Megalomania Politik

megalomania-politik

Oleh: Roy Martin Simamora.

Sejarah telah mencatat, ada banyak contoh pemimpin yang hidup dengan syahwat berkuasa, diktator dan berakhir dengan kejatuhan. Adolf Hitler adalah salah satu dari sekian ba­nyak pemimpin dunia—tidak berlebihan menyebutnya sebagai sang megalomaniak. Dalam tindak-tanduknya, kehidupan dan kepribadian Hitler tertuang jelas dalam catatan-catatan agitatif dan bukunya Mein Kampf (Perjuanganku). Jika dibaca, ada sesuatu keinginan untuk berkuasa kelewat batas, merasa superior dan akhirnya memicu holocaust (pemusnahan terhadap ras lain). Dalam buku itu, Hitler mengklaim bahwa Tuhan yang memilihnya untuk menjalankan misi tersebut. Karenanya, ia ingin Jerman menjadi “Lord of the Earth” di bumi (Tuan). Apakah tokoh diktator seperti Hitler atau kurang lebih sama masih hidup di zaman sekarang? Mungkin masih ada atau mungkin tidak ada lagi, meski beberapa gejala megalomania sudah mulai menjangkiti bebe­rapa tokoh politik sekarang ini. Terbukti di antaranya menemui kejatuhan kekuasaan yang menyedihkan.

Sang Megalomaniak

Dua tahun silam, The Washington Post pernah sekali menurunkan sebuah opini bertajuk “This new report confirms that Trumps’s megalomania threatens our democracy,” yang ditulis oleh Greg Sargent. Surat kabar itu meneliti bagaimana, lebih dari setahun masa kepemimpinan Trump, terus menolak bukti bahwa Rusia mendukung pencalonannya sebagai presiden Amerika. Dalam tulisan itu, Megalomania Trump dianggap dapat mengancam demokrasi Ame­rika. Sargent, dalam tulisannya itu, melapor­kan Trump dalam berbagai cara mende­legetimasi kebebasan pers; ke­tidakmampuan mengakui bahwa perilakunya mengarah lang­sung ke penyelidikan khusus terhadap Rusia dan mencoba menutupi penyelidikan tersebut dari publik. Hal inilah yang memicu banyak kemarahan publik Amerika. Tepat sebelum Trump dilantik sebagai Presiden, laporan itu mengatakan para penasehatnya mendesak Trump secara terbuka mengakui temuan intelijen AS bahwa Rusia berusaha menya­botase demokrasi Amerika. Sargent menye­but Trump “became agitated” atas laporan itu. Saya pikir, ada alasan mengapa Sargent menyebut Trump demikian. Trump kemudian mencerca intelijen AS karena tidak bisa dipercaya dan menganggap bahwa pencalo­nannya didorong oleh bantuan tim sukses selain strategi, pesan dan karismanya sendiri.

Sebelum menjadi Presiden Amerika, ia pernah mengeluar­kan sebuah slogan “Make America Great Again.” Slogan yang digu­nakan selama kampanye presiden tiga tahun silam. Slogan yang banyak dibicarakan publik Amerika. Sebagian publik menilai ia meniru slogan kampanye mantan Presiden Amerika, Ronald Reagan “Let’s Make America Great Again” pada tahun 1980. Melalui slogan itu pula, Reagan sukses mem­bawa dirinya menjadi presiden Amerika. Trump menyi­ratkan Ame­rika tidak pernah hebat. Ia sangat yakin Amerika akan menjadi bangsa yang besar dibawah kepemim­pinannya kelak. Trump mengklaim dapat membuat Amerika menjadi bangsa yang besar dengan kebijakan-kebijakan yang akan direalisasikan seandai­nya terpilih. Beberapa orang bahkan meng­anggap itu hal yang konyol, utopis dan delusional. Sebagian orang juga berpendapat Amerika tidak pernah secara khusus “great.” Mereka justru mem­perta­nya­kan apa arti kata “great” tersebut.

Sebelum dan sesudah terpilih menjadi Presiden Amerika, Trump dikenal sebagai tokoh yang sarat kontroversial. Bahkan, ia jauh lebih kontroversial ketika sudah terpilih. Dikenal sebagai presiden kontroversial karena kerapkali melontarkan komentar pedas, sindi­ran, makian bahkan merembes ke penghinaan. Media Amerika bahkan mengkri­tik habis-habisan Trump karena sifat dan gaya kepe­mimpinannya tidak menggam­barkan wajah Presiden Amerika. Media bah­kan berusaha menganalisis secara kritis setiap twit Trump di media sosial. Media lebih fokus kepada kepri­badian Trump yang narsistik setiap pidato dan hubris (sombong) ketimbang mengkritik kebi­jakan-kebijakan Trump pada Amerika. Dan, dengan melaku­kan itu, media massa Amerika telah merasa melahirkan mengalo­maniak pertama Ame­rika presiden selebritas.

Imaji Megalomaniak

Imaji megalomania tidak hanya terjadi pada Trump. Be­danya, di Indonesia, gejala ini mewabah ke beberapa elit politik. Sebagai contoh: sebagian dari mereka memuji diri karena lahir dari darah tokoh pendiri bangsa. Atau, merasa “besar” dari partai yang didi­rikan oleh tokoh penting tertentu. Ada pula yang beramai-ramai menumpang tenar pada salah seorang tokoh untuk meraup keuntu­ngan politik. Lengkap de­ngan atribut dan simbol-simbol ketokohan. Sebagian elit politik justru berupaya meniru pesona seorang presiden agar terlihat berwibawa dan karismatik. Tidak ada orisinalitas diri yang ditawarkan, tidak ada pertarungan gagasan yang pure (murni) dan kurang percaya diri. Kasus di atas adalah beberapa contoh yang sudah menjadi rahasia umum dalam konstelasi perpolitikan Indonesia.

Nostalgia terhadap era kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya juga sering ditonjolkan. Saya kira, ini bukan ba­rang baru. Masih banyak orang menilai masa-masa kepe­mim­pinan mereka (presiden sebelum­nya) menggambarkan bahwa Indonesia sudah menjadi negara hebat. Saya kira, semua orang bebas menginterpretasikan kepemim­pinan tiap-tiap presiden di masanya. Sah-sah saja. Boleh jadi mengkritik dan memberikan perspektif baru ihwal tatanan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, jangan berlebihan menyalahkan orang lain dan mendewakan orang lain atau memuji diri terlalu tinggi. Ada semacam delusional yang membelenggu kepala elit perihal kejayaan presiden-presiden sebelumnya. Delusional seperti anggapan kepemimpinan za­man sekarang tidak pernah sama sekali me­ngulang kembali kejayaan presiden sebe­lumnya dan mesti segera diganti - lengkap dengan tagar-tagar. Padahal, tiap presiden pernah besar di zamannya masing-masing. Ada yang dianggap buruk dan ada yang dianggap baik oleh sebagian orang. Tiap presiden memiliki porsi masing-masing: baik kekurangan dan kelemahan. Tiap pre­siden punya cara tersendiri dalam me­ngelola negara dan menjadikannya negara “besar” dalam kepala mereka. Tidak ada pemimpin yang sempurna 100 persen.

Tapi, seperti apa wajah negara “besar” itu? Cukupkah dengan gagasan belaka atau hanya angan-angan belaka dalam kepala? Atau, cukupkah dengan menjadi bangsa Indonesia masuk deretan ekonomi terbaik dunia, tetapi lupa mengurus rakyat? Cukup­kah membuat negara lain terpesona dengan politik luar negeri, tetapi melupakan mencer­daskan anak-anak bangsa? Cukupkah mem­buat negara maju dalam teknologi informasi, tapi melupakan pemenuhan hak-hak warga negara di daerah-daerah tak tersentuh tangan pemerintah? Apakah dengan membangun infrastruktur secara langsung membuat bangsa kita menjadi “besar?” Lantas, apakah dengan mengganti presiden baru, kemudian membuat bangsa kita menjadi “besar” dalam sekejap mata? Apakah itu gambaran negara “besar” yang sedang kita impikan bersama? Delusi tentang negara besar masih sebatas “imaji” tidak akan serta merta membuat sebuah bangsa besar hanya dengan kata-kata. Dengan perbuatan saja muskil apalagi dengan kata-kata, itu sangat mustahil.

Tetapi, kemuskilan itu bisa terlewati bila bangsa Indonesia, terutama para pemimpin bangsa bersatu, bersungguh-sungguh bahu-membahu, bekerja mengelola negara dengan baik. Usah bermimpi terlalu tinggi. Sebab saya percaya dari kerja-kerja kecil melahirkan sesuatu yang besar. Dalam kepala saya, setiap pemimpin harus benar-benar sadar dan berkomitmen untuk tidak korupsi. Korupsi adalah monster; masalah besar bangsa kita. Korupsi yang membuat pengelolaan negara menjadi terhambat. Tapi, menghilangkan praktik korupsi tidak serta merta secepat kilat. Ia butuh proses yang panjang untuk mengedukasi tiap-tiap elemen bangsa agar tidak bermental korup. Tapi, kadang itu sangat egois. Tidak mudah mengatakan korupsi akan hilang jika mental para pemimpin dan rakyat tidak diperbaiki. Mengelola negara tidak seperti bermain sulap: Bim sala bim! Mesti ada sinergitas antar pemangku kebijakan.

Pemakluman terhadap Narasi Megalomaniak

Jika seseorang secara berapi-api merasa mampu melakukan sesuatu dengan sekejap mata atau mengelola negara menjadi negara “besar” dalam waktu yang singkat, barangkali ia telah terkena gejala megalomania. Impian negara “besar” dalam narasi kampanye kerap­kali saya dengar. Ini adalah sound bite bagi siapapun. Sebagai contoh “negara akan han­cur apabila dibawah kepemimpinan si A,” “Lebih baik pilih saya kalau tidak mau negara ini hancur,” “Saya lebih baik daripada si A,” “Negara ini akan bubar jika bukan saya yang memimpin.” Atau narasi baru semacam “Saya tidak kalah, saya memang.” Ini salah satu gejala buruk karena tidak merasa kalah dalam kompetisi dan merasa kebenaran hanya ada pada dirinya. Pada konteks ini publik seperti memberikan “pemakluman” dengan kedua narasi yang ditampilkan tadi. Narasi-narasi demikian boleh jadi menje­rumus kepada megalomania akut. Seolah-olah, Ia adalah sosok kredibel dan berkom­peten, yang mam­pu membawa kejayaan negeri. Sedang­kan, kandidat yang lain tidak punya kom­petensi apa-apa. Ciri dari mega­lomaniak sema­cam ini adalah Ia terlalu percaya diri, sombong dan tidak percaya pada orang lain.

Celakanya, megalomaniak akan merasa dirinya “istimewa” dan unik, yang dapat dipa­hami oleh orang (atau lembaga) istimewa atau berstatus tinggi. Membutuhkan kekagu­man yang berlebihan, mengambil keuntungan dari orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri, kurang empati: tidak mau mengenali atau mengiden­tifikasikan perasaan dan kebutuhan orang lain, sering iri pada orang lain atau percaya bahwa orang lain iri padanya, menunjukkan perilaku atau sikap sombong dan angkuh.

Narasi megalomaniak akan berbahaya apalagi mengguna­kan narasi-narasi agitasi yang memancing persepsi rakyat. Bagi siapa­pun yang tidak belajar apa-apa mereka akan percaya dan semakin percaya. Mereka akan percaya bahwa negara ini memang akan hancur atau bubar. Pertanyaannya: bagai­mana mung­kin negara sebesar Indonesia bisa “besar” da­­lam waktu lima tahun berkuasa? Itu musta­hil. Butuh estafet kepemim­pinan berjenjang dan waktu yang sangat panjang untuk mewu­jud­­kan itu. Tapi dalam narasi politik, semua itu dapat atau pasti terjadi, ter­u­tama bagi politisi oportunis. Apapun mere­ka kata­kan—tidak pe­duli konten yang disampai­kan baik atau tidak—asal semua kepentingannya berjalan mulus. Tidak lu­pa dengan mereka yang ber­hasrat terlalu tinggi dengan jargon bagus: mem­bawa reformasi politik ke arah yang “lebih baik”. Karena itu, tidak dapat dihindari, setiap orang, saya, Anda serta politisi yang kita dengar dan ton­ton sudah terlahir dengan “tanda-tanda” itu. Tergantung separah apa megalo­maniak seperti di atas kerap disuguhkan dihadapan publik.

Tanda-tanda megalomania yang paling sering kita saksikan, ketika menonton tayangan televisi, debat politik, bincang-bincang politik dan wawancara seorang tokoh politik oleh me­dia massa tertentu. Mereka akan berbicara bahwa kandidat­nya lebih baik dibandingkan kandidat lawan. Melontarkan narasi kebencian, narasi ketakutan, narasi politik identitas, kabar bohong dan hoax. Sebagaimana politisi yang megaloma­niak, para pendukung (simpatisan) juga mengalami hal yang sama. Megalomania juga tidak menutup ke­mung­kinan menye­rang pendu­kung karena tidak memakai nalar sehat dalam menyerap semua informasi. Mana informasi yang harus dise­rap, mana informasi yang harus ditinggalkan. Merasa jika yang didu­kung lebih baik daripada yang tidak didukung.

Jadi jelas, megalomania adalah tipe delusional dari kesa­daran diri dan perilaku kepribadian yang diekspresikan oleh tingkat ekstrem yang terlalu tinggi akan kepentingan, kete­naran, popularitas, kejayaan, kekuatan, kejeniusan, pengaruh politik, bahkan kemahakuasaan. Karakteristik kelain­an ini adalah kemegahan ekstrem, ketidakpedulian terhadap kebenaran (post-truth), ketidak­mampuan untuk menerima kritik (anti-kritik) atau melihat orang lain yang memicu do­rongan untuk merendahkan entitas sosial (etnosentris) dan meremehkan semua orang yang tidak setuju. Megalomania juga gang­guan mental ketika seseorang cenderung me­lebih-lebihkan kemampuan mereka sendiri. Dalam psi­kiatri, kondisi ini dianggap bukan penyakit independen tetapi merupakan gelaja kondisi patologis lain yang terkait kejiwaan.

Megalomania paling sering terjadi ber­samaan dengan depresi, inferioritas yang kom­pleks, dan gangguan paranoid. Megalo­maniak dalam politik akan tetap ada, hidup bertumbuh dan berkembang dalam demokrasi kita. Kelainan psikologis menjangkiti politisi dengan delusi keagungan dan obsesi terhadap kekuasaan. Megalomaniak akan berperilaku seolah-olah mereka yakin akan kekuatan dan kebesaran absolut po­litik mereka. Dengan begitu, sang megalomaniak akan berusaha mengklaim kebenaran absolut itu untuk menguatkan legitimasinya karena didorong oleh motif-motif ekonomi dan politik. ***

Penulis adalah Alumnus National Dong Hwa University, Taiwan.

()

Baca Juga

Rekomendasi