di Yogyakarta, yakni Sakato Art Community (SAC) atau Komunitas Seni Sakato. Sebagai perkumpulan seniman profesional, Sakato banyak memberikan pengaruh pemikiran anggota FORMMISI. Dari proses kekaryaan sampai aktivitas kesenian. Banyak seniman besar Indonesia dan Asia Tenggara tergabung di Sakato. Tidak mudah bagi anggota FORMMISI untuk masuk ke lingkaran proses kreatif Sakato.
Khususnya ikut serta dalam pameran-pameran seni yang digelar Sakato. Terutama pameran besar seni rupa Bakaba yang menjadi brand activation Sakato. Tercatat pada 2018 lalu pada Bakaba #7, 15 anggota FORMMISI lulus seleksi pameran ini. Tahun sebelumnya Bakaba #6, hanya 8 orang. Peningkatan ini menandakan proses pendidikan nonformal di FORMMISI berjalan dengan baik. Ruang ujinya adalah pameran Bakaba salah satunya.
Meninjau kemampuan teknikal, konseptual karya, beberapa anggota FORMMISI terutama yang sudah menempuh semester akhir tidak kalah artistik dengan beberapa karya seniman Sakato. Karena memang polanya sudah terbangun lebih awal, walaupun tidak terlembagakan.
Proses penempaan connoisseurship in art di level FORMMISI pun, sebetulnya sangat kuat dan tekun dibentuk sejak awal. Misalkan, bakal calon mahasiswa ISI (eks pelajar SMA/SMK) dari Minang akan mengikuti tes keterampilan masuk ISI Yogyakarta (dalam PMB), diminta untuk mengikuti bimbingan masuk ISI dari FORMMISI.
Sebelum tes, bakal calon mahasiswa diajarkan perihal elemen dan prinsip tata rupa. Ada juga sketsa, gambar bentuk, teknik cat air (aquarel). Termasuk ragam hias, poster, ilustrasi, teknik fotografi, storyboard film. Sesuai kompetensi yang diujikan. Pelatihan dilakukan para anggota FORMMISI yang sudah disiapkan dan dibimbing sebelumnya. Proses bimbingan bisa berlangsung berminggu-minggu, bahkan ada sampai satu bulan.
Dari proses bimbingan ini, berdasarkan pengalaman, peserta ujian lebih siap menghadap materi tes. Hasilnya, banyak yang lulus. Bahkan, ada yang satu program studi dari satu angkatan didominasi mahasiswa Minang seperti yang terjadi di Kriya angkatan 2017 dan Seni Murni angkatan 2013 dan 2016.
Mereka yang lulus tes masuk ISI, akan menjadi keluarga FORMMISI. Sebetulnya dari sinilah di antaranya embrio anggota Sakato. Beberapa seniman Sakato pun, ada yang pernah melewati level ini seperti Rudi Hendriatno, Harlen Kurniawan, David Armi, Desrat Fianda, Taufik Ermas, Harri Gita, Rizal Tan Menan, Ipan Lasuang, dan masih banyak lagi.
Seniman-seniman yang pernah ikut terlibat dalam bimbingan ini biasanya disebut sebagai ‘Seniman Sewon’. Karena pernah tinggal di kawasan Sewon, Bantul. Wakil Ketua Sakato saat ini, Faisal Azhari dan sebelumnya Harri Gita Setiadi adalah lulusan FORMMISI.
Berbekal kompetensi keterampilan individu Formmisi, menimbulkan ketertarikan bagi pengurus Sakato untuk mengajak ikut dalam kegiatan pameran yang digelar Sakato. Harus melalui proses seleksi ketat oleh tim yang ditunjuk Sakato. Biasanya tim ini anggota Sakato yang sudah matang proses keseniannya. Seperti Gusmen Heriadi, Rudi Mantovani, Handiwirman, Jumaldi Alfi, Yunizar, Erizal, dan Abdi Setiawan. Inilah tokoh seni rupa Indonesia, yang pernah menguji kompetensi anggota komunitas seni FORMMISI.
Proses ini tumbuh dalam dinamika kesenian di FORMMISI. Sekaligus menjadi ruang pendidikan seni nonformal. Di kampus pendidikan formal diperoleh. Di luar kampus melalui hubungan antarkomunitas. Pengalaman lapangan, dibentuk dan diuji. Nilai-nilai saling kolaboratif ini yang tumbuh di dalam tubuh FORMMISI.
Sebagai organisasi menanjak akil balig dengan usia 13 tahun, sudah sampai padanya ketetapan berakal sehat dan sempurna pikirannya. Dibuktikan dengan menggelar pameran seni rupa tahunan. Pameran ini sebagai sikap pertanggungjawaban publik FORMMISI. Tahun ini mereka menghelat pameran After Mooi Indie #3. Pameran besar yang mendapat apresiasi dari Rektor ISI Yogyakarta. Sekaligus sejarawan seni rupa, Profesor Agus Burhan.
Forum ini juga fokus membangun hubungan yang baik dengan masyarakat penyangga. Seperti kurator, kritikus, kolektor, pemerintah, komunitas, art lover. Eksistensi perlu bagi seniman untuk mendukung karir kesenimannya.
Seniman pun komunitas yang membangun hubungan dengan banyak relasi, adalah seniman yang tahu posisi dan menempatkan diri dalam lingkungan sosialnya. Hubungan sosial tidak saja dilakukan sesama seniman dalam satu rumpun rupa, juga lintas kecakapan.
Contoh saja, Chairil Anwar sebagai seorang sastrawan aktif melakukan diskusi kritis dengan Affandi dan Nafsha Djamin di eranya. Bahkan terlibat dalam sebuah proyek kesenian. Misalkan membuat poster kemerdekaan pada 1945 “Boeng Ajo Boeng!” yang digarap Affandi, teks (copywrite) berasal dari Chairil Anwar. Lihat juga bagaimana lirik lagu Sajadah Panjang yang dilagukan Bimbo, liriknya ditulis sastrawan Taufiq Ismail.
Kelompok seniman Team Lab dari Jepang (silakan lihat karyanya) pernah tampil di ARTJOG, juga bagian dari kerja kolaborasi dari beragam rumpun ilmu. Mereka adalah kelompok kreatif kolektif dan interdisipliner yang berbasis di Jepang yang menyatukan para profesional dari berbagai bidang praktik dalam masyarakat digital.
Seperti seniman, programmer, insinyur, animator CG, matematikawan, arsitek, web, dan desainer grafis cetak dan editor. Sebagai ultra-technologists, studio TeamLab bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara seni, sains, teknologi, dan kreativitas. Kemampuan dan kemauan itu bisa diperoleh dengan modal sosio, art, skill yang kuat oleh personal senimannya.
Proses kreatif FORMMISI Yogyakarta, mulai melewati waktu yang panjang. Beragam dinamika kesenian dan manajemen organisasi, dilalui komunitas seniman kampus ini. Proses inilah yang membentuk jati diri anggota komunitas.
Gambar-gambar ini adalah bagian dari karya-karya anggota FORMMISI dalam pameran After Mooi Indie #3, akhir April 2019 lalu. Forum ini adalah bagian kecil dari komunitas seni di dalam kampus. Sayangnya, Formmisi terjebak dalam proses kreatif yang teruji, dalam membetuk identitas dan meneguhkan eksistensinya ke masa depan.
Penulis; Pengajar Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Sumatera (ITERA).