Nasib Perawat Sukarela di Indonesia

nasib-perawat-sukarela-di-indonesia

Oleh: Nurhijrani.

Banyak alumni perawat dari ber­bagai kampus kese­hatan di Indonesia yang tidak merata sebarannya. Ba­nyak juga alumni yang memilih be­kerja di kawasan ramai atau per­ko­taan dan tidak mau ditempatkan di wilayah pe­de­saan atau terpencil. Pa­­da­hal ada daerah menjan­jikan upah atau insentif yang me­madai. Hal ini memang pi­lihan yang manu­sia­wi, na­mun menyebabkan banyak­nya pe­rawat yang terpaksa bekerja tidak sesuai dengan disiplin ilmunya.

Ada pula yang bekerja ha­nya se­ba­gai perawat sukarela di instansi ke­sehatan seperti rumah sakit, Pus­kes­mas, dan Pus­kesmas Pembantu (Pus­tu). Para perawat ini bekerja se­cara sukarela. Mungkin me­reka be­ranggapan daripa­da menganggur tidak masa­lah menjadi sukarela. Na­mun tak dapat dipungkiri nasib pe­rawat sukarela kini sema­kin tak menentu, banyaknya sukarelawan di instansi kese­hatan menjadi polemik ter­sendiri.

Dalam kamus besar Baha­sa indo­nesia (KBBI) sukarela berarti ke­mauan sendiri atau dengan kata lain rela hati tan­pa menuntut upah atau gaji. Jadi perawat sukarela ini ha­nya datang bekerja tanpa mengharapkan apa-apa sela­in agar ilmu yang dipe­lajari selama kuliah dapat terasah te­rus dan tidak terlupakan. Mes­ki de­mikian, ada juga ins­tansi kesehatan yang mem­berikan upah namun tidak seberapa.

Contohnya seperti di Ru­mah Sa­kit Wilayah Maros, sa­lah satu ru­mah sakit di Su­lawesi Selatan. Me­reka ha­­nya diberi upah Rp 300.000 per bu­lan. Itu pun diterima se­­kali dalam tiga bulan (Tri­bun­maros 20/12/2018). Se­ca­ra logika, upah sebesar itu tidak akan mampu meme­nuhi ke­butuhan keluarga se­hari-hari. Mi­ris­nya nasib se­perti itu juga di­alami oleh pe­rawat yang su­dah bekerja ber­tahun tahun bahkan belas­an tahun.

Dilansir dari Inews.id 26/03/2019, kejadian serupa di atas juga ter­­jadi di Mamuju dan Polewali Man­dar. Bah­kan di Polewali Mandar pe­rawatnya hanya digaji Rp 100.000 per bulan. Hal inilah yang memicu tim­bulnya aksi demo, di mana bebe­ra­pa wak­tu lalu, seluruh perawat su­ka­rela yang ada di RSUD mau­pun di Puskesmas serta mahasiswa dari be­­berapa kam­pus melakukan aksi­nya di beberapa titik di Lapangan Pan­­casila, kantor DPRD Pol­man, RSUD Pole­wali Man­dar dan Kantor Bupati.

Dikutip dari Mamujupos.­com 4/4/2019 aksi mereka yang dipimpin oleh Ketua Persatuan Perawat Na­sional Indonesia (PPNI) Polman dan Aliansi Masyarakat Pol­man Ber­satu (AMPB) juga menuntut be­berapa hal. Per­tama, menuntut upah layak sesuai UMK dengan da­sar su­rat per­menkes dan permen­dagri. Kedua, me­minta kepa­da peme­rintah untuk mene­kankan kepada kepala insti­tusi klinik, rumah sakit mi­lik TNI, Polri dan swas­ta agar perawat yang ber­sta­­tus suka­rela diberi upah yang layak.

Ketiga, meminta kepada pe­me­rintah untuk memberi­kan solusi kepada perawat sukarela yang telah melewati batas umur, tidak masuk da­lam kategori daftar K2. Ke­empat, PPNI meminta agar DPRD Polman merealisikan janjinya memberikan Upah 2 milyar kepada perawat.

Kejadian tentang tuntutan pera­wat sukarela perihal atur­an upah me­reka sebenar­nya sudah terjadi di beberapa daerah di Indonesia sejak ta­hun 2018 lalu.

Contohnya ter­jadi No­vember 2018 lalu di Lam­pung. Mereka  me­nyua­­ra­kan nasib mereka ke Kantor Walikota mendesak agar Wa­likota memperhatikan dan mengambil ke­bijakan terha­dap nasib tenaga medis. Ke­jadian serupa di waktu ham­pir bersamaan juga tejadi di Ka­bupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat de­ngan per­soalan yang sama.

Dari polemik nasib pera­wat suka­rela di era sekarang, tentu kita perlu me­lirik kem­bali, jika memang masih ingin menjadi perawat, ada baiknya kita memilih lang­kah lain. Pertama, se­bagai pe­rawat selalu mening­kat­kan skill dan pengetahuan dengan cara mengikuti pelatihan agar bisa men­cari pekerjaan di perusahaan yang memiliki kli­nik atau rumah sakit swas­ta.

Belakangan Rumah Sa­kit Swasta gajinya lebih menjan­jikan dengan sis­tem kontrak dan ramah pe­ng­ang­katan se­bagai pegawai tetap.

Kedua, mengikuti training untuk bekerja di luar negeri seperti negara Jepang, Kuwait, Arab Saudi dan bebera­pa negara lain yang masih banyak membutuhkan pera­wat dan memiliki kerja sama internasional dengan Indonesia.

Ketiga, jika perawat me­mi­liki skil dan pengetahuan yang mumpuni bisa saja pe­rawat membuka praktik kli­­nik sendiri, seperti praktik pe­ra­watan luka mandiri.

Seperti halnya PNS yang me­miliki gaji menurut Per­aturan Pe­merintah PP No.15 Tahun 2019 d­e­ngan golong­an I/A Atau masa ker­ja 0 tahun Rp 1.560.800 dan gaji tertinggi PNS dengan go­long­an IV/E atau masa kerja lebih 30 tahun Rp 5.901.200, hal ini bisa kita banding­kan dengan perawat yang hanya diberi gaji Rp 300.000 per­bulan. Pa­dahal kalau dipikir beban kerja pe­rawat sukarela hampir sama bobot­nya de­ngan perawat PNS.

Harapannya, hal ini men­ja­di acuan untuk pemerintah dalam mem­buat kebijakan regulasi yang jelas tentang aturan perekrutan tena­ga ker­ja dan kejelasan upah yang per­lu diberikan agar nasib pe­rawat su­karela tidak ter­ka­tung katung. Se­lain itu, la­pangan kerja medis untuk lu­lusan keperawatan pergu­ru­an tinggi semakin dibuka le­bar dan dipastikan gajinya.

Persoalan ini sebenarnya terdapat dalam Nawa Cita presiden Jokowi yakni berfo­kus pada upaya dan pro­mosi percepatan peningkatan ke­se­hatan masyarakat. Untuk me­wujud­kan itu, tentu diperlu­kan tenaga me­dis salah satu­nya perawat sebagai penyedia layanan di Rumah Sakit dan wadah medis lainnya guna mem­berikan pelayanan pri­ma ter­hadap kesehatan ma­sya­rakat. Karena itulah apa jadinya jika perawat tidak diper­hatikan statusnya di te­ngah tanggung jawabnya yang besar.

(Penulis adalah dosen Akademi Kepera­waan Syekh Yusuf Gowa, Sulawesi Sela­tan, alumni Pascasarjana Magister Kesehatan di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Maka­s­sar, Sulawesi Utara, alumni S1 Kepera­wat­an di STIKES Nani Hasa­nuddin, Makassar, Sulawesi Selatan)

()

Baca Juga

Rekomendasi