Menghormati Hasil Pemilu

menghormati-hasil-pemilu

Oleh: Deddy Kristian Aritonang. Pada 22 Mei 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan resmi menetapkan hasil Pemilu 2019. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 413 tentang Pe­milihan Umum. Dalam aturan itu dise­but­kan bahwa hasil Pemilu secara na­sional dan hasil perolehan suara Pasangan Calon, perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR, dan perolehan sua­ra untuk calon anggota DPD ditetap­kan paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari setelah pemungutan suara.

Adapun KPU Provinsi menetapkan ha­sil perolehan suara partai politik untuk ca­lon anggota DPRD provinsi paling lam­bat 25 (dua puluh lima) hari setelah hasil pemungutan suara, dan KPU Ka­bupaten/Kota menetapkan hasil pe­ro­lehan suara partai politik untuk calon ang­gota DPRD kabupaten/kota paling lam­bat 20 (dua puluh) hari setelah pe­mungutan suara.

Apapun hasilnya nanti, kita semua, ter­utama para elite politik yang secara lang­sung menjadi kontestan harus mampu berjiwa besar dan bersikap ksatria untuk menerima. Selama dua edisi Pemilu terakhir khususnya Pilpres 2014 dan 2019, masyarakat kita telah menga­lami dikotomi yang tidak sehat atas nama, maaf, cebong dan kampret. Selain itu, diksi-diksi kontraproduktif, narasi-narasi ten­densius, ujaran kebencian dan pe­nye­baran hoaks yang sangat destruktif tum­buh begitu subur. Sehingga kita bisa me­­mantik kesimpulan bahwa hari ini kon­tes politik di negeri ini telah me­nye­babkan keter­pecahan sosial.

Ulah Para Elite Politik

Seharusnya sekat-sekat tadi sudah hilang terhitung selesainya kontes Pemilu 2019 pada 17 April lalu. Namun ternyata ke­tegangan politik masih belum menu­run. Malah kalau boleh jujur, tensi politik semakin tinggi. Kita kini dihadapkan pada ulah segelintir elite politik yang ber­upaya memunculkan kesan tidak per­caya kepada KPU karena dianggap telah gagal melaksanakan tugasnya secara jujur dan adil. Seruan-seruan provokatif yang dibungkus oleh embel-embel People Power gencar dikampanyekan se­­hing­ga memicu pergolakan di masyara­kat.

Pergolakan itu menyebabkan terjadi­nya tindakan-tin­dakan bernuansa makar. Beberapa oknum sudah ditahan. Seba­gian dari yang ditahan tersebut merupa­kan rakyat sipil yang menurut saya ha­nyalah korban atas ajakan-ajakan me­nolak hasil Pemilu 2019 yang di­suarakan segelintir elite tadi.

Parahnya, belakangan muncul lagi ge­rakan boikot hasil Pilpres 2019 serta se­ruan untuk tidak mengakui pemerintah ter­pilih dan penolakan untuk membayar pa­jak. Padahal para elite yang merasa tidak puas dengan hasil Pilpres 2019 tahu betul terhadap mekanisme hukum yang bisa ditempuh ketika merasa me­ne­mukan indikasi kecurangan.

Tapi, alih-alih mengambil langkah-langkah konstitusional seperti membawa seng­keta hasil Pilpres ke Mahkamah Kons­­titusi (MK), para elite tadi memilih me­nyerahkan kepada ‘masyarakat’. Di si­nilah letak persoalannya.  Tin­dakan ini ke­sannya hanya memanfaatkan dan me­nung­gangi sekelompok masyarakat de­ngan kamuflase kepentingan bangsa untuk mencoba mendelegitimasi taha­pan-tahapan yang sudah digariskan da­lam Undang-Undang. Kendati dalam be­be­rapa kesempatan disebutkan bahwa aksi-aksi itu sifatnya nonviolence (tanpa kekerasan), jelas-jelas kita bisa menyak­si­kan sendiri betapa rentannya masyara­kat kita ter­pancing untuk ikut dalam aksi yang pada akhirnya membuat mereka ter­jerumus akibat tindakan mengeluarkan uja­ran-ujaran kebencian dan ancaman ter­hadap Presiden yang bahkan dilakukan secara terang-terangan.

Para elite ini, sadar atau tidak sadar, se­ngaja atau tidak se­ngaja, telah me­nge­luarkan doktrin-doktrin yang bagi se­­go­longan masyarakat diterima sebagai per­jua­ngan hidup dan mati. Maka, tanpa pi­­kir panjang, mereka secara membabi buta terlecut semangatnya untuk ber­juang. Tapi apa yang diperjuangkan jelas bu­kan merepresentasikan semua masya­ra­kat. Dan lihatlah betapa kontrasnya raut muka mere­ka ketika berorasi dan ketika ditangkap. Sangat berubah 180 derajat. Yang tadinya berapi-api seperti tidak takut apapun dan siapapun, namun menjadi begitu rapuh ketika menjalani proses hukum. Jika sudah begini, yang kasihan tentu mereka sendiri, keluarga atau anak-anak yang harus ditinggalkan.

Lucunya, seruan-seruan untuk meno­lak hasil Pilpres 2019 terkesan tidak kon­sisten. Mudah sekali membaca bahwa per­juangan yang dibungkus dengan dalil atas nama rakyat itu sebenarnya adalah ke­pentingan politik konstituen para elite politik itu sendiri. Coba kita lihat. Mereka begitu gigihnya menolak hasil Pilpres 2019 tapi menerima hasil Pileg-nya.

Hasil rekapitulasi suara lewat situng KPU untuk pilpres tidak diakui dan di­permasalahkan, tapi untuk pileg tidak ada komplain serupa. Seharusnya jika memang menemukan kecurangan secara sistematis, masif dan terstruktur seperti yang dituduhkan, baik hasil Pilpres maupun Pileg 2019 seharusnya sama-sama ditolak karena keduanya berlang­sung bersamaan. Lalu kenapa ada per­lakuan yang berbeda terhadap Pileg 2019? Ya, karena perolehan suara partai-par­­tai mereka memenuhi syarat ambang batas dan banyak kader partai mereka yang berdasarkan hitung cepat lolos menjadi anggota parlemen sehingga tidak perlu diperma­salahkan.

Lagipula, jika hendak ditelusuri, saya yakin, tidak semua masyarakat menghen­daki gerakan-gerakan People Power atau yang belakangan diralat menjadi gerakan ke­daulatan rakyat. Jadi jelas sekali bahwa mereka mencoba mentrans­formasikan kekhawatiran mereka terhadap kegaga­lan di Pilpres 2019 sebagai kekalahan rak­­yat, padahal kenyataan­nya tidak demi­ki­an.

Pada akhirnya kita harus kembali ke prinsip paling men­dasar yang sering kita abaikan bahwa kontes politik wujudnya adalah kompetisi. Dalam kompetisi, pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seharusnya, yang menang merangkul dan mengayomi yang kalah, sementara yang kalah, mengakui dan menerima kekala­han dan sama-sama berjuang untuk mem­bangun bangsa.

Membangun bangsa bisa dilakukan oleh siapa saja yang punya kemauan dan dedikasi tanpa harus menjadi penguasa. Alam demokrasi menghendaki adanya pemerintah dan oposisi. Pihak yang kalah tetap bisa berkontribusi untuk memaju­kan peradaban bangsa dari sudut peran oposisi yang memantau kinerja pemerin­tah serta memberikan kritik-kritik yang kons­truktif. Sebaliknya, pihak yang me­nang juga tidak boleh tutup kuping ter­hadap seruan-seruan oposisi selama itu ber­guna bagi kepentingan bangsa. Ka­rena pada dasarnya politik itu baik. Yang tidak baik adalah para pelakunya yang suka mengutamakan kepentingan sendiri dan mengorbankan kepentingan rakyat.

Evaluasi Pilpres dan Pileg Serentak

Bagaimanapun juga, kita tetap harus mem­berikan ap­resiasi yang setinggi-ting­ginya terhadap KPU karena Pemilu 2019 berlangsung relatif baik. Salah satu buk­tinya adalah tingkat partisipasi pemilih yang konon dilaporkan mencapai 70-80% (sumber: sindonews). Jumlah itu me­ningkat bila dibandingkan dengan Pemilu 2014.

Namun demikian, evaluasi besar-be­saran atas keputusan menyeleng­ga­rakan pilpres dan pileg secara serentak harus segera dilakukan. Seperti yang kita ke­tahui, Pemilu 2019 diberi label sebagai pemilu paling rumit di dunia karena kasus ratusan petugas KPPS (Kelompok Penye­leng­garaan Pemungutan Suara) yang me­ninggal dunia dan ribuan yang harus di­rawat di rumah sakit.

Melihat fenomena ini, akan lebih bijak bila Pemilu Nasional untuk eksekutif (pil­pres) dan legislatif (pileg) dipisahkan. Dengan demikian manajemen penye­leng­garaan pemilu akan lebih baik dan beban kerja petugas KPPS men­jadi lebih pro­porsional. Sehingga pada pemilu-pe­milu di masa yang akan datang di­ha­rapkan tidak ada lagi kasus petugas KPPS yang meninggal atau sakit karena tingkat beban kerja yang begitu tinggi (overload).

Selain itu, penyelenggaraan pilpres dan pileg serentak ternyata berefek pada lebih terpusatnya perhatian masyarakat ter­hadap pilpres yang gaungnya memang lebih keras terdengar. Pemberitaan terha­dap pileg selama ini tertutupi oleh pilpres. Selama delapan bulan waktu kampanye, banyak masyarakat yang tidak mengenal para caleg yang ada di masing-masing daerahnya.

Terakhir, jika format pemisahan di­la­kukan, hendaknya ambang batas untuk le­gislatif dan eksekutif tetap harus diber­la­kukan. Seperti kata Direktur Eksekutif In­do­nesia Political Review Ujang Ko­ma­rudin, untuk presidential thres­hold, ada bai­knya ambang batas diturunkan agar ca­lon presiden bisa lebih dari dua orang se­hingga masyarakat me­miliki le­bih ba­nyak pilihan. Sebab jika legislatif telah le­bih dahulu terpilih, pemerintahan pre­si­den terpilih bisa saja menjadi tidak efek­tif karena minim dukungan di par­lemen. ***

Penulis berprofesi sebagai guru dan dosen di Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi