Oleh: Mohammad Sholihul Wafi, S.Pd.
Sebagai negara yang menempatkan Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia, artinya ia merupakan akar kebenaran untuk memahami eksistensi bangsa Indonesia. Pancasila bukan hanya sebagai produk ideologi, tetapi juga sebagai pandangan hidup yang lengkap dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karenanya, menempatkan Pancasila sebagai basis pembelajaran mutlak dibutuhkan demi merajut masa depan bangsa yang cemerlang. Ini karena banyak anomali yang ditemukan di institusi pendidikan di mana siswa tidak memiliki karakter Pancasilais sehingga dengan mudah melakukan tindakan tidak berakhlak seperti tawuran dan tidak adanya rasa hormat kepada guru.
Akar mendasar permasalahan ini ialah pelaksanaan pembelajaran di sekolah yang hanya terfokus pada capaian akademik (kognitif) daripada karakter. Memang, kemampuan intelektual siswa diperlukan, tetapi tataran kognitif itu hanya mampu menyumbangkan 20 persen keberhasilan individu. Selebihnya, 80 persen berasal dari kecakapan insaniyah atau popular disebut soft skills (Musnandar, 2017). Padahal, kecakapan insaniyah inilah sebenarnya yang diharapkan muncul sebagai output pendidikan kita. Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 bab 2 pasal 3 menyatakan, lembaga pendidikan harus menghasilkan lulusan pendidikan yang memiliki kecakapan intelektual beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Basis Pendidikan Karakter
Keragaman nilai dalam Pancasila merupakan khazanah asli Bangsa Indonesia yang sekaligus menjadi modal dasar pembelajaran karakter siswa. Dalam konteks ini, Pancasila berfungsi untuk menguatkan beragam macam karakter yang diharapkan menjadi output proses pendidikan.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Meski secara umum konsep ketuhanan tiap agama bisa jadi berbeda, tetapi soal pendidikan karakter bagi anak didik berbagai agama di Indonesia bisa bertemu (Husaini, 2011). Agama Islam, Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai universal seperti nilai kejujuran, toleransi, kerja keras, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan kaum lemah. Oleh karena itu, sekolah seharusnya mulai mampu mencoba untuk menguraikan sila pertama menjadi bahan-bahan nilai dalam pendidikan karakter. Misalnya, penanaman nilai toleransi antar umat beragama yang disampaikan melalui permainan-permainan yang menarik.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kita pahami, ‘beradab’ merupakan modal utama dalam relasi sosial. Dalam hal ini, kemampuan untuk memberikan apresiasi kepada orang lain bisa menjadi wujud konkrit mendidik karakter beradab. Selain itu, manajemen konflik juga dapat diajarkan. Konflik bukan berarti anarkis, konflik dapat diajarkan melalui proses debat dan pemaparan argumen. Penting kiranya bahwa pendidikan manajemen konflik bertujuan untuk memberikan pemahaman betapa saling menghargai itu penting, saling berseteru itu tidak diperlukan, dan dalam setiap konflik memungkinkan terjadinya rekonsiliasi.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Pemahaman konsep ini bisa dilakukan dengan mengenalkan budaya Indonesia secara fisik. Berbagai local wisdom yang terbentang di seluruh NKRI bisa menjadi pintu masuk bagi pemahaman persatuan dan cinta tanah air. Karakter ini dapat ditanamkan dengan membangun kreativitas siswa yang membawa ciri khas kebudayaan lewat kegiatan di luar kelas agar lebih menarik minat siswa. Guru juga bisa memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang memiliki fitur berbasis audio-visual untuk menunjukkan kepada siswa betapa Indonesia kaya akan keragaman tradisi, etnis, bahasa, dan budaya agar pembelajaran menjadi lebih mudah.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sila ini merupakan acuan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Nilai demokrasi yang mendasar adalah taat asas, sesuai prosedur dan menghargai martabat orang lain sesuai hati nurani (conscience). Dalam pembelajaran karakter ini, siswa diperkenalkan dengan keharusan mengikuti prosedur yang benar dan sesuai aturan/asas yang berlaku. Bukan untuk mengajak siswa menjadi pribadi yang tidak kritis karena semata patuh terhadap aturan, namun mengajak mereka menjadi pribadi yang taat pada hukum yang telah disepakati, dan memberikan latihan disiplin diri untuk menghargai proses yang melibatkan orang lain dengan segala macam perbedaan pendapat yang mungkin akan ditemukan.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Karakter ini merupakan basis kepekaan sosial sekaligus modal dasar agar siswa selalu berdiri di atas semua golongan untuk memperjuangkan kepentingan bersama, bukan untuk diri sendiri dan kelompoknya. Dalam konteks pembelajaran, keadilan sosial jangan lagi dibahas dalam cakupan yang abstrak dan luas, namun juga membumi dalam kegiatan sehari-hari siswa. Misalnya, fokus pada apakah mereka sudah menunjukkan rasa kasih sayang, empati, dan simpati mereka terhadap teman-teman lain ataukah belum.
Sudah saatnya, Pancasila menjadi platform pendidikan karakter demi menanggulangi segala macam persoalan sosial. Penulis meyakini, bahwa dengan konsep inilah, karakter khas Indonesia yang menjadi fokus pendidikan nasional dapat terbentuk dan termanifestasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.***
Penulis adalah Peneliti di Yayasan Insancita Bangsa (YIB), Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta